Kolom Ruslan Ismail Mage
Minggu malam 21 Februari 2021 pukul 20.00 sebagaimana biasanya selama pandemi covid-19, bersenda gurau menemani istri menonton film cerita Bollywood Radhakrisna yang diputar secara bersambung di stasiun televisi swasta ANTV. Jangan tanya kenapa bapak-bapak suka nonton film cerita India? Karena buku saya “Dialog dengan Cinta” lahir terinspirasi dari nonton cerita percintaan film India yang mendayu-dayu, melankolis, berbumbu kesedihan, benci, dendam, senyum, bahagia, dan air mata.
Pragraf pertama ini hanya prolog memanaskan mesin penaku, yang bisa jadi tidak senyawa dengan kandungan judul di atas. Namun yang pasti tulisan ini mencoba menghembuskan roh ke dalam dialog santai saya dengan istri yang meminta tanggapan tentang suasana kantornya tiga bulan terakhir. Awal Januari lalu terjadi mutasi lokal di kantor tempatnya bekerja. Ia dimutasi ke Unit Pelayanan Cabang (UPC) yang agak jauh dari tempat UPC lamanya. Sampai titik ini tidak ada narasi inspiratif yang menarik dibagi kepada pembaca. Menjadi menarik kemudian, karena beberapa nasabahnya di tempat UPC lama yang mengetahuinya merasa tidak ikhlas dimutasi ke UPC lain. Bahkan tidak sedikit mencarinya dan meminta ikut pindah juga transaksi di UPC barunya.
Seketika cerita istri saya terasa mengandung energi magnit yang menarikku ingin mengetahui lebih jauh apa penyebab beberapa nasabahnya di UPC lama ingin mengikutinya memindahkan transaksinya di UPC barunya. Sebagai inspirator dan penulis buku-buku motivasi, penaku seperti menemukan papan selancar yang mengasyikkan untuk ditelusuri. Dari informasi yang didapat, rupanya ini cerita klasik yang berkaitan dengan proses pelayanan publik.
Lalu dimana letak nilai lebih pelayanan istri saya hingga tidak disadari telah menjadi magnit bagi nasabahnya? Ia pun bercerita bagaimana caranya melayani nasabah selama puluhan tahun bekerja di salah satu BUMN. Kesimpulan inspiratifku, ternyata terletak pada mindsetnya mengenai pelayanan publik. Istri saya “melayani jiwa” bukan melayani berdasarkan atribut yang melekat pada tubuh seseorang. Baginya pelayanan tidak ada hubungannya dengan status. Intinya semua jiwa harus dilayani dengan baik.
Karena melayani jiwa, ia berusaha memahami karakter setiap nasabahnya dengan baik melalui pendekatan persuasif. Karena melayani jiwa, ia berusaha memenuhi tuntutan alami setiap jiwa yang ingin “dihargai.” Karena melayani jiwa, ia senantiasa membina relasi, menabur dan memupuk benih-benih silaturahminya. Karena malayani jiwa, ia selalu empati menempatkan dirinya pada orang lain. Karena melayani jiwa, ia berusaha memahami bahasa tubuh. Karena melayani jiwa, ia tidak pernah merasa jenuh menjadi pendengar baik.
Dean Rusk, negarawan Amerika Serikat (1909-1994) mengatakan “Cara terbaik untuk mempengaruhi orang lain adalah dengan mendengarkan mereka”. Dengarkan apa masalahnya lalu mencari jalan keluarnya. Senada dengan Dale Carnegie yang mengajarkan “Orang yang bisa meletakkan dirinya di tempat orang lain, dan bisa memahami jalan pikiran orang lain, tidak perlu mencemaskan apa yang tersedia untuknya di masa depan.”
Pendapat Dean Rush dan Dale Carnegie di atas harus dipahami, dimaknai, dan aplikasikan bagi siapa pun yang ditugaskan dan dibayar oleh negara untuk melayani publik (rakyat). Hal ini menjadi penting, karena hakekatnya pejabat, birokrat, aparatur sipil negara (ASN), pegawai BUMN, Polri, dan TNI, sesungguhnya negara telah membeli kesombongan dan keangkuhannya dengan alat bayar gaji setiap bulan. Jika masih sombong, pongah, congkak, cuek dan angkuh dalam melayani rakyat, berarti mengkhianati negara. Inilah yang saya sebut melayani jiwa melayani negara.
Penulis : Akademisi, Inspirator dan Penggerak, Founder Sipil Institute Jakarta