PINISI.co.id– Entah kebetulan atau tidak, frekuensi unjuk rasa di masa periode kedua pemerintahan SBY dan Jokowi intensitasnya makin tinggi, bahkan memakan korban jiwa segala. Apa karena tak ada lagi yang berani jadi bumper pemerintah?
Entah kebenaran atau tidak, saat demonstran merubung Istana Negara, presiden biasanya berada di tempat lain meresmikan proyek atau hadir pada acara lain.
Namun, sewaktu Jusuf Kalla (JK) di pemerintahan, baik sebagai menteri maupun sebagai wakil presiden, ia kerap menghadapi pengunjuk rasa secara frontal.
JK sudah terbiasa berhadapan-hadapan dengan pendemo bahkan jadi palang pintu pemerintah. “Saya tidak mungkin meninggalkan gelanggang apalagi harus lewat pintu belakang,” kata JK yang kini wakil Asia untuk Dewan Juri Zayed Award for Human Fraternity.
Soal demo yang tidak surut-surut, JK tegaskan, “kita kuat-kuatan saja, siapa yang lekas capek. Pendemo atau kita.”
Namun, JK tidak setuju apabila pendemo sampai bertindak anarkis. “Kalau pakai batu atau api itu primitif namanya,” ucapnya.
Saat jadi Wapres SBY, JK pernah di hadapan ratusan buruh mengingatkan bahwa tak ada negara di dunia buruhnya selalu melakukan perusakan setiap kali demo. “Tunjukkan kepada saya, di mana ada demo merusak mesin-mesin pabrik, bahkan menyandera managernya, tidak ada!”
Menurut JK, pemerintah memahami aspirasi buruh, tapi hindari kekerasan. Seharusnya kita tidak merusak rumah sendiri, karena tanpa pabrik, tanpa perusahaan kita jadi penganggur terbesar di dunia,” JK mengingatkan.
Para buruh terpaku.
Sambil melirik pengusaha Sofyan Wanandi di sampingnya, JK katakan kepada buruh, karena itu sayangi tempat kerja anda, dan Pak Sofyan juga harus menyayangi buruh karena tanpa buruh Pak Sofyan juga jadi pengangguran.
Para buruh bertepuk tangan dan tersenyum sumringah.
Selagi JK Menko Kesra zaman Megawati, JK sering berperan sebagai Menko Polkam yang saat itu dijabat SBY. Waktu itu JK berkontribusi besar dalam menyelesaikan konflik agama di Poso dan Ambon. Di Poso, ia didemo oleh kedua belah pihak Islam dan Kristen.
“Tidak mau damai? Kalau tidak mau, ya kita kasih kalian senjata sama banyaknya, dan kalian habis-habisan saja. Mau ?” tantang JK.
Kedua kelompok ini ciut nyalinya dan bungkam seribu bahasa. Akhirnya jalan damai pun ditempuh.
Sekali waktu rumah JK didatangi sekelompok Islam garis keras dari Maluku dengan pedang terhunus. Mereka memprotes perlakuan yang tidak adil dalam konflik Ambon. JK keluar dan memenuhi mereka meski sudah dilarang keamanan.
“Kita ini juga Islam. Kalau Islam sudah berapa kali kau naik haji? Sudah berapa banyak anak yatim yang kau kasih makan? Sudah berapa masjid yang kau bangun? sergah JK.
Kawanan ini pun tak berkutik dan mundur dengan teratur.
Di era Gus Dur, JK sekian kali melawan pendemo dengan prinsip maju tak gentar. Saat Menteri Perindustrian, kantornya sempat didemo besar-besaran oleh orang Madura. Staf JK mewanti-wanti agar tidak mememui orang Madura karena dikenal galak dan sulit diatur.
Pendemo Madura unjuk rasa sambil membacakan salawat. Rupanya JK tahu kuncinya. Ia buru-buru turun memimpin salawat. Kebanyakan pendemo tak tahu ayah JK adalah tokoh NU dan JK sendiri adalah pengurus NU Sulsel.
“Tak hanya orang Madura yang bisa salawat. Orang Bugis juga bisa. Itulah persamaan orang Bugis dengan orang Madura,” kata JK enteng.
Para pengunjuk rasa kontan mengeplokkan tangan, tapi masih protes soal harga gula yang melambung. JK lantas menjanjikan bahwa nanti harga gula murah sehingga mengutungkan pendemo. Sejurus kemudian pendemo memanggul JK, tak ubahnya seorang pelatih sepakbola yang baru saja menjuarai turnamen.
Lain lagi, siasat JK tatkala menghadapi demonstran orang Batak. Lagi-lagi stafnya melarang untuk mendatangi pendemo lantaran orang Batak dikenal keras.
Kala itu pendemo menuntut pabrik Indorayon di Sumut ditutup. Menemui pendemo JK langsung menyapa. “Horas bah!”
“Horas!” jawab pengunjuk rasa serentak.
“Saudara ikuti reformasi? Saudara hormati hukum?” tanya JK.
“Ya.”
“Yang saya banggakan sama orang Batak karena sama dengan orang Makassar yang punya pengacara top. Batak punya Adnan Buyung, Mulya Lubis, Tampubolon. Dari Makassar ada OC Kaligis, Amir Syamsuddin dan Denny Kailimang. Kalau saya tutup pabrik pasti banyak penganggur. Kenapa anda tidak meminta pengacara Batak menuntut Indorayon. Kalau menang anda juga dapat ganti rugi,” tawar JK.
“Oo…iyaya,” pikir pendemo. Mereka senang, dan akhirnya para pendemo bersalaman dengan JK.
“Horas!”
Namun dengan mahasiswa pengunjuk rasa Makassar yang dikenal panas dan acap anarkis, tampaknya JK dibuat pusing. “Biasa kalau rumah saya didemo, tapi ini, gunung mau meletus pun ingin didemo juga,” ujar JK heran.
Menurut JK, betul orang-orang Unhas (JK, Hamid Awaludin, Farid Husain) bisa mendamaikan sejumlah konflik di tanah air, seperti GAM dan Poso, tapi konflik dan tawuran di Unhas sendiri tidak pernah selesai,” kata JK tak habis pikir.
Makassar dilawan.
(Alif)
Sumber: Buku Mati Ketawa Ala JK (Alif we Onggang, 2009), Enam Bulan Jadi Menteri, M. Jusuf Kalla Dalam Kabinet Gus Dur ( S. Sinansari Ecip, 2002).