PINISI.co.id- Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Feri Wibisono, SH. MH. CN didampingi oleh Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Hari Setiyono, SH. MH. dan Direktur Tata Usaha Negara pada Jamdatun Andi Herman SH, MH. serta Tim Jaksa Pengacara Negara (JPN) pada Jam Datun memberikan tanggapan atas Putusan PTUN Jakarta Nomor : 99/G/TUN/2020/PTUN.JKT tanggal 04 November 2020 yang menurut JPN putusan tersebut tidak tepat.
Sebagaimana diketahui bersama. Perkara TUN antara Penggugat I. Sdr. SUMARSIH dan Penggugat II. Sdr. HO KIM NGO melawan Jaksa Agung Republik Indonesia sebagai Tergugat telah diputus oleh hakim PTUN Jakara yang amarnya pada pokoknya sebagai berikut :
Dalam Eksepsi:
Menyatakan eksepsi-eksespi yang disampaikan Tergugat tidak diterima ;
Pokok Perkara:
- Mengabulkan gugatan para Penggugat seluruhnya ;
- Menyatakan Tindakan Pemerintah berupa Penyampaian Tergugat dalam Rapat Kerja antara Komisi III DPR RI dan Jaksa Agung RI pada tanggal 16 Januari 2020 yang menyampaikan: “… Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II yang sudah ada hasil rapat paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat, seharusnya Komnas HAM tidak menindaklanjuti karena tidak ada alasan untuk dibentuknya Pengadilan ad hoc berdasarkan hasil rekomendasi DPR RI kepada Presiden untuk menerbitkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM” adalah perbuatan melawan hukum oleh Badan dan/atau pejabat pemerintahan;
- Mewajibkan Tergugat untuk membuat pernyataan terkait penanganan dugaan Pelanggaran HAM berat Semanggi I dan Semanggi II sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI berikutnya, sepanjang belum ada putusan / keputusan yang menyatakan sebaliknya;
- Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp.285.000,- (dua ratus delapan puluh lima ribu rupiah);
Atas putusan Pengadilan TUN Jakarta tersebut, Tim JPN sudah mempelajari putusan tersebut dan sebelum disampaikan upaya hukum, maka terlebih dahulu Jam Datun Kejaksaan Agung memberikan penjelasan/tanggapan atas putusan tersebut kepada awak media untuk memberikan informasi yang berimbang kepada masyarakat sebagai berikut :
TERDAPAT PERTIMBANGAN-PERTIMBANGAN DALAM PUTUSAN PTUN JAKARTA PERKARA A QUO YANG TIDAK SESUAI DENGAN FAKTA DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ANTARA LAIN : - PTUN Jakarta keliru memberikan pertimbangan hukum ;
Bahwa Tindakan Jaksa Agung dalam menginformasikan belum merupakan perbuatan konkret dalam penyelenggaraan pemerintahan, sebagaimana ditentukan dalam Perma No. 2 Tahun 2019, informasi yang diberikan Jaksa Agung dalam Rapat Kerja dengan DPR RI tidak dapat dikategorikan perbuatan konkret penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan ketentuan pasal 1 angka 1 Perma No. 2 Tahun 2019 sebagaiman tersebut dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim pada halaman 93 sd Halaman 95 dari putusan tersebut ;
Kesalahan PTUN Jakarta tersebut karena ucapan atau pernyataan Jaksa Agung RI yang memberikan informasi bukan suatu tindakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Dan jika pernyataan dan jawaban pada Rapat Kerja – DPR dikategorikan Tindakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan, maka akan banyak pernyataan / jawaban yang merupakan objek sengketa TUN. - Syarat ‘Kepentingan Penggugat’ dalam gugatan TUN tersebut tidak tepat ;
Berdasarkan prinsip point d‘interest point d’action dan ketentuan pasal 53 ayat (1) Undang – undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan TUN, kepentingan Penggugat (orang tua korban) adalah pada Penanganan Perkara HAM Berat bukan pada proses Jawab Menjawab pada Rapat Kerja DPR, oleh karena itu orang tua korban tidak memiliki kepentingan terhadap kalimat jawaban Jaksa Agung di Rapat Kerja DPR tersebut ; - Penggugat belum memenuhi kewajiban melakukan ‘banding administratif’ lebih dahulu
Berdasarkan ketentuan pasal 78 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebelum melakukan gugatan seharusnya Penggugat melakukan upaya banding administrasi terlebih dahulu kepada atasan pejabat pembuat keputusan secara tertulis ;
PTUN Jakarta mengabaikan bukti keterangan Ahli Prof. Gede Pantja Astawa yang diajukan didalam persidangan yang menyampaikan surat terbuka tanggal 5 Maret 2020 kepada Presiden berisi permintaan penanganan permasalah HAM Berat secara keseluruhan tidak dapat dikategorikan banding administrative yang tertuju kepada pernyataan Jaksa Agung dalam Rapat Kerja DPR sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan ;
MAJELIS HAKIM KELIRU MEMBUAT PERTIMBANGAN :
Dalam pertimbangan hukum PTUN Jakarta halaman 113 sd 114, pada pokoknya menyebutkan :
Menimbang, bahwa dari uraian di atas menunjukkan bahwa tindakan Tergugat sebagaimana yang dimaksud objek sengketa adalah tidak sesuai dengan fakta yang sesungguhnya atau setidak-tidaknya Tergugat tidak menguraikan proses penyelidikan secara lengkap, tindakan Tergugat demikian cenderung mengabaikan/ menyembunyikan fakta mengenai kewajiban yang masih diemban institusi Kejaksaan selaku penyidik yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
Tindakan Tergugat selain mengandung kebohongan (bedrog) juga melanggar asas kecermatan dari asas-asas umum pemerintahan yang baik karena tidak memperhatikan nilai hukum yang terkandung dalam Putusan MK No. 18/PUUV/2008 tanggal 21 Februari 2008.
Pertimbangan hukum tersebut diatas, menjelaskan bahwa Majelis Hakim telah keliru dalam membuat pertimbangan hukum, karena :
1) PTUN Jakarta mengabaikan bukti T-10.b berupa video rekaman dalam rapat kerja komisi III DPR RI beserta keterangan saksi-saksi yang diajukan oleh Tergugat;
2) Majelis Hakim PTUN lalai tidak menilai bukti T-10.b berupa video rekaman dalam rapat kerja komisi III DPR RI pada tanggal 16 Januari 2020 (vide bukti T-10.b) tersebut,
3) Dalam video rekaman tidak ada penyampaian Jaksa Agung yang menyatakan “ Seharusnya KOMNAS HAM tidak menindaklanjuti karena tidak ada alasan untuk dibentuknya Pengadilan ad hoc, berdasarkan hasil rekomendasi DPR RI kepada Presiden untuk menerbitkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ”;
4) Dalam video rekaman Jaksa Agung RI telah menguraikan atau menjelaskan proses penyelidikan, kendala dan penyebab bolak balik berkas perkara antara Komnas Ham dengan Kejaksaan RI
Oleh karena itu penyampaian Jaksa Agung RI di depan Rapat Dengar Pendapat dengan DPR RI. tersebut tidak melanggar asas kecermatan, karena penyampaian informasi yang disampaikan oleh Jaksa Agung RI berkaitan dengan penanganan dugaan pelanggaran HAM Berat masa lalu yang salah satunya kasus semanggi 1 dan 2 berdasarkan Laporan Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Semanggi I dan Semanggi II pada Rapat Bamus tanggal 28 Juni 2001 (bukti T-4) dan Laporan Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Mengenai Kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II pada Rapat Paripurna Dewan Tanggal 9 Juli 2001 (bukti T-5), dan bukan merupakan suatu tindakan pemerintah apalagi keputusan pemerintah yang dapat digugat ke PTUN ;
PTUN JAKARTA MEMBERIKAN PUTUSAN YANG MELANGGAR KETENTUAN HUKUM YANG BERLAKU:
Dalam pertimbangan hakim PTUN Jakarta halaman 115 pada pokoknya menyatakan:
Menimbang, bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut, pengadilan berkesimpulan bahwa tindakan pemerintahan yang dilakukan oleh Tergugat tersebut adalah cacat substansi karena pernyataan Tergugat tidak sesuai dengan fakta sebenarnya, sehingga perbuatan Tergugat tersebut haruslah dinyatakan perbuatan melawan hukum oleh Badan dan/atau pejabat pemerintahan.
Namun pertimbangan hukum PTUN Jakarta tersebut diatas lalai tidak dapat menjelaskan peraturan mana yang dilanggar sehingga mengkualifikasikan penjelasan Jaksa Agung di depan Rapat Dengar Pendapat tersebut sebagai tindakan pememrintah yang cacat substansi sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 53 ayat (2) UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo. pasal 52 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Selesai menyampaikan penjelasan tersebut, Jaksa Agung Muda Perdata dan tata Usaha Negara memberikan kesempatan kepada awak media untuk menanyakan hal-hal yang belum jelas atau hal-hal yang perlu ditanyakan ;
Pelaksananaan konferensi pers dilaksanakan dengan memperhatikan protokol kesehatan tentang pencegahan penularan pandemic Covid 19 antara lain semua yang hadir wajib memakai masker dan mencuci tangan sebelum memasuki ruangan konfrensi pers serta dengan menjaga jarak aman. (Syam)