Kolom Shamsi Ali
Ada satu ayat dalam Al-Quran, tepatnya di Surah Al-Furqan ayat 63, yang menyampaikan bahwa salah satu karakter hamba-hamba Allah Yang Maha Rahman adalah: “ketika orang-orang jahil (bodoh) menyapanya (dengan gangguan/hinaan) mereka merespon dengan respon “kedamaian”.
Sungguh ayat ini sangat tepat untuk mengingatkan kita semua di tengah berbagai hempasan gejolak, hampir dalam segala sisi kehidupan dunia. Pandemi Covid 19 menjadikan gejolak dunia kesehatan (healthcare), gejolak perekonomian, bahkan gejolak sosial dan politik juga menggeliat.
Gejolak demi gejolak ini tidak jarang menghadirkan kepanikan di tengah masyarakat. Bahkan lebih dari sekedar kepanikan, boleh jadi menimbulkan kekhawatiran bahkan pada tingkatan tertentu ketakutan pada segmen masyarakat tertentu.
Kepanikan, kekhawatiran dan ketakutan yang berlebihan (over worried) inilah yang kemudian diantisipasi oleh Al-Quran. Bahwa dalam keadaan yang kurang menguntungkan (jahil) hendaknya tetap direspon dengan “salaama” (kedamaian/ketenangan). Bukan dengan sikap dan prilaku yang seolah kehilangan pegangan.
Merespon dengan tenang itu merupakan indikasi mental baja. Bukan mental krupuk yang mudah goyah dan pecah. Mental yang tidak punya self confidence (self trust atau percaya diri). Mental yang dengan mudah diarahkan, dipegang, lepas harapan, menyalahkan, bahkan mencari pelarian atau pelindungan. Kerap kali mental seperti ini mencari kambing hitam akibat kelemahan diri sendiri.
Jika keadaan ini kita hubungkan dengan keadaan-keadaan mutakhir di tanah air, nampak indikasi-indikasi jelas seperti itu. Ada kepanikan, kekhawatiran bahkan ketakutan yang menimpa sebagian orang sehingga mengambil langkah-langkah yang kerap atas nama kebaikan, tapi membawa akibat destruktif yang parah.
Kepanikan mengakibatkan respon kepada sebuah fenomena kadang bersifat ekstrim. Karakter ekstrim ini yang sering terlihat dalam sikap yang penuh kekhawatiran dan ketakutan. Sehingga sesuatu yang sesungguhnya baik akan dilihat buruk dan ancaman. Bahkan dipolesi dengan cara apapun agar nampak buruk dan membahayakan.
Oleh karenanya alangkah baiknya kalau kita kembali merenungi ayat di atas. Jika ada kejahilan atau hal yang dipersepsikan sebagai kejahilan, jangan disikapi dengan kepanikan, apalagi dengan kekhawatiran dan ketakutan yang berlebihan. Sikapilah dengan “salaama” (tenang, damai, positif, dan yang semakna).
Karakter “salaama” itu tentunya hanya akan terbangun ketika pada seseorang atau sekelompok orang memang ada hati atau jiwa yang damai. Dan kedamaian hati atas jiwa itu hanya akan terjadi ketika hati itu terkoneksi dengan kebenaran (Al-Haq). Itulah yang disebut dalam bahasa agama dengan iman.
Sebagai mana disebutkan dalam Surah Al-Baqarah 256: maka barangsiapa yang kafir kepada thaghut dan beriman kepada Allah maka dia sungguh berpegang teguh kepada pegangan yang kokoh (urwah wutsqo)”.
Sebaliknya jika memang hati itu kosong dari Al-Haq (kebenaran) dan penuh dengan kotoran hawa nafsu, apakah itu karena kekuasaan, kekayaan dan seterusnya maka orang itu akan kehilangan pegangan hidup yang kuat. Dia akan goyah, tidak stabil dan tidak tenang dalam hidupnya.
Di situlah kerap kita lihat orang-orang seperti ini selain akan menggunakan cara-cara panik dalam merespon setiap fenomena yang dianggap ancaman, juga akan banyak mengumbar ketidak jujuran dalam hidupnya. Maka kebohongan-kebohongan menjadi sesuatu yang seolah normal dalam hidupnya.
Bangsa Indonesia saat ini, layaknya semua bangsa di dunia, sedang mengalami dinamika-dinamika yang seharusnya perlu disikapi dengan “salaama” tadi. Bukan dengan kepanikan yang terbangun di atas berbagai kekhawatiran dan ketakutan.
Jadikan bekal “salaama” dalam menyikapi semua dinamika dan hiruk pikuk yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Biarkan rakyat di negeri ini merasakan keamanan, kenyamanan dan kedamaaian itu.
Jika kepanikan yang menjadi modal dalam menyikapi semua dinamika yang ada maka bangsa ini hanya akan bergerak dari satu kepanikan ke kepanikan yang lain. Akhirnya bangsa ini hanya hidup dalam kepanikan yang berkepanjangan.
Apalagi jika kepanikan itu dibangun di atas kecurigaan politis yang tiada ujung. Seolah beda pandangan politik adalah ancaman. Dan pada akhirnya semua pandangan atau ide yang tidak sejalan dengannya juga dianggak ancaman.
Jika itu terjadi maka sesungguhnya pengakuan sebagai sosok demokratis dengan demokrasi sebagai madzhab politiknya menjadi sebuah kepalsuan. Demokrasi menjunjung tinggi perbedaan itu selama masih dalam kerangka batas-batas hukum yang disepakati bersama.
Jika anda terganggu atau tidak nyaman, apalagi khawatir dan ketakutan dengan perbedaan politik, berarti anda salah kaprah dengan demokrasi. Karena merasa terancam dengan perbedaan-perbedaan yang ada, termasuk perbedaan pendangan politik, dengan sendirinya anda telah melukai makna demokrasi itu sendiri.
Tenang man!
New York, 2 Desember 2020, Presiden Nusantara Foundation