Kolom Fiam Mustamin
MENYEBUT kawasan Condet di masa tempoe doeloe kita berasosiasi dengan sebuah kawasan yang asri dengan tanaman buah-buahaƱnya: salak, dukuh, mangga, zetum, pepaya, menteng, kecapi, dan lain lain.
Di kawasan yang dialiri oleh kali Ciliwung yang airnya bening untuk keperluan rumah tangga, mandi dan mencuci pakaian.
Dan sungai itu juga menjadi area transportasi dengan rakitan bambu yang disebut getek dari hulu Pasar Minggu ke muara perkotaan di Kalibata. Itulah kenangan kita dulu.
Saat ini telah menjadi bangunan perumahan dan perniagaan yang kita tidak lagi temukan lahan-lahan kebun luas yang telah beralih fungsi.
Akibat dari itu di musim penghujan warganya dihantui oleh banjir dari air selokan yang meluap maupun banjir kiriman dari Bogor yang terkadang menggenangi permukiman sekitar bantaran sungai itu.
Kawasan Condet telah berkembang dan berubah menjadi kawasan lahan-lahan beton bangunan di mana-mana. Betapapun upaya kerasnya Pemda Jakarta ingin menjadikannya kawasan Condet itu sebagai penyangga budaya Betawi dengan kealamian rumah-rumah kayu khas Betawi.
Sekarang ini kita tidak lagi mendengarkan ciutan burung-burung di pepohonan pada pagi hari atau sudah jarang melihat penampilan musik rebana dan tanjidor di hajatan-hajatan keluarga. Kemanakah semua itu, apakah sedang bermigrasi pindah kampung kalau tidak dikatakan telah punah.
Terasa di Kampung Sendiri
Sudah dua puluh tahun Penulis bermukim di kawasan Condet yang sudah akrab dengan banjir yang setiap kali musim penghujan tiba.
Rumahku berdekatan dengan bantaran kali Ciliwung, dan banjir bukan lagi menjadi momok yang dihindari. Ia sudah diakrabi dan menjadikannya bagian dari berkah kehidupan meskipun banyak risikonya. Dengan barang-barang yang rusak tergenang air begitupan dengan lelahnya membersihkan sisa air lumpur yang terasa akibatnya berhari hari.
Air banjir datang sesaat dan iapun surut sesaat. Banjir datang menggenangi bukan dengan arus derasnya seperti banjir bandang yang mengganas penuh amarah itu.
Pengalaman banjir sudah pernah sampai ke plafon atap rumah yang saat itu kami nikmati sebagai hiburan rekreasi yang tIdak banyak orang mengalaminya.
Bermukim dan mendapatkan rumah tinggal tetap di Condet ini adalah sebuah berkah kesyukuran setelah sekian kali berpindah pindah tempat.
Berumah di Condet di Kampung Kramat dengan komunitas Betawi yang kemudiaan sebagian mereka-mereka itu mengakui dari keturunan Bugis Bone, dari penuturan tokoh-tokoh masyarakat; Ustas Ali Naj, Keluarga Margani dan Syarif bahwa mereka turunan dari Datuk Giong, Datuk Tunggana, Datuk Ibrahim dan Datuk Cipayung dan Bogor.
Dengan cerita mereka itu Penulis melebur menjadi kerabat keluarga tak ubahnya di kampung di tengah keluarga sendiri.
Komunitas Arab
Bjukan sebatas bertetangga saja dengan banyak turunan Arab. Pertetanggaan dengan banyak turunan dari negeri Arab ini membawa pengaruh keagamaan khususnya untuk majelis-majelis pengajian.
Dari setiap ritual keagamaan seperti Maulid Nabi. Isra Miraj, Arwahan, Akikah, Selamatan dan lain-lain selalu terhidangkan nasi kabuli satu baskom bersama.
Kawasan pemakaman dan masjid Al Hawi Condet ini ibaratnya sepotong perkauman Arab Timur Tengah yang selalu ramai dikunjungi para peziarah dari berbagai daerah. Tokoh-tokoh penyiar agama Habaiit dari luar khususnya dari Hadratul Maut itu yang bermakam di Al Hawi boleh jadi kawasan itu disebut Kampung Kramat.
Di kawasan Al Hawi itu selain untuk ibadah dan berziarah juga dapat berbelanja untuk aneka pakaian gamis, peralatan shalat, wewangian, air zam zam, kurma dan sebagainya.
Penulis adalah budayawan