Pemilukada dan Gerakan Literasi

0
917
- Advertisement -


Kolom Ruslan Ismail Mage

Waktu berjalan terus mengikuti irama langkah para tim sukses kontestan Pemilukada dalam menelusuri jalan-jalan setapak di kampung-kampung menawarkan jagoannya. Menurut Kemendagri Pemilukada serentak 9 Desember 2020 akan diikuti 270 daerah dengan rinciannya 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Bisa dibayangkan gegap gempitanya para pendukung di daerah mempromosikan kandidatnya dalam merebut simpati rakyat.

Membayangkan itu, seketika menganalogikan rakyat laksana “gadis cantik rupawan” yang dikelilingi para perjaka untuk melamarnya. Dengan segala macam rayuan gombal sang perjaka akan berusaha menaklukkan hati sang gadis cantik rupawan ini. Mahar (money politic) pun hampir bisa dipastikan sudah disiapkan dalam banyak lembaran amplop untuk meminang rakyat. Sebagaimana pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD yang mengatakan hampir 92 persen calon kepala daerah dibiayai cukong.

Tapi sudalah, tulisan ini tidak tertarik lagi membahas masalah money politic yang sudah menjadi permen karet dalam setiap Pemilu. Tulisan ini lebih fokus melihat “Pemilukada dan gerakan literasi” yang selama ini diabaikan oleh para kontestan Pemilukada. Betapa tidak! Sudah lebih satu dasawara mengamati visi misi para calon kepala daerah, sangat susah menemukan ada visi misi kampanye yang menitip beratkan pentingnya gerakan literasi dibumikan di daerahnya.

Kenapa literasi begitu penting disuarakan calon pemimpin, karena berbicara masalah masa depan daerah dan bangsa itu berbicara masalah generasi mudanya. Berbicara masalah generasi muda itu berbicara masalah SDM. Berbicara masalah SDM itu berbicara masalah kualitas. Berbicara kualitas itu berbicara masalah ilmu pengetahuan. Berbicara ilmu pengetahuan itu berbicara masalah kemampuan belajar. Berbicara kemampuan belajar itu berbicara masalah daya baca. Berbicara daya baca itu berbicara masalah buku. Berbicara buku itu berbicara masalah literasi.

- Advertisement -

Karena itu, pendekatan literasi ini menjadi penting digunakan sebagai pisau analisis dalam membedah pemikiran calon pemimpin. Michael Hyatt, seorang penulis, pembicara, trainer di bidang pengembangan diri dan profesi terkenal dari Amerika Serikat memgatakan bahwa, “krisis membaca adalah kerisi kepemimpinan”. Artinya, makin sedikit orang suka membaca, makin sedikit pemimpin tangguh yang muncul. Sangat jarang pemimpin sukses yang malas membaca buku. Sebaliknya bermunculan pemimpin yang miskin wawasan karena hobbi hanya membaca status di media sosial.

Sahabat pembelajar, Menuju Pemilukada serentak 2020 yang tinggal menghitung hari, cari dan pililah calon kepala daerah yang menyuarakan gerakan literasi dari awal, karena itulah ciri pemimpin visioner yang memikirkan masa depan daerah dan generasi mudanya. Sebaliknya abaikan calon kepala daerah yang tidak menyuarakan gerakan literasi.

Kesimpulannya jangan pernah menyebut dirinya pemimpin visioner yang memikirkan masa depan daerah dan bangsa kalau tidak menjadi panglima utama yang terjun langsung membumikan gerakan literasi di daerahnya. Kesimpulan ini penting, karena musuh utama peradaban adalah penguasa yang mengabaikan gerakan literasi.

Penulis : Akademisi, Inspirator dan Penggerak, Founder Sipil Institute Jakarta

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here