Raja Monoarfa memberikan lahan kepada Lasimpala untuk dihuni, karena berhasil mengusir perompak dari Minadanao dan Tobelo.
PINISI.co.id- Jauh sebelum Lamakasa, kakek Presiden RI ketiga BJ Habibie berjuang di Gorontalo, hingga Ketua KKSS Gorontalo Jaenal Mappe menapakkan kakinya di Gorontalo, orang-orang Bugis utamanya dari Bone, sejak ratusan tahun lalu telah lebih dulu merantau ke ujung pulau Sulawesi itu. Tak heran jika di provinsi muda ini nama Bone kerap dijumpai. Pahlawan Nasional-nya bernama Nani Wartabone, ada pula nama Sungai Bone, Kampung Bone, dan banyak lagi bone-bone lainnya.
Begitulah, orang-orang Bone yang mengembara ke Gorontalo membangun permukiman sehingga kawasan huniannya disebut sebagai Kampung Bugis.
Tak disangkal, penduduk yang mendiami Gorontalo adalah penduduk asli yang hidup mengelompok dalam unit-unit kecil dan merupakan satu kesatuan sosial ekonomi. Permukiman mereka menyebar di sekitar pegunungan Buliohuto dan Tilongkabila, sekitar Danau Limboto dan daerah-daerah perbukitan.
Masuknya para imigran dan pedagang dari Bugis, Makassar, Ternate, disusul Cina, Arab, Eropa–terutama Belanda dan Minahasa mewarnai pembentukan dan perkembangan Gorontalo.
Beberapa para pedagang tertarik bermukim di Gorontalo, kemudian mendirikan kampung yang berorientasi pada daerah atau negara dari pedagang tersebut berasal seperti Kampung Bugis, Arab dan Cina, Donggala, dan Tamalate (Makassar). Di samping itu terdapat juga perkampungan Belanda yang umumnya bertugas sebagai pegawai pemerintahan Assitant Residentie.
Kolonisasi Bugis Makassar sangat erat hubungannya disepakatinya perjanjian Bungaya yang menyebabkan terjadinya imigran dalam skala besar di daerah itu. Para imigran Bugis Makassar meninggalkan negerinya dan menuju ke daerah-daerah yang pernah di bawah pengaruhnya termasuk Gorontalo.
Bermula dari imigran Bone membentuk perkampungan serta mengembangkannya dalam kerajaan kecil. Nama disesuaikan daerah asalnya. Mereka mendiami sekitar Sungai Bone dan Pantai Bone. Menurut laporan Rosenberg bahwa terdapat lima kampung yang dihuni orang-orang Bone.
Munculnya Kampung Bugis, Kelurahan Bugis, — Kecamatan Kota Selatan sekarang) diawali dari permintaan Raja Monoarfa kepada jagoan Bugis bernama Lasimpala untuk membantu mengusir para perompak Minadanao dan Tobelo. Akhirnya Lasimpala berhasil mengusir para perompak tersebut. Kemudian Raja Monoarfa memberikan lahan kepada Lasimpala untuk dihuni dan dikembangkannya menjadi sebuah perkampungan yang dikepalai seorang bergelar matoa (orang yang dituakan). Lokasi kampung Bugis berdekatan dengan pelabuhan karena sesuai dengan pekerjaannya sebagai pelaut dan nelayan.
Sementara kolonisasi Cina dan Arab membangun permukiman di sekitar muara Sungai Bolango sebagai kawasan perdagangan. Para pedagang Arab umumnya berasal dari Surabaya. Di samping berdagang mereka juga berdakwah dalam menyiarkan agama Islam. Penduduk umumnya memberi gelar Said dan dianggap sebagai orang suci serta sangat dihormati oleh penduduk, sedangkan “Syech” yang lebih disegani sangat kurang jumlahnya.
Dalam perkampungan Arab dan Cina dikepalai oleh seorang bergelar Luietnan, sehingga perkampungan Arab, Cina maupun Bugis di bawah pengawasan langsung Controleur, serta diwajibkan membayar pajak khusus.
Pola Pemukiman
Penduduk Afdeeling Gorontalo secara keseluruhan berjumlah 186.000 jiwa. Khusus pengetahuan komposisi penduduk Gorontalo tahun 1856 dapat diketahui dari laporan van Baak sekitar 40.000 jiwa, dan sepertiga berada dalam perbudakan.Beberapa kampung terdapat kepadatan penduduk lebih tinggi seperti Kampung Ipilo, Biawau, Liato, Talumolo, Limba, dan Heludulaa, namun kepadatan penduduk lebih tinggi terletak di Kampung Bugis. Jumlah penduduk perkampungan tersebut secara keseluruhan 4.600 jiwa.
Angka komposisi penduduk meliputi Eropa berjumlah 41 jiwa. Bugis, Arab, Cina dan Jawa berjumlah 2.400 jiwa.Kecenderungan kepadatan penduduk pada kampung-kampung tersebut disebabkan letaknya berdekatan dengan pusat administratif asisten residentie dan pusat perdagangan. Suku bangsa Bugis, di samping sebagai pedagang terdapat juga pelaut dan nelayan.
Peranan lingkungan alam mempunyai pengaruh cukup besar terhadap pola pemukiman. Di samping hubungan melalui maritim sebagai lalu lintas komunikasi, juga pola aliran Sungai Bone dan Bolango memberikan kecenderungan penduduk memanfaatkan sungai-sungai sebagai prasarana lalu lintas utama. Peranan dan fungsi pantai maupun sungai semakin besar dapat menarik penduduk Gorontalo dengan mengembangkan pemukiman ke arah tersebut. Pada mulanya bersifat memanjang dan mengelompok sesuai dengan kemudahan yang tersedia oleh alam, artinya pemilihan lokasi pemukiman tidak disertai dengan usaha penaklukan alam lebih dahulu.
Dengan demikian lokasi pemukiman berpola mengelompok padat dan memanjang mengikuti alur sungai dan pesisir pantai. Pola ini juga terdapat pada pemukiman penduduk di daerah pertemuan Sungai Bone dan Bolango yang awalnya membangun pemukiman dan dikembangkan menjadi perkampungan Bugis dan Cina.
Bagian pertemuan Sungai Bone dan Bolango menjadi ancaman serius bagi penduduk yang menetap di sekitarnya, setiap tahunnya daerah ini sering dilanda banjir cukup besar. Bencana ini menyebabkan orang-orang Bugis dan Cina mengungsi ke daerah-daerah pinggiran kampung yang dihuni orang-orang Minahasa yang umumnya bekerja sebagai tenaga pengajar.
Karena itu, upaya lebih merekatkan kesatuan bangsa dalam masyarakat Gorontalo yang keterkaitan warga masyarakat baik secara formal maupun akan mendorong terciptanya perdamaian dalam kehidupan masyarakat yang beragam. Itu pula sebabnya sejumlah warga asal Bugis Makassar yang menjabat kursi empuk di Gorontalo. Sebutlah itu, Darda asal Gowa, yang menjadi Sekda atau Masud dari Mandar, Kepala Kejaksaan Negeri hingga Jaenal Mappe, saudagar terpandang dari Sengkang yang sudah puluhan tahun mukim di sini.
(Alif, dari berbagai sumber)