Membisu dan Menggerutu Alarm Defisit Demokrasi

0
916
- Advertisement -

Kolom Ruslan Ismail Mage

Proses demokratisasi dihampir seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara pasca 1998, adalah berkah bagi warga negara. Dikatakan berkah karena secara teoritis, demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang paling bisa mendistribusikan keadilan dan mengalokasikan kekayaan alam yang merata kepada seluruh warga bangsa tanpa terkecuali. Dari sepuluh alasan kenapa harus demokrasi, satu diantaranya menekankan “setiap warga negara memiliki kedudukan dan hak yang sama dibidang hukum, ekonomi, dan pendidikan”.

Persoalannya kemudian, proses demokratisasi yang sudah berlangsung lebih 20 tahun di negeri ini belum sepenuhnya melahirkan warga negara yang konsisten mempertahankan “ciri warga negara demokratis” yaitu harus bersuara dan tidak boleh diam membiarkan kebenaran dan ketidakadilan tenggelam dalam pusaran kekuasaan. Sebagaimana penegasan Robert Dahl bahwa “warga negara yang diam akan menjadi racun bagi demokrasi dan menjadi berkah bagi pemerintahan otoriter yang korup”.

Walaupun proses demokrasi yang disemangati liberslisme mampu menggilas feodalisme, kenyataannya nilai-nilai feodalisme masih tetap bertahan di tengah kehidupan masyarakat. Salah satu ciri khas masyarakat feodalisme adalah kebiasaan masyarakat nurut, menerima apa adanya walaupun mengetahui ada yang salah dalam kebijakan pemimpinya. Budaya ngobrol, terlebih ngerumpi lebih hidup dibandingkan budaya dialog mendiskusikan kenapa pemimpin tidak pernah jenuh ingkar janji kampanyenya. Jadi beralasan kalau ada anggapan, yang terjadi dalam masyarakat sekarang itu bukan saja mayoritas nan membisu melainkan mayoritas nan menggurutu.

Akibatnya demokrasi Indonesia mengkhawatirkan ke depan. Apalagi lima tahun terakhir sang agen perubahan bernama mahasiswa lebih cenderung memilih jalan sunyi daripada parlemen jalanan sebagai ciri pergerakannya. Begitu pula kaum terdidik umumnya ikut-ikutan membisu dan hanya mampu menggerutu tanpa berbuat apa-apa dalam menyikapi banyaknya kebijakan pemimpin yang berpotensi merugikan daerah dan negara, bahkan menjadi bagian dari propaganda politik atas nama kapitalis. Belum lagi kampus sebagai institusi pendidikan tinggi tidak melakukan perang gagasan untuk membentengi demokrasi tidak roboh dimakan rayap otoritarianisme.

- Advertisement -

Kalau mayoritas rakyat membisu, mahasiswa memilih jalan sunyi, aktivis hanya mampu menggerutu, orang terdidik menjadi bagian dari propaganda politik, dan pihak kampus tidak turun gunung, lalu kepada siapa nasib daerah dan bangsa ini bergantung? Karena itu, saatnya merenungi kembali pernyataan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan “Jika orang baik tidak terjun ke politik, para penjahatlah yang akan mengisinya”.

Sahabat, hayati pernyataan bijak Erdogan tersebut, lalu dengarkan kembali pesan Robert Dahl bahwa : “warga negara yang diam akan menjadi racun bagi demokrasi dan menjadi berkah bagi pemerintahan otoriter yang korup”. Jadi mari bersuara kawan, agar Indonesia tidak mengalami defisit demokrasi yang sudah mulai menggejala. Tengoklah catatan ‘Freedom House’ yang menyatakan sekarang kebebasan berekspresi di Indonesia mengalami penurunan. 

Penulis : Akademisi, Inspirator dan penggerak, Founder Sipil Insrititute Jakarta

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here