Makassar Butuh Walikota Visioner dan Pemasar, Apa Ada Calonnya?

1
1231
- Advertisement -

Kolom Alif we Onggang

Indonesia dulu punya tokoh pemimpin daerah yang sukses dan familiar di era 70-an. Gubernur Jakarta Ali Sadikin dan Walikota Makassar Daeng Patompo. Patompo lebih populer ketimbang Gubernurnya, Achmad Lamo. Kota-kota besar saat itu banyak belajar ke Patompo ihwal bagaimana mengenyahkan sampah, berhubung Makassar kota terbersih di tanah air.

Saking terkenalnya, Patompo sempat jadi Ketua Walikota se Dunia. “Ali Sadikin itu Patompo-nya Jakarta,” seru Patompo. Menanggapi hal itu, Ali Sadikin bilang, “Saya angkat topi sama Patompo, berani dan pekerja keras.” 

Sekarang terbalik. Agaknya Makassar mesti ‘belajar’ mengelola sampah ke Surabaya, studi ruang publik ke Bandung, berguru ke Semarang dan Yogya menggarap situs sejarah,  atau bertanya ke Malang bagaimana menata taman, boleh ke Banyuwangi menyoal pengembangan wisata. Banyuwangi yang semula kota mati, ‘dihidupkan’ secara kreatif dengan kunjungan 5 juta wisatawan oleh bupatinya Azwar Anas. 

Pasca Patompo, Makassar lebih menonjol oleh motto dan baliho, entah tagline Kota Bersinar, hingga Smart City. Walikota Ilham Sirajuddin (2004-2008) bahkan berhasrat menjadikan Makassar menjadi Kota Dunia  2025.

- Advertisement -

Impian  menuju  kota  dunia  sudah ada  presedennya.  Makassar 400 tahun lalu  adalah  salah satu bandar tersibuk di negeri-negeri bawah angin. Ia kosmopolit  sebab beragam suku  bangsa  hidup harmonis di kota ini. Orang-orang  berhidung mancung dari Spanyol, Portugis, Inggris  dan  Belanda  berinteraksi  dengan  rumpun  berhidung  pesek  dari Bugis Makassar, Melayu, Jawa dan China. Perniagaan  antarbangsa  membuat  Makassar tersohor di seantero Eropa dan Asia Timur, dan tentu saja  di  regional  Asia Tenggara.

Kala itu orang-orang Wajo mengembangkan bisnis seraya membangun  Singapura, —  kawasan  yang  masih  bagian  dari  semenanjung  Malaka.  Jika  Singapura  melaju  pesat  menjadi  salah satu  kawasan  paling  mencengangkan di dunia,  Makassar  justru   terdesak  ke  belakang  karena  lebih  asyik  bernostalgia  dengan  masa silamnya.

Makassar  adalah  tipikal kota-kota di Indonesia,  dan  streotipe  dari miskinnya manajemen perkotaan. Makassar yang  adiluhung  dengan  sejarahnya,  tidak  banyak  meninggalkan  jejak  geneologis dan  arkeologis.   

Apa Makassar berniat meniru kota Zhenshen,  megapolitan dunia yang dulu belajar lewat Batam  perihal  bagaimana  konsep  pengembangan  ekonomi.  Batam saat ini masih  berkutat  dengan  konflik  kepentingan,  sementara Zhenshen sudah melesat ke angkasa.

Kota-kota lain  berlari cepat  karena  ia  selalu belajar dari pengalaman empirik. Kita  kerap mengulangi  kesalahan yang  sama.  Politik  sentralistik orde baru  merupakan  salah  satu  variabel  mengapa di  Nusantara  ini  tidak banyak pusat-pusat   pertumbuhan  ekonomi.  Jadi untuk  mendongkrak Makassar  menjadi  kota  berkelas, ia mesti didekati oleh pembenahan yang  multidimensional dan inklusif.

Dari  dimensi   mana  Makassar  hendak dicapai? Dikerek untuk  sejajar  dengan  kota-kota  sebayanya; apa  ingin  seperti  Makao — kota  yang  lebih mungil dan  penduduknya  separuh  dari  Makassar  akan tetapi  memiliki  gedung-gedung kuno nan menawan?  Atau  mampukah  Makassar  menyamai Penang,  kota sepantarannya yang  oleh  Asia Week  dinilai  sebagai  salah  satu  kota  terbaik di Asia.

Mungkin terlalu jauh, tapi Surabaya bisa menjadi pembanding, sejauh kota yang dulu jorok dan panas itu kini disulap menjadi kota apik yang mendunia.

Apa di antara calon-calon walikota Makassar yang maju dalam Pilkota 9 Desember 2020, menyiapkan visi untuk memoles kota Anging Mamiri ini lebih resik, ramah, tertata sehingga warganya lebih nyaman dan hepi? Apa ada yang gesit menjadi pemasar yang jitu untuk menjual potensi kotanya?

Sebab ketika pertama terpilih, ia dihadapkan problem klasik seperti sampah, banjir, transportasi, kualitas udara,  hingga peruntukan ruang terbuka hijau.     

Sebagai Tujuan Wisata

Guna menaikkan  harkat  Makassar,  yang paling  mungkin adalah  pembangunan pariwisata. Makassar memiliki modal kekayaan sejarah, keunikan  budaya dan kelezatan kuliner. Pas sebagai kota konvensi. 

Masyarakat   diluaskan  mencintai  kotanya  agar  tumbuh  rasa kepemilikan, dan dikenakan  sanksi  yang  berdampak deteren apabila  membuang  sampah di  sembarang  tempat. 

Pasalnya, turis lokal dan asing tidak  butuh  mal   melainkan   kebersihan  dan  kenyamanan. Mereka butuh tempat-tempat yang unik, otentik dan eksotis seperti museum, pelabuhan Paotere, kawasan pecinan atau pasar dan permukiman kampung. Tapi kota ini lebih bernafsu membangun pusat perbelanjaan.

Sehingga jika pelancong ke Makassar, imajinasinya terpenuhi tentang yang ikonik sebagai kota maritim. Tapi sayangnya atmospir itu tidak dijumpai lewat tapak-tapak kejayaannya.

Perahu-perahu pinisi tampak anggun mengangkut turis justru kita dapati di daerah wisata dunia di Labuan Bajo, NTT, Bali atau Raja Ampat, Papua. Bukan di pantai Losari. Padahal Shanghai, Bangkok dan Hongkong memanfaatkan perahu-perahu tradisional mereka membawa turis.

Terbayang, jika turis domestik dan asing usai mengujungi Fort Roterdam, naik perahu pinisi mengarungi dan mengitari pulau-pulau Spermonde di sekitar Makassar,  lalu ke arah delta sungai Jeneberang berlabuh di Benteng Sombaopu,  terus menapak tilas ke muara sungai Tallo, sebagai pusat kerajaan Tallo, di situ Karaeng Pattingalloang, raja paling intelek saat itu di Nusantara dimakamkan. Selanjutnya berwisata sejarah di makam empat pengubah sejarah: Sultan Hanuddin, Arupalakka, Syekh Jusuf, dan Diponegoro — wisata religi dan sejarah yang digandrungi pelancong Jawa.

Tahun lalu saat ke makam Syekh Yusuf dan Arupalakka, kompleks tampak tak terawat dan kumuh. Malah di pelatarannya sampah berserakan, kontras dengan makam Syekh Yusuf di Cape Town tertata necis. Bahkan pemerintahnya menobatkan Syekh Yusuf sebagai Pahlawan Nasional Afsel. Mungkin karena malu, Indonesia memberi gelar serupa di kemudian hari.

Makassar sejatinya berintegrasi sebagai kawasan wisata berikat menggandeng Maros dan Gowa, yang notabene didukung obyek wisata yang memukau.

Pelancong bisa ke taman nasional Bantimurung, sebagai warisan Park ASEAN, sekalian melihat lukisan gua tertua di dunia yang ada di kawasan itu.  Bisa pula memilih Enrekang  dengan  gunung-gunung  purbanya,  tak  kalah  memikat dengan  pegunungan di  Selandia  Baru  yang   menjadi   latar film  Lord  of   The  Rings, salah satu film terbaik  sepanjang masa.

Ke Toraja apalagi.

Kalau  semua  ini  berjalan  dan  ditopang  oleh industri  pendukungnya maka tercipta sebuah ekosistem pariwisata yang ajek.

Bila Singapura  mampu  menjual  Bugis Street  dan  memamerkan  prasasti  kapal  Padewakkang,  kenapa  Makassar pura-pura  menutup  mata dan tidak memasarkan pinisi, lambo, padewakkang, dan lepalepa yang hilir mudik di perairan sambil menikmati senja di kota ini?   

Cuma walikota yang visioner dan ahli pemasar yang bisa menata semua ini. Sehingga mimpi Patompo yang ingin menjadikan Makassar sebagai city of paradise terkabul.

Penulis adalah pelancong dan penikmat kuliner

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here