60 orang kaya Indonesia menguasai 28,6 juta hektar tanah, sebaliknya 17,25 juta petani hanya memiliki 0,5 hektar.
Kolom Alif we Onggang
Tanpa perlu menunggu kiamat, Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat telah lebih dulu meradang digulung banjir dan longsor yang mematikan 1.000-an jiwa, melenyapkan ratusan nyawa termasuk orangutan dan gajah berikut jutaan penduduk yang terdampak.
Bencana ekologis ini adalah pesan paling nyaring dari langit; bahwa kiamat kecil sedang berlangsung di depan mata. Alam sedang murka sekaligus menagih utang dari manusia yang terlalu lama memperlakukannya sebagai sapi perah hingga susu terakhir; seakan-akan manusia ini tanpa usus dan memiliki banyak dubur.
Tuan Presiden punya julukan manjur untuk kaum yang tamak ini, yaitu Serakahnomics!
Kata-kata klasik Gandi, “Bumi menyediakan cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap manusia, tetapi tidak untuk satu manusia serakah”.
Serakahnomics kini menemukan muaranya di lumpur, pada mayat-mayat yang terbenam selamanya, pada tangisan ibu yang kehilangan anak dan masa depannya.
Dari rezim ke rezim, model pembangunan dirayakan dengan industri ekstraktif, sementara hutan-hutan hilang tanpa suara. Peraih Nobel Ekonomi 2025 mengingatkan bahwa institusi (industri) ekstraktif yang dikuasai segelintir elite dan oligarki gagal menyejahterakan rakyat, tapi justru menjadi ladang subur bagi ketimpangan, konflik, dan kehancuran lingkungan.
Forest Watch Indonesia mencatat, izin industri ekstraktif kini telah menjangkau lebih dari 100 juta hektar darat dan laut Indonesia — luas yang setara dengan gabungan dari beberapa negara di Eropa.
Betapa ironis dan konyolnya; kawasan hutan lindung yang seharusnya menjadi benteng terakhir kehidupan justru dirangsek ratusan izin tambang dan sawit. Paru-paru bumi ini disedot atas nama hilirisasi atau Proyek Strategis Nasional lalu ditinggalkan menganga tanpa rasa bersalah.
Uhh, lubang-lubang tambang tak hanya mencabik bumi tapi juga mencabut nyawa.
Indonesia adalah contoh sedih dari apa yang oleh para ekonom disebut sebagai “kutukan sumber daya alam”. Jangan heran apabila Bappenas menyebutkan di daerah-daerah yang menjadi pusat hilirisasi, angka kemiskinan justru tinggi.
Di Merauke, proyek food estate seluas 2 juta hektar adalah cerminan bagaimana kebijakan memarjinalsiasi masyarakat adat. Mereka kehilangan lumbung pangan, pengetahuan tradisional, dan identitas budaya. Kekerasan ekonomi, militerisasi, dan intimidasi menjadi harga yang harus dibayar demi mimpi swasembada (Karlina Laksono, 2025). Di sana, tanah dan hutan dikiaskan sebagai “Ibu” senagaimana masyatakat adat di Kajang, Badui, Dayak, Nias, Orang Rimba yang “menyusu” pada Ibunya.
Tapi kulit Ibunya (hutan) dicabik, tubuhnya dikoyak, sehingga hatinya ditikam berkali-kali. Ia menangis sampai air matanya tumpah menjadi banjir bandang yang menyapu rumah-rumah orang tak berdosa. Rakyat yang sejak lama hidup di tepi jurang kini jatuh ke dalamnya, menjadi korban paling serakah dari “Ideologi Serakahnomics”.
Inilah wujud kejahatan lingkungan. Adalah pemmbakaran hutan secara sengaja untuk pembukaan lahan sawit di mana banyak perusahaan terbukti lalai atau sengaja membakar lahan, namun penegakan hukum sering berhenti di level operator, bukan korporasi.
Begitupun pencemaran sungai oleh limbah Industri. Petani dan nelayan kehilangan mata pencaharian. Pula pertambangan Ilegal (bad mining). Tak kalah ironis, perusakan hutan adat dan perampasan lahan sebagaimana kasus masyarakat adat di Papua dan Kalimantan, yang berimbas pada raibnya hutan primer, pemiskinan struktural dan kriminalisasi warga adat.
Beginilah kejahatan lingkungan struktural bekerja karena dilegalkan oleh kebijakan negara.
Begitu rupa, akibat ulah segelintir para penjarah hutan yang duduk manis di istananya di Jakarta atau Singapura, mereka bermain mata dengan penguasa yang memberi konsesi. Ketika bencana datang, mereka bergeming. Tapi syahwat eksploitasi tak pernah padam. Tak pelak, pembalakan brutal yang berizin terus berlangsung, seolah ribuan nyawa manusia hanyalah angka statistik. Padahal satu yang meninggal sudah cukup menjadi tragedi.
Dengan orkestrasi, para pejabat berkata: jangan cemas soal deforestasi, kita terus menanam sawit. Yang lain berjanji akan “menormalkan cuaca”. Ada pula yang mengklaim hutan gundul akibat perbuatan masyarakat. Seorang pejabat bahkan berucap enteng: kayu gelondongan yang hanyut itu kayu tua yang sudah lapuk, seolah gelondongan raksasa turun dari awan bersama hujan.
Mereka lupa, omongan pandir semacam inilah yang memantik kemarahan generasi muda (Gen-Z) yang nyaris membumihanguskan kota-kota pada Agustus lalu.
Hiruk-pikuk berlalu. Kamera dimatikan.
Dan setelah bencana lewat, hutan kembali diperkosa secara bergantian. Alamak! Business as usual.
Siapa nyana, enam puluh keluarga kaya menguasai 27 juta hektar tanah, sementara tujuh belas juta petani harus berbagi setengah hektar (Kompas, November 2025). Dalam dua dekade Sumatera kehilangan jutaan hektar hutan. Setiap hari hutan lenyap hampir 100 ha, setimpal dengan 139 luas lapangan sepak bola. Ya, saban hari. Akan halnya catatan WALHI, sepanjang 2016–2025, sekitar 1,4 juta hektar hutan di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat hilang akibat aktivitas 631 perusahaan tambang (Kompas, 3/12/2025).
Dan patut diingat, setidaknya kita punya 11 juta hektar lahan kritis yang harus dipulihkan.
Hulu sungai yang dulu menjadi spons air kini menjelma kebun sawit dan lubang tambang. Saat hujan turun sedikit lebih deras dari biasa, bumi tak lagi mampu menahan limpasan. Maka banjir pun menjadi takdir buatan manusia.
Kekayaan alam yang melimpah bukanlah berkah bila dikelola dengan mentalitas perampok. Alih-alih melahirkan kemakmuran, ia justru memupuk korupsi, kerusakan ekologis, dan ketergantungan ekonomi pada sektor-sektor yang menguras hutan. Bencana korupsi sama gilanya dengan bencana alam: keduanya lahir dari keserakahan yang sama.
Seperti gagak pemakan bangkai, negara sibuk memanen keuntungan jangka pendek di atas kehancuran yang maha luas. Maklum, perlu satu generasi atau lebih untuk memulihkan luka-luka bumi. Lebih menyayat lagi, para ekonom lingkungan diabaikan.
Bahkan peringatan para ilmuwan yang meneliti relasi ekonomi dan keberlanjutan tak digubris. Mereka telah lama bilang bahwa pembangunan tanpa batas ekologis hanya berujung pada keruntuhan. Hutan memiliki nilai eksistensial dan sosial yang jauh melampaui angka dalam neraca laba.
Alam telah membongkar kebohongan yang ditutupi oleh kebijakan.
Karena bencana, sebagaimana ditegaskan Chester Hartman dan Gregory D. Squires (2006), selalu merupakan konstruksi sosial dan politik.
Benar, sawit memang juga berdaun, tetapi ia tak pernah bisa menggantikan hutan hujan tropis. Perkebunan sawit yang monokultur tak memiliki keragaman kanopi, akar yang sanggup menahan hujan ekstrem. Ia berdiri rapi, namun rapuh. Dan di balik kerapian itu, tersembunyi kehancuran yang pelan-pelan membunuh masa depan.
Nyanyian pilu langit Sumatera menyayat hati.
Jika ideologi Serakahnomics terus dipertahankan, alam akan kembali murka semurka-murkanya. Dan bukan mustahil, Nusantara akan menyusul peradaban-peradaban kuno yang punah bukan karena tak beradab, tetapi karena gagal mendengar peringatan alam.
Pertanyaannya kini bukan lagi apakah kita akan mendengar,
melainkan apakah kita masih peduli,
sebelum tangisan Ibu Pertiwi berubah menjadi ratapan terakhir mengubur Nusantara dan terbenam menyisakan sejarah yang muram.
Masih mauko!
Penulis adalah esais dan jurnalis.












