PINISI.co.id- Setiap 10 November Indonesia memperingati Hari Pahlawan. Bermula dari peristiwa 10 November 1945 di Surabaya, meletup pertempuran hebat antara militer Indonesia dengan tentara Inggris dan Belanda.
Pertempuran itu menewaskan ribuan pejuang Indonesia. Karena banyaknya pejuang yang wafat, maka ditetapkanlah 10 November sebagai Hari Pahlawan,
Salah satu nama yang mewarnai perang di Kota Buaya itu adalah Komjen Polisi Moehammad Jasin.
Siapa Jasin?
Beragam julukan yang disematkan kepada Jasin, mulai Bapak Brimob Indonesia, Arek Suroboyo, Polisi Pejuang, hingga Singa Pejuang.
Meski Jasin lahir di Baubau, Sulawesi Tenggara, 9 Juni 1920, ia merupakan turunan keenam Latemmasonge Arumpone Matinro Eri Malimongang. Istrinya Siti Habiba, masih turunan Syekh Jusuf.
Ayahnya Haji Mekkah adalah seorang saudagar dari Bone merantau ke Buton dan menghidupi Jasin sebagai pedagang kelontong. Sepeninggal istrinya, Haji Mekkah menikah lagi dengan Siti Rugayah. Dari perempuan asal Maros ini lahir Jasin. Namun, pada usia tiga tahun ibunya meninggal. Jasin lalu diasuh oleh ayahnya. Selanjutnya Jasin disekolahkan di Makassar oleh pamannya hingga ia menjadi polisi, kendati cita-citanya ingin jadi penerbang.
“Jangangko jadi penerbang cari mati saja,” larang ayahnya.
Nah, justru di kepolisian Jasin menunjukkan kecemerlangan. Dari pemerintah Belanda, pendudukan Jepang, hingga era kemerdekaan juga waktu-waktu setelahnya.
Berkat perjuangannya, pada 5 November 2015 Jasin, mendapatkan gelar Pahlawan Nasional. Jasin adalah polisi pertama dalam sejarah Republik yang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
Singa Polisi
Saat Indonesia merdeka, Jasin menjabat sebagai Komandan Tokubetsu Keisatsutai, kesatuan polisi yang dibentuk pada pendudukan Jepang, di Surabaya.
Kemerdekaan RI yang dicetuskan di Jakarta langsung disikapi Jasin di Surabaya. Pada 21 Agustus 1945, Jasin menyatakan bahwa Tokubetsu Keisatsutai beralih rupa menjadi Pasukan Polisi Republik Indonesia. Inilah cikal-bakal lahirnya Kepolisian Republik Indonesia.
Dalam buku Menguak
Misteri Sejarah (2010) pernyataan Jasin itu sebagai “proklamasi polisi
Karesidenan Surabaya” yang mengakui bahwa mereka adalah “pegawai polisi
Republik Indonesia yang berkewajiban menjunjung tinggi dan mempertahankan
kedaulatan dan kehormatan negara Indonesia”.
Jasin memegang peranan penting. Tanpa peran Jasin dan pasukan polisi
istimewanya, tidak akan ada pertempuran di Surabaya.
Ketokohan Jasin pada awal pasca-Kemerdekaan, mampu memelopori serta memberikan kesadaran akan kemampuan diri sendiri dan identitas bangsa serta membangkitkan militansi pemuda-pemuda di Surabaya yang kemudian memantik pertempuran heroik sejak 28 Oktober hingga 28 November 1945 dengan titik puncaknya peristiwa 10 November 1945.
Jasin bukan polisi sembarangan. Dia diakui sebagai pendiri Brimob yang diresmikan 14 November 1946. Saat itu, kesatuan tersebut masih bernama Mobile Brigade Polisi, disingkat Mobbrig.
Pasukan Mobile Brigade Polisi yang dipimpin Jasin selanjutnya turut mengambil peran dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, termasuk ketika Belanda dua kali melancarkan agresi militer.
Suatu hari 1947, Jasin dan pasukannya sempat tertangkap Belanda dan dikurung di Penjara Kalisosok Surabaya. Mereka dibebaskan pada 1948, ditukar dengan sejumlah tentara Belanda yang ditawan pihak republik.
Jasin senantiasa hadir ketika ada pihak-pihak yang dituding melakukan separatisme setelah Indonesia merdeka. Ia dan laskar brigade mobilnya nyaris selalu turun tangan setiap kali ada upaya macam itu
Sebelum Peristiwa Madiun 1948, Jasin sudah memantau pergerakan kaum kiri. Kegiatan PKI di kota tersebut dinilai secara tepat oleh Jasin selaku Komandan Mobile Brigade Besar Jawa Timur.
Catatan penting lainnya, Jasin terlibat dalam penanggulangan Gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang bermaksud melakukan kudeta pada 1950. Ia memperoleh misi penting untuk menyelamatkan pemerintah dari bahaya APRA di bawah pimpinan Kapten Raymond Westerling.
Jasin membentuk
satu komando Operasi Mobile Brigade yang terdiri dari 25 kompi dan
dikonsentrasikan di Jakarta. Ia duduk sebagai pimpinan komando. Operasi ini
juga bertujuan untuk menunjukkan kekuatan demi kepentingan wibawa pemerintah
sambil mengatasi bahaya APRA dan mitranya..
Lalu muncul gerakan separatis lainnya, yakni gerakan Darul Islam/Tentara Islam
Indonesia (DI/TII) pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang
dideklarasikan pada 7 Agustus 1949 di Jawa Barat.
Jasin kembali dipanggil untuk ambil bagian dalam menuntaskan urusan ini. Serta merta ia membentuk dan memimpin batalyon khusus berupa 10 kompi Brigade Mobil untuk menumpas DI/TII.
Dalam
prosesnya, Jasin juga harus menangani misi serupa di Aceh. DI/TII rupanya sudah
menyebar ke sejumlah wilayah, termasuk di Serambi Mekkah yang dimotori Daud
Beureueh.
Perjalanan ke markas DI/TII di Aceh menjadi pengalaman yang tidak terlupakan
bagi Jasin dan pasukannya. Rombongan Jasin beberapa kali dicegat ratusan
pasukan DI/TII. Ia terheran-heran karena
laskar pemberontak itu memiliki persenjataan yang cukup canggih, termasuk bazooka.
“Saat itu TNI belum memiliki bazooka. Kita tidak punya uang untuk membelinya,” kata Jasin.
Dalam persoalan DI/TII di Aceh ini, Jasin melakukan pendekatan personal, bukan lewat penyerangan. Tiba di markas mereka, ia justru terlibat diskusi santai dengan Daud Beureueh sembari menyeruput kopi panas. Akhirnya, misi Jasin tuntas secara damai. Pada 9 Mei 1962, Daud Beureueh dan ribuan pengikutnya menyatakan kembali ke pangkuan NKRI.
Dalam kurun waktu yang sama, Jasin kembali dikirim ke Indonesia bagian timur untuk menuntaskan urusan terkait Republik Maluku Selatan (RMS) yang diproklamirkan pada 25 April 1950.
Karier polisi Jasin mulai meredup setelah terjadinya peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965. Ia memang amat mengagumi Sukarno, namun Jasin tidak pernah sejalan dengan orang-orang PKI. Situasi ini menjadi bumerang baginya. Jasin pun “dibuang” jauh ke Afrika sebagai Duta Besar Tanzania sejak 1967.
Jasin pulang ke tanah air ketika pemerintahan Sukarno telah berakhir, digantikan oleh Soeharto. Pada masa Orde Baru ini, Jasin aktif di pemerintahan dan sempat menjadi anggota MPR-RI periode 1972-1977.
Jasin menutup mata selama-lamanya, pada 3 Mei 2012.
(Alif we Onggang, diolah dari berbagai sumber)