Kolom Zaenal Abidin
Berkaitan dengan regenerasi dan kepemimpinan dalam suatu organisasi, Dr. Soetomo, pendahulu kedokteran Indonesia serta pencetus berdirinya gerakan Boedi Oetomo 1908, mengatakan bahwa, “Pemimpin yang berhasil dalam kepemimpinannya adalah pemimpin yang menghasilkan pemimpin baru, bukanlah pemimpin. Pemimpin semacam itu telah kandas dengan pimpinan.” Hal ini menunjukkan bahwa proses regenerasi, mempersiapkan kader-kader penerus dalam suatu organisasi memiliki arti yang amat sentral.
Di lingkungan organisasi IDI yang beranggotakan para dokter, proses regenerasi itu juga sangat penting. Di semua tingkatan kepengurusan organisasi di jajaran IDI sudah ditetapkan bahwa dalam suatu jenjang kepengurusan organisasi, seseorang hanya diperbolehkan untuk menduduki jabatan ketua sebanyak dua kali masa kepengurusan. IDI tidak menginginkan adanya kepemimpinan yang stagnan. Hal ini juga berarti bahwa proses demokrasi harus berjalan terus di dalam tubuh organisasi ini. Oleh karena itu sebelum berakhirnya kepengurusan pada setiap jenjang organisasi sudah semustinya telah siap sederet kader-kader terlatih yang akan mengambli alih esapet kepemimpinan. Memimpin organisasi IDI adalah proses melatih diri untuk menjadi pemimpin bagi organisasi yang lebih besar, yakni bangsa dan negara.
Kini dengan makin berkembangnya peradaban manusia, organisasi IDI pun dituntut untuk mengembangkan peran-peran strategisnya, selain peran yang selama ini berkaitan dengan pekerjaan yang banyak digeluti anggotanya, yaitu agent of treatment (mengobati orang yang sakit). Peran strategis yang akan dikembangkan di masa depan tersebut agent of change dan agent of development. Peran semacam ini bukan hal yang mustahil bagi IDI, mengingat IDI beranggotakan para cendekiawan yang profesional. Oleh karena itu yang diperlukan saat ini adalah bagaimana agar organisasi IDI dengan seluruh jajarannya dapat merevitalisasi diri dan merevitalisasi peran pengabdianya. Di sektor kesehatan, IDI dan anggotanya diharapkan melebarkan lapangan pengabdiannya dengan berkontribusi seluas-luasnya dalam upaya menyehatkan bangsa secara komprehensif (fisik, mental, dan sosial).
Di luar lapangan kesehatan, bidang lain pun tidak tertutup bagi IDI dan anggotanya. Ke depan bukan sesuatu yang tidak mungkin, semakin banyak anggota IDI yang berkiprah di pemerintahan dalam makna yang lebih luas. Hal yang sama, juga semakin terbuka kemungkinan bagi dokter Indonesia untuk tampil menjadi pemimpin bangsa baik secara formal maupun non formal, bahkan menjadi seorang negarawan sekalipun. Peluang menjalankan peran tersebut tentu selalu selalu ada bila IDI dan anggotan beruapaya untuk itu. Potensi untuk menjadi pemimpin bangsa dan menjadi negarawan, menjadi penyangga di tengah rakyat dan bangsanya juga dipunyai oleh dokter-dokter Indonesia.
Bila ditelusuri kebelakang ketika masih menempuh pendidikan, baik sebelum duduk di perguruan tinggi maupun setelah menjadi mahasiwa di perguruan tinggi, tetu tidak sulit menemukan jejak organisasi pelajar (osis) atau organisasi mahasiswa (senat fakultas, senat perguruan tinggi, dan oranisasi ekstra universitas), justru dipimpin oleh mereka-mereka yang kini menjadi seorang dokter dan anggota IDI. Ini berarti bahwa potensi menjadi pemimpin bangsa dari kalaga dokter dalam arti yang lebih luas, nyata adanya. Ia bagaikan “mutiara” yang terpendap di bawah laut. Tinggal bagaimana mencari dan menemukan “mutiara” yang terpendam itu, kemudian memolesnya. Potensi kepemimpinan dokter sayang bila tidak ditemukan dan dikembangkan.
Pertanyaan kemudian muncul, siapa yang harus mencari, menemukan, dan memoles mutiara itu? Tentu yang mempunyai tugas adalah organisasi tempat para mutiara (dokter) itu berhimpun. IDI-lah yang utama bertugas menemukan, memoles dan menempanya melalui berbagai proses kaderisasi. Proses kaderisai hendanya dilakulan untuk menghindari munculnya pemimpin “karbitan”, yang sebelumnya tidak pernah berproses dan belajar secara dinamis di dalam setiap aktivitas organisasi. Karena itu pula di masa depan IDI mendapatkan satu tambahan fungsi, yakni sebagai organisasi yang memoles, menempa, dan melahirkan pemimpin organisasi yang kelak menjadi pemimpin bangsa yang menyatu dan mencintai rakyat.
Proses untuk melahirkan kader andal yang diharapkan menjadi pemimpin, tentu saja tidak mudah. Mungkin sama tidak gampangnya ketika kelak secara ril sudah menjadi pemimpin yang sebenarnya. Namun IDI tidak boleh ragu-ragu, ia harus memilki keberanian untuk memulainya, apalagi bila IDI menganggapnya sebagai sebuah tuntutan sejarah dan tuntutan zaman.
Berkaitan dengan masalah ini, saya ingin menutup catatan kecil ini dengan mengutip ungkapan seorang cendekiwan muslim ternama Indonesia, Alm. Prof. Nurcholish Madjid. Cak Nur (panggilan akrab beliau) pada suatu forum diskusi yang kebetukan saya adalah salah seorang pesertanya ketika itu.
Intinya kira-kira begini, “apabila kalian masuk ke dalam masjid karena ingin sholat berjamaah namun kebetulan imam tetap masjid tersebut berhalangan hadir, maka hendaklah diantara kalian yang memenuhi syarat untuk menjadi imam, mengambil alih dan bertindak sebagai imam. Sebab bila kalian tidak segera melakukannya, dihawartirkan “orang gila” yang kalian tidak kenal serta tidak memenuhi syarat, yang akan mengambil alih dan maju menjadi imam, memimpin sholat berjamaah kalian”
Penulis, Ketua Departemen Kesehatan BPP KKSS