Kolom Arfendi Arif
Tahukah anda bagaimana awalnya Iedul Fitri atau Hari Raya? Menurut cerita seorang sahabat Anas bin Malik, saat Nabi Muhammad hijrah ke kota Madinah beliau melihat penduduk Madinah sedang berpesta dan gembira sambil bernyanyi dan menari diiringi bunyi-bunyian selama 2 hari. Terjadilah dialog antara Nabi dengan mereka.
“ Hari apakah ini?” tanya Nabi.
“Inilah hari besar yang kami rayakan sejak zaman jahiliyah dulu,” jawab penduduk.
“Sesungguhnya Allah Swt telah mengganti kedua hari ini dengan hari raya Islam yang jauh lebih baik, yaitu Hari Raya Iedul Adha dan Hari Raya Iedul Fitri,”jelas Nabi.
Dalam percakapan Nabi dengan penduduk Madinah tersebut beliau tidak melarang adanya pesta kegembiraan pada hari besar yang dirayakan, di samping adanya hari raya keagamaan yang disebutkan beliau “jauh lebih baik”, yaitu Hari Raya Iedul Adha dan Iedul Fitri.
Mengomentari peristiwa yang diceritakan hadis ini, ulama Mesir yang pernah jadi Rektor Al-Azhar Prof. Syekh Mahmud Syaltut mengatakan, bahwa agama Islam dalam menghadapi adat kebiasaan atau tradisi tidak melarang dan tidak mengakui secara keseluruhan. Yang baik dan sesuai dengan naluri kemanusiaan diperbolehkan, sebaliknya yang tidak sesuai dengan kemanusiaan, dan bertentangan dengan ajaran suci Islam jelas tidak dibolehkan dan diberantas.
Selanjutnya dalam sebuah hadist Nabi dikatakan,” Bagi orang yang sudah melaksanakan ibadah puasa ada dua saat kegembiraan. Pertama, pada waktu berbuka (termasuk 1 syawal), dan kedua, saat menghadap Allah kelak di hari kiamat”.
Pada saat lebaran umat Islam merayakan kegembiraan dengan melaksanakan Shalat Ied di tanah lapang, kemudian memperbanyak takbir , tahmied dan tahlil. Artinya, membesarkan nama Allah dan memujinya dengan mengumandangkan Allahu Akbar, Walillahilhamd, dan La Ilaha Ilallah.
Tiga macam ungkapan di atas mengandung makna, pertama, pengakuan atau ikrar bahwa Allah Yang Maha Besar, tidak ada yang lebih kuat, yang lebih kuasa di alam semesta ini selain Allah; kedua, tekad bahwa yang berhak dihormati dan dipuja hanya Allah semata-mata, dan wajib bersyukur atas nikmat yang diberikannya , serta ridha dengan qadha dan qadar-Nya; ketiga, pernyataan minta pertolongan dan perlindungan hanya kepada Allah; keempat, meyakini keesaan Illahi dengan ikhlas, berserah diri kepada-Nya dalam segala situasi, dan menjauhi segala yang dimurkai-Nya.
Selanjutnya ada fenomena mudik atau pulang ke kampung halaman bersilaturahim dengan keluarga jelang atau setelah lebaran. Selanjutnya ada halal bihalal,pertemuan untuk saling memaafkan. Apa yang menarik dari fenomena ini?
Manusia modern hidup di tengah era teknologi yang serba mekanik. Disibukkan oleh kerja memenuhi kebutuhan hidup. Kota besar yang macet dan tuntutan hidup yang membuat sress dan tertekan. Banyak persolan yang timbul dalam hidup ini yang membuat kepala pusing dan jiwa menjadi resah.
Tidak perduli apakah itu petani, pedagang, pengusaha, pekerja kantoran, politisi, pejabat, polisi, militer dan lainnya akan merasakan kelelahan dalam hidup yang rutin ini. Kadang muncul persoalan pribadi dalam hidup ini ataupun di masyarakat yang semuanya butuh diselesaikan dengan segera.
Dengan bergembira di hari raya atau Ied Fitri, Allah menyuruh manusia bersuka ria dan rehat sejenak melupakan kesibukan. Merenggangkan pikiran, hati dan jiwa yang tegang agar lehih fresh dan rileks.
Setelah itu kita menyambut hidup ke depan dengan lebih optimis dan yakin dengan pertolongan dan lindungan Allah. Dengan bergembira di hari raya Allah menyuruh kita untuk memperbaharui tekad, menumbuhkan semangat baru, membebaskan diri dari segala pekerjaan dan persoalan hidup, mengurangi ketegangan urat kepala dan saraf, menyambut kehidupan ke depan dengan lebih baik. Inilah hikmah penting hari raya Iedul Fitri.