Kolom Zaenal Abidin
Webinar Jumat pekan ini merupakan kelanjutan dari webinar pekan lalu. Konsepnya tetap dibuat dalam rangka sedekah ilmu dan pengalaman serta meniru prinsip Khubah Jumat, yakni ingin memberi jawaban sebagian masalah penting yang dihadapi umat/masyarakat dalam satu pekan dan setidaknya menyampaikan apa yang sebaiknya dilakukan pekan-pekan berikutnya.
Jika tema webinar, Jum’at pekan lalu “Mewaspadai Gangguan Kesehatan Mental Pasien dengan Covid-19, maka untuk Jumat pekan ini, (5 Februari 2021, jam 19.00 – selesai, WIB) kami angkat tema “Memahami Isolasi Mandiri di Rumah”. Tentu saja tema ini kami angkat setelah setelah memperhatikan masalah yang muncul dan berdiskusi dengan teman-teman sesama penyelenggara, dari Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi, Bakornas Lembaga Kesehatan HMI, Komunitas Literasi Gizi (Koalizi), teman-teman dari BPP. KKSS dan tentu saja dengan nara sumber yang kami undang.
Dengan makin meningkatnya jumlah kasus dengan Covid-19 maka fasilitas pelayanan kesehatan pun penuh sesak. Akibatnya tidak semua orang dengan Covid-19 dapat dirawat di fasilitas pelayanan kesehatan. Artinya, sebagian harus menjalani perawatan di rumah atau di tempat tertentu yang dikenal isolasi mandiri.
Bila kelak kasusnya terus meningkat maka boleh jadi jumlah yang isolasi mandiri lebih banyak dibanding yang di rawat di rumah sakit, terutama mereka yang dinyatakan oleh pemeriksaan laboratorium positif namun tak bergejala. Atau yang sering disebut OTG (orang tanpa gejala).
Sudah cukup lama istilah isolasi mandiri di rumah ini dipopulerkan dan bahkan sudah dibuatkan protokolnya, namun bukan berarti semua masyarakat sudah memahami betul seluk-beluknya. Seringkali ketika ada anggota keluarga yang dinyatakan positif baru kelabakan, mau dibawa ke rumah sakit atau di rumah saja dengan isolasi mandiri. Dan bila memilih isolasi mandiri, bagaimana caranya?
Terkait isolasi mandiri ini tidak jarang muncul pertanyaan di tengah masyarakat. Apa yang harus dilakukan bilah memilih isolasi mandiri? Aapakah perlu melaporkan diri dan ke mana harus melapor? Bagamana menyampaikan kepada tetangga? Bagamana menjadi tetangga pasien dengan covid-19? RT/RW harus melakukan apa bila ada warganya yang diketahui positif Covid-19? Lalu, bila ada biaya yang harus dikeluarkan siapa yang menaggung? Apa tanggung jawab negara menanggung dalam isolasi mandiri ini?
Selain pertanyaan di atas, muncul pula pertayaan yang terkait aspek medis dan pelayanan medis. Pertanyaan itu antara lain: Obat-obat apa yg perlu disiapkan di rumah? Benda atau bahan penting apa yg perlu disiapkan? Aktivitas fisik apa saja yang boleh di lakukan? Bagaimana cara berprilaku aman agar anggota keluarga tidak tertular? Tanda bahaya yang perlu diketahui untuk segera merujuk ke rumah sakit? Bagaimana mencari rumah sakit rujukan? Kapan harus kontrol dan periksa swab? Kapan mengakhiri isolasi mandiri? Bagamana bila sudah lewat 14 hari tetap positif?
Berangkat dari berbagai pertanyaan di atas sehingga mendorong kami untuk mengangkat isolasi mandiri di rumah ini sebagai tema diskusi atau webinar. Harapan kami adalah ingin memperoleh jawaban atas pertanyaan tersebut sekaligus menjadi arahan bagi masyarakat pada hari-hari berikutnya.
Kami mengundang dua tokoh yang akan menjadi nara sumber mewakili profesi di bidang kesehatan yang berbeda, yakni epidemiolog dan dokter. Memang pada pada zaman lampau, zaman “Bapak Ilmu Kedokteran” (Hippokrates) atau pada zaman “Bapak Kedokteran Modern” dan “Pangeran Para Dokter” (Abu Ali Husein bin Abdillah bin Hasan bin Ali bin Sina/ Ibnu Sina), semunya diperankan oleh profesi dokter.
Dua tokoh profesi tesebut, yakni: Prof. Dr. Ridwan Amiruddin, S.K.M, M.Kes., MSc.P (Ketua Umum Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia (PERSAKMI)/ Epidemiolog Universitas Hasanuddin) akan menyampaikan topik “Bagaimana melakukan isolasi mandiri yang aman dan sehat?”. Sedang Dr. Muhammad Adib Khumaidi, Sp.OT (President Elect. PB. Ikatan Dokter Indonesia (IDI)/ Ketua Tim Mitigasi Covid-19 PB IDI) akan membawakan topik, “Apa yang perlu disiapkan sebelum, saat dan sesudah isolasi mandiri?”
Sekalipun kedua nara sumber berbeda profesi namun keduanya seharusnya mampu bersatupadu, bersinergi dalam mengatur peran, posisi, dan strategi melawan pandemi Covid-19. Siapa yang menurut keilmuannya seharus berada di sektor serang (garda depan) dan siapa harus berada di sektor pertahanan (garda belakang). Kapan kedua profesi ini perlu menyerang bersama-sama dan kapan harus saling mendukung sebagai sektor pertahanan agar tidak jebol. Untuk melawan pandemi Covid-19, tidak ada salahnya menggunakan prinsip dalam peperangan, “Menyerang adalah pertahanan terbaik”. Artinya menyefektifkan serangan selalu lebih baik dibanding menunggu diserang. Semoga membawa manfaat. Aamiin YRA.
Billahit Taufik Walhidayah
(Penulis adalah Ketua Dep. Kesehatan BPP. KKSS dan Pendiri Yayasan Gema Sadar Gizi)