PINISI.co.id- Sebuah foto dari 1873 yang kini tersimpan di salah satu museum di Kota Roma, Italia, menjadi bukti adanya hubungan kuat antara Makassar dengan Australia Utara.
Foto ini membuktikan jika orang Aborigin, penduduk asli benua Australia telah bepergian keluar Australia sebelum kedatangan orang Eropa yang terus berlangsung.
Foto yang menunjukkan beberapa pria Aborigin, termasuk anak-anak diambil oleh pengelana asal Italia Odoardo Beccari, yang berada di Makassar, yang saat itu merupakan salah satu kota pelabuhan perdagangan internasional.
Salah satu komoditas yang diperdagangkan adalah teripang, yang banyak ditemukan di daerah Arnhem Land di wilayah pesisir utara Australia.
“Teripang pada 1800-an merupakan komoditas yang sangat tinggi nilainya,” ujar Profesor Lynette Russell dari Laureate Global Encounters Monash Indegenous Studies Centre, seperti yang dilansir dari ABC Indonesia pada Rabu (11/11/20).
Pada Selasa (10/11/20) sebuah webinar diadakan bertema “Reconnecting with indigenous people in Makassar and the Northern Territor”, yang digelar oleh Konsulat Jenderal Australia bersama Rumata Artspace.
Dalam pertemuan itu, profesor Lynette menjelaskan pelayaran orang Makassar ke Marege berlangsung sekitar 10 hari dengan memanfaatkan angin musim barat.
Marege adalah kata Makassar untuk Australia Utara.
Orang-orang Makassar, kata Profesor Lynette, sangat menyukai wilayah Arnhem Land yang dihuni oleh suku Yolngu karena lebih bersahabat dalam menjalin hubungan perdagangan komoditas teripang.
“Mereka berhubungan dengan orang Makassar selama beberapa generasi dalam beberapa abad dan membuka kesempatan bagi orang Yolngu untuk pergi ke Makassar. Kita punya bukti-bukti kehadiran orang Yolngu di Makassar,” katanya.
Hubungan yang berlangsung lama ini juga melahirkan perkawinan antara orang Aborigin dan orang Makassar.
Peneliti hubungan Makassar dan Australia Utara, Profesor Campbell Macknight, dalam bukunya “The Voyage to Marege” menyebutkan, jika orang Aborigin Australia sudah terlihat di Kota Makassar sejak 1824.
Profesor Campbell merujuk pada catatan arsip kunjungan Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke Makassar pada tahun itu, yang mendeskripsikan kondisi fisik orang-orang Marege.
“Mereka sangat hitam, posturnya tinggi, berambut keriting, tapi tidak kribo seperti orang Papua, betis yang kecil dan panjang, bibir tebal, dan secara umum berbadan tegap,” ujar Profesor Campbell.
Disebutkan, pada 1876 tercatat 17 orang Marege yang tinggal dan bekerja di Makassar.
Tim peneliti Laureate Global Encounters memaparkan, pada akhir abad 19, seorang pria Aborigin bernama Damalatja ikut dalam perahu saat pelaut-pelaut Makassar pulang ke kampung halamannya membawa teripang.
Sekembalinya ke Arnhem Land, Damalatja menceritakan kepada kerabatnya tentang apa saja yang dilihatnya selama berada di Makassar.
Salah satunya, yaitu aktivitas kaum perempuan di Makassar yang membuat kain sutra di alat tenun yang terbuat dari kayu.
Kisah tentang perempuan Makassar menenun kain sutra ini, kemudian menjadi sumber inspirasi bagi anak Damalatja, Munggerauwy Yunupingu, yang merupakan pelukis terkenal Aborigin.
Dijelaskan Munggerauwy sendiri tidak pernah berkunjung ke Makassar dan melukis karya terkenalnya “Malay Women Weaving” dari cerita yang dia dengar dari ayahnya.
Menurut laporan ABC News sebelumnya, kontak dan perdagangan orang Makassar dengan Arnhem Land sudah terjadi sebelum kedatangan orang Inggris.
Hal itu disampaikan oleh Gathapura Mununggurr, seorang pemuka masyarakat di Yirrkala, Arnhem Land.
“Sejarah tersebut, dan perdagangan dengan orang Yolngu serta sejarah kehidupan pada masa itu masih ada di sana sampai sekarang,” kata Gathapura.
“Orang mengungkapkannya dalam tarian dan nyanyian. Orang Yolngu saat ini sangat perlu mengingat hal ini, bahwa mereka (orang Makassar) datang dan merekalah kontak pertama orang Yolngu dengan orang luar,” katanya.
Dalam webinar kemarin, Siena Stubbs dari galeri Buku Larrnggay Mulka Centre di Yirrkala menjelaskan peninggalan pelaut-pelaut Makassar yang tersimpan di sana.
“Kakek dari kakek saya adalah orang Makassar,” ujar Siena, yang memandu tur virtual di galeri tersebut.
Serpihan-serpihan gerabah, kata Siena, masih banyak ditemukan di sana-sini di wilayah pesisir di daerah itu.
Namun, ini hanya salah satu potongan sejarah dan kami masih terus melanjutkan serajah ini sekarang,” kata Siena yang pernah menerbitkan buku tentang burung-burung di Yirrkala.
Sebagai upaya melanjutkan kembali hubungan orang Yolngu dan orang Makassar, pada 2016 galeri uku Larrnggay Mulka Centre di Yirrkala menjalin kerjasama dengan rumah budaya Rumata di Makassar.
“Kami menerima kiriman pot dan gerabah dari Makassar pada 2016 dan ibu saya telah melukis beberapa motif seperti daun pohon asam,” kata Siena, merujuk kepada salah satu tanaman yang dibawa pelaut Makassar ke Australia di era perdagangan teripang.
Menurut Profesor Lynette, pelaut-pelaut Makassar juga telah memperkenalkan berbagai benda kepada orang Aborigin, termasuk tembakau, arak, kain, beras, pisau, dan gerabah.
Bahkan sampai saat ini, ratusan kosakata Bahasa Makassar dan Melayu, yang merupakan lingua franca pada saat itu, terus dipergunakan dalam kosakata bahasa Yolngu, misalnya Balanda (yang berarti kulit putih) dan rupiah (yang berarti ruang).
(Sumber Kompas.com, 11 November 2020)