Kolom Ruslan Ismail Mage
Setahun sebelum reformasi, saya melakukan perjalanan intelektual ke Negeri Sakura Jepang. Satu dari sedikit anak negeri yang lolos mendapat beasiswa dari JIKA untuk studi dan riset di Jepang. Beberapa kota besar sempat terjelajahi, mulai dari kota Tokyo, Kyoto, Hiroshima, dan Nagasaki, sampai menyeberang ke pulau Hokkaido tempat paling utara di Jepang. Kegemaran orang Jepang berjalan kaki serta merta menjadi kebiasaan juga. Sungguh mengasikkan setiap malam berjalan kaki menyusuri gemerlapnya kota metropolitan Tokyo yang penuh pesona.
Suatu malam mampir di telepon umum untuk menghubungi teman. Waktu itu teknologi digital belum berkembang sedahsyat sekarang, masih bisa di hitung jari orang Jepang memakai handphone. Karena itu, tempat komunikasi dalam menghubungi teman 80% masih di telepon umum yang banyak tersedia di pinggir jalan kota Tokyo. Sebelum angkat gagang telepon umum, mataku tergoda pada beberapa buku saku yang tergantung di dinding kaca. Naluri jurnalistik menggelitikku ingin melihat isinya lebih detail. Ternyata buku saku itu berisi gambat-gambar semi porno perempuan muda seksi lengkap dengan nomor telepon serta tarifnya sekali kencan.
Sejak itu kalau malam tiba saya iseng keliling telepon umum, bukan lagi untuk telepon, tetapi mengumpulkan buku saku tersebut untuk dijadikan koleksi. Puluhan buku saku sudah terbungkus rapi di koperku untuk besoknya ke Bandara Internasional Narita Tokyo menuju pulang ke Indonesia. Waktu check-in di bandara semua dokumen perjalanan lengkap. Sampai titik ini semuanya berjalan lancar. Menjadi masalah kemudian, ketika melewati security check metal detector berbunyi mendeteksi ada barang yang harus diverifikasi. Ditemukanlah buku saku tadi yang tidak dibenarkan dibawa melewati batas negara. Untung hanya dikeluarkan baru dipersilahkan memasuki areal bandara melanjutkan perjalanan.
Tiga pragraf di atas ingin menyampaikan pesan bahwa, setelah 24 tahun buku saku bergambar semi porno yang tidak boleh masuk ke Indonesia itu, kini justru sudah bebas memasuki kamar tidur setiap rumah tangga Indonesia melalui handphone atau smartphone. Di era milenial ini perkembangan teknologi komunikasi digital yang menghadirkan handphone atau smartphone berlangsung sangat cepat. Bersamaan dengan itu bermunculan berbagai situs jejaring sosial (Social Network) seperti Facebook, WhatsApp, Twitter, Instagram, Friendster, My Space dan lain-lain, yang menyebabkan perubahan pola perilaku manusia, tidak terkecuali dalam hubungan seks.
Dengan komunikasi handphone kedua belah pihak yang terlanjur saling menyukai walau belum pernah ketemu bisa saling mengeksplor naluri seks lewat video call tanpa harus bersentuhan. Sementara di media sosial tidak susah menemukan group-group pertemanan yang ada secara personal menyediakan layanan VCS (Video Call Sex). Sebuah bentuk aplikasi penjualan jasa penghibur dalam dunia virtual. Contohnya dengan imbalan pulsa 25.000 atau transfer 50.000 sang perempuan cantik di seberang sana (entah dimana) akan mengirimkan foto dan video-video telanjangnya yang membangkitkan gairah. Sesaat kemudian bisa saling VCS untuk melampiaskan hasrat seksualnya.
Inilah kemudian yang saya sebut “revolusi seks xyz” melanda penduduk bumi, khususnya pada generasi yang tumbuh pada saat teknologi berkembang pesat. Terjadi perobahan perilaku dalam mengeksplor naluri seks. Dari sejak jaman purba sampai awal tahun 2000-an orang melakukan hubungan seksual untuk mencapai klimaks dengan bersetubuh (kontak badan). Tetapi dengan perkembangan IT khususnya dibidang komunikasi digital, hasrat seksual bisa dieksplor lewat handphone atau smartphone tanpa harus bersentuhan langsung. Jadi jarak dan waktu bukan lagi menjadi kendala dalam menyalurkan hasrat seksual. Dengan komunikasi digital berbasis android, hubungan rasa suka (atau rasa apalah namanya) antar negara pun bisa saja saling menyalurkan hasrat seksual. Itulah revolusi seks tidak terbantahkan akibat perkembangan teknolgi tanpa batas.
Penulis : Akademisi, Inspirator dan Penggerak, Founder Sipil Institute