PINISI.co.id- Kota Tangerang adalah tetangga kota Jakarta dan menjadi bagian Provinsi Banten, selain Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan.
Terkait nama Tangerang, mungkin banyak yang terkesima, kalau sebenarnya nama kota Tangerang ini dulunya bernama Tangeran. Kok bisa jadi Tangerang? Ya ini gara-gara lidah orang Makassar dan juga Bugis yang lazim kalau berbahasa Indonesia hanya mengenal bunyi konsonan ng.
Kisahnya dimulai dari sejarah berdirinya kota ini. Setelah penandatanganan perjanjian antara VOC dengan Kesultanan Banten yang diwakili oleh Sultan Haji atau Sultan Abunnashri Abdulkahar putra Sultan Ageng Tirtayasa, pewaris Kesultanan Banten, 17 April 1684, Kompeni sepenuhnya menguasai wilayah “Tanggeran”.
Dalam penguasaannya, tentara Belanda mendatangkan orang-orang Makassar yang di antaranya ditempatkan di sekitar wilayah benteng. Saking terkenalnya, nama Tangerang juga disebut kota Benteng. Dan belakangan menjadi Benteng Makassar.
Memang sejak dulu orang-orang Makassar dikenal sebagai tentara sewaan yang gigih dalam berperang, sebagaimana mereka membantu kerajaan Madura, Mataram, Banten, Ternate, Kutai, hingga Johor dan Siam (Muangthai), baik untuk perang lokal maupun melawan Belanda.
Begitulah, bahasa menunjukkan bangsa dan asal si penutur. Tak heran, jika pasukan VOC dari Makassar ini tidak mengenal huruf mati, dan terbiasa menyebut “Tangeran” dengan “Tangerang”. Kesalahan ejaan dan dialek inilah yang diwariskan dari generasi ke generasi bahkan hingga saat ini kita menyebut Tangerang bukan TANGERAN.
Bisa dibayangkan apabila pasukan-pasukan Makassar ini sedang mengaso, mereka bercakap-cakap usai menghalau musuh. “Bajiki kapang punna jappa-jappa ri tangerang di…”
Malah terasa lucu kalau kita bilang ayo main ke Tangeran. Karena berbahasa adalah soal pembiasaan maka yang salah kaprah pun menjadi benar karena kata atau frasa itu disebutkan setiap hari. Alah bisa karena biasa.
Tak dimungkiri, umumnya cara berbahasa orang Bugis Makassar hanya mengenal konsonan ng dan bunyi hamzah pada akhir kata dasarnya. Hampir semua konsonan ng dalam bahasa Indonesia dibunyikan dalam konsonan tersebut. Jangan heran bila sebagian dari kita menyebut makan ikan, dilafalkan makang ikang. Minum es jeruk…..minung es jerut, atau lebih cepa’ lebih bae’.
Hal ini karena lidah orang Bugis Makassar mengenal konsonan ng acap digunakan untuk konsonan n dan m. Semisal minung (minum) jalang (jalan). Sedangkan bunyi hamzah kerap dipakai untuk konsonan k, p, t atau d. Contoh bae’ (baik) tela’ (telat) teka’ (tekad).
Sampai saat ini pun cara berbahasa orang Bugis Makassar yang hidup di rantau puluhan tahun lamanya tetap menutur seperti bahasa ibunya. Namun, ia terasa istimewa karena berbahasa adalah pranata budaya yang tidak bisa hilang. Bahkan ia menjadi identitas sosial yang tetap dan harus dipertahankan agar jati diri sebagai kekayaan bahasa daerah tetap terawat. Bukanlah banyak bahasa daerah di Indonesia sudah punah karena kehilangan penutur?
Dan dalam bahasa Indonesia dialek Makassar, penggunaan kata-kata penyerta sangat menonjol seperti mi, ko, maki, ji, ta, untuk membedakan antara bahasa halus dan bahasa kasar.
Kita beruntung banyak karya seni seperti film, novel, komika, video di kanal Youtube termasuk yang dilafalkan pesohor, ustad, pejabat asal Makassar dengan percaya diri dan tetap mempertahankan aksen bahasa daerah sehingga menunjukkan karakter si penutur. Dengan cara beginilah, dialek bahasa Bugis Makassar dikenal khalayak luas, apalagi tak sedikit kosa kata bahasa Makassar sulit dicari padanannya dalam bahasa Indonesia.
Kalau begitu yuk jalang-jalang ke Tangeran eh Tangerang.
(Alif we Onggang)