PINISI.co.id- Suku Bugis Makassar sudah kadung dikenal sebagai nelayan ulung sejak ratusan tahun silam. Mereka kerap sebagai pembuka jalan untuk hidup di kawasan pesisir dan pulau-pulau terluar yang ada di Nusantara bahkan pada sebagian semenanjung di Asia Tenggara. Orang Bugis dan subetnisnya mendiami jazirah Pilipina, Singapura dan Malaka. Nelayan Makassar bahkan lebih dulu membuang sauh di utara Australia tahun 1500 setelah lelah mencari teripang, sebelum James Cook pendatang Inggris menjajah Aborigin, pribumi Australia tahun 1770.
Demikian juga kedatangan suku Bugis Makassar pada sebagian pulau-pulau di Indonesia, tempat yang dijumpai kawanan yang pertama yang menghuninya adalah orang Bugis Makassar dan Mandar. Begitu juga di Pulau Kelapa Dua, Kepulauan Seribu, Jakarta. Adalah Amir Bin Makka, bersama kawan-kawannya yang pertama mendiami pulau seluas kurang dari dua hektar ini, pada 1983.
Pulau Kelapa Dua, hanya satu dari sebelas pulau yang berpenghuni di antara 111 pulau kecil di Kepulauan Seribu. Semula tak ada yang bernyali mendatangi pulau Kelapa Dua. Pulau ini dibiarkan kosong melompong, hanya semak belukar dan bebatuan karang dan kawanan burung dan biota laut yang betah di situ. Lagi pula, pulau ini dikenal sebagai tempat mayat-mayat misterius terdampar dan mengapung, hingga belasan mayat membusuk dan jadi santapan ikan.
Saat itu, 1983, tahun yang muram buat penjahat, lantaran banyak preman di Ibukota dihabisi oleh aparatus keamanan seturut kebijakan Presiden Soeharto membasmi bromocorah di Indonesia. Aksi yang dikenal dengan petrus, — penembakan misterius itu berlangsung sepanjang 1983-1985, tak dinyana menelan korban ratusan bahkan diduga ribuan orang. Mayatnya kemudian dicampakkan begitu saja ke laut, sampai arus menyeretnya ke pulau Kelapa Dua.
Mayat-mayat ini adalah para preman yang gentayangan dan mengharu biru di Ibu Kota. Menurut cerita Daeng Lalang, sesepuh Kali Jodo, yang kini pulang kampung ke Jeneponto, — tak kurang 60 orang preman asal Makassar yang pulang kampung saat penembakan misterius meruyak..
Senada dengan cerita Dimiyanti kepada PINISI.co.id bahwa preman Maluku A. Sangadji mendapat kabar, para jawara akan dihabisi oleh aparatus negara. Dan buru-buru preman Ambon seperti juga preman Makassar putar badan pulang ke kampung menghindari penembakan misterius yang menjadi sorotan HAM saat itu. Tidak persis sama persoalan HAM Presiden Pilipina Rodrigo Duterte yang menembak terang-terangan ribuan gembong narkoba dan membuangnya ke laut dan jurang begitu saja.
Mendengar itu, bulu kuduk Amir Makka spontan bergidik. Apalagi saat kakinya menjejak untuk kali pertama di pulau Kelapa Dua. Dingin air asin dan angin laut menyusup ke sekujur badannya yang ringkih. Suara-suara aneh yang didengarnya tidak menyurutkan niatnya untuk mendiami pulau ‘hantu’ ini.
Tak ada pilihan lain, pria kelahiran Bone, 4 Oktober 1963 ini, terpaksa hijrah ke Kelapa Dua lantaran pulau Genteng Kecil yang berada dalam gugusan Kepulauan Seribu, tempat tinggal sebelumnya dilego oleh yang empunya pulau. Apa boleh buat, Amir mencari pulau kosong dan Kelapa Dua-lah tempatnya. Sebaliknya, Pulau Genteng Kecil menjadi milik pribadi dan dijadikan resor buat turis.
“Tak ada lagi jalan buat saya pulang ke kampung di Bone, sebab penghasilan di kampung tidak sebesar di sini,” kata Amir dalam bahasa Bugis dialek Bone. Tak berselang lama, bersama 50 Kepala Keluarga, semuanya orang Bugis Makassar angkat kaki ke pulau Kelapa Dua yang terletak di sekitar pulau Genteng Kecil. Mereka memboyong barang-barang yang masih bisa dibawa, termasuk bangkai rumah setelah dipreteli. Menariknya rumah panggung dapat dibongkar pasang dan memudahkan dipindahtempatkan.
Setiba di Kelapa Dua, para pelintas pulau ini setahap demi setahap membangun kembali rumahnya. Tak berapa lama, rumah-rumah panggung khas Bugis Makassar berdiri tegak, seraya menanam berbagai pohon tanaman keras seperti sukun, pohon kelapa, dan bakau supaya terhindar dari terjangan ombak. Kini pulau Kelapa Dua menjadi hunian bagi 337 penduduknya yang rerata adalah suku Bugis Makassar.
Rumah panggung berjejer saling berhadapan di sisian jalan setapak. Suasana pulau tak ubahnya pulau-pulau yang ada di Sulawesi Selatan karena sehari-hari terdengar percakapan dalam bahasa Bugis dan Makassar. Di bawah kolong rumah, mereka melakukan berbagai kegiatan. Ada yang mengayun anaknya sambil ditembangkan lagu pengantar tidur, …yabe laleeee…dalam balutan sarung. Di bawah kolong lainnya ada yang bercengkrama, atau merajut jala ikan kalau tidak sedang melaut.
Turun Temurun
Pada umumnya penduduk Kelapa Dua adalah nelayan, yang ditekuni turun temurun. Amir Makka sendiri sudah menjadi nelayan sejak dari Bone, sebagaimana profesi ayah dan keluarganya yang lain.
Dari Bone, ia melaut ke Pulau Bangka untuk meneruskan profesinya sebagai nelayan. Beberapa tahun di sana, sumber tangkapannya menyusut dari waktu ke waktu. Amir selanjutnya pindah ke Kepulauan Seribu dengan menggunakan perahu pinisi lewat Palembang.
Di Pulau Genteng Kecil, Amir meneruskan pekerjaannya hingga ia jadi juragan ikan sejak sebelas tahun lalu. Sehari-hari pria berkulit legam ini memodali Rp 600.000 kepada kerabatnya untuk mencari ikan. Kadang menjelang Magrib mereka baru balik ke pulau untuk membongkar tangkapannya. Dengan bekal sebuah perahu nelayan bermesin tempel, berikut ABK enam orang, Amir mengais rejeki.
“Dulu di sekitar perairan pulau ini banyak ikannya, namun sekarang nelayan terpaksa melaut sampai ke luar pulau, terkadang bisa tiga hari baru pulang, saking langkanya ikan,” kata Amir.
Berganti tahun, ikan-ikan pun semakin sulit diperoleh. Selagi ramai ia bisa membawa pulang 4 ton ikan, namun 1 ton pun sudah cukup untuk menangguk rejeki jika sepi. Lewat jaring mayang yang ramah lingkungan, anak buah Amir menjaring ikan kembung, layang, tembang selar dan kadangkala ikan tongkol. Hasil buruannya kemudian dijual di pelabuhan ikan Muara Angke, Jakarta. Buah inilah yang mengantar ayah beranak satu ini naik haji bersama istrinya.
Di malam hari, Amir kerap mendengar gemuruh pembangunan Jakarta yang terus merangsek laut sehingga menyingkirkan ikan-ikan dari sekitaran pulaunya. Apalagi saat pandemi seperti ini, dagangan ikan makin sulit dijual.
Sebagai kelompok marginal, Amir senasib dengan jutaan nelayan lainnya yang tidak tersentuh oleh program pemerintah. Dan sekiranya ikan-ikan semakin sulit didapat, ia barangkali akan melaut ke negeri-negeri jauh mencari ikan, seturut nelayan-nelayan Makassar yang memburu teripang hingga ke Australia sana sejak ratusan tahun lalu.
Amir menyadari bahwa di laut ia merenda hidup hingga setiba ajal menjemput. Di tengah maraknya nelayan asing yang leluasa mengeruk kekayaan laut Indonesia; justru nelayan mati di lumbung ikan, seperti nasib Amir dan kawan-kawannya.
( Alif we Onggang )