Kolom Ruslan Ismail Mage
Seorang anak gadis usia sekolah dasar menangis bercerita tentang kerinduannya bertemu dengan guru-gurunya dan berkumpul belajar bersama dengan teman-temannya di sekolah. Entah siapa yang mengaupload video itu di media sosial (Facebook), namun yang pasti, video singkat itu bisa jadi mewakili perasaan kerinduan seluruh anak-anak negeri ini yang sudah hampir setahun berpisah dengan guru dan temannya akibat pandemi Covid-19.
Pandemi ini bukan hanya membunuh ribuan jiwa, tetapi juga membunuh hubungan silaturahmi langsung dengan sesama. Hampir semua elemen kehidupan manusia terdampak. Satu di antara terdampak secara berkepanjangan, entah sampai kapan adalah proses pembelajaran anak-anak di sekolah. Walau sekitar bulan Juli 2021 sesuai prediksi pemerintah sekolah tatap muka langsung sudah mulai di buka, namun kebiasaan penggunaan gadget anak-anak selama hampir setahun akibat pandemi tidak serta merta bisa berubah, karena sudah terlanjur kehidupan anak-anak tergantung pada handphone atau smartphone dalam pencarian data-data pelajaran di Google.
Selama masa pandemi berlangsung, hampir semua peran guru dalam proses pengayaan materi ajar diambil alih oleh Google. Ketika anak-anak bingung mengerjakan tugas, tidak tanya langsung lagi kepada gurunya, tetapi tanya kepada Google. Hampir bisa dipastikan anak-anak SD, SMP, terlebih SMA, sudah mahir copas (copy paste) pendapat atau tulisan orang tanpa dinalar, tanpa dianalisa lagi, karena teman main gamenya sudah menunggu entah sosoknya dimana.
Hendak bertanya atau minta bantuan kerja tugas kepada orang tua, eh ayah bunda ternyata lagi sibuk juga pegang pelototin layar smartphone. Entah membaca berita, menambah ilmu pengetahuan, nonton Youtube, selfie (swafoto), bahkan lagi asik tiktok. Lengkap sudah perangkat pendukung lahirnya generasi copas dengan keahlian gamers.
Sebagai penulis buku-buku motivasi, situasi sosial yang ditimbulkan hampir setahun dan yang akan diwariskan pendemi Covid-19 ini nantinya, mengingatkanku kepada pemikiran ideologi kapitalisme yang mengatakan “biarkan pasar menyelesaikan masalahnya sendiri.” Para pemikir dan pengusung kapitalisme global ini seakan berkata kepada negara, “wahai negara, engkau cukup diam saja, tidak usah ikut campur dalam menentukan harga pasar. Biarkan pasar menyelesaikan masalahnya sendiri.”
Kapitaliame itu ideologi gila, kataku dalam suatu diskusi waktu kuliah S3 Ilmu Politik beberpa tahun lalu. Gila, karena hukum pasar selalu berpihak kepada pemilik modal. Jadi bagaimana mungkin pasar bisa menyelesaikan masalah rakyat yang susah makan karena ketidakmampuannya membeli kebutuhan pokok yang selalu naik harganya. Negaralah yang harus mengatur dan mengontrol harga sembako agar bisa terjangkau oleh rakyatnya. Oleh pemikiran kapitalisme negara dilarang ikut campur, akibatnya negara takluk sama harga cabe yang mencapai Rp 150.000/kg. Jadi biarkan rakyat yang tidak memiliki kemampuan memenuhi kebutuhan pokoknya aka tersingkir dan habis secara alami nantinya.
Gila! Untuk mengetahui masa depan pendidikan anak-anak, saya mencoba berdialog secara imajiner dengan mbah Google. Penyebutan mbah bukan untuk merendahkan Google tetapi biasanya penyebutan mbah ditujukan kepada orang yang sudah sepuh, kaya pengalaman, kaya ilmu, dan kaya kebajikan. Artinya Google sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Dialog imajiner ini kumulai dengan pertanyaan, apakah pendidikan yang menjadi hak setiap warga negara akan diperlakukan juga hukum pasar? Artinya anak didik yang tidak bisa mengikuti perkembangan teknologi, tidak mampu memenuhi tuntutan fasilitas pembelajaran jarak jauh, berarti secara alami akan tersingkir dan hilang? Kalian tidak memiliki lagi ruang gerak untuk menghindar dari sistem pembelajaran daring/virtual yang dulu dilarang pemerintah dengan konsep belajar jarak jauh. Artinya anak didik yang tidak mampu memenuhi tuntutan fasilitas belajar jarak jauh, dengan sendirinya akan tersingkir dan hilang, jawab mbah Google.
Lalu apa target pendidikan siatem daring/virtual? Targetnya mininal ada dua. Pertama, uji coba sistem pembelajaran jarak jauh selama masa pandemi kurang lebih setahun, ternyata bisa dilalui dengan baik, walau di sana sini masih banyak yang perlu ditingkatkan. Jadi ke depannya sistem pembelajaran jarak jauh akan diakui sebagai tuntutan jaman, sehingga dimungkinkan bisa berlangsung antar negara. Maksudnya, bisa jadi kampusnya di Eropa, Amerika, atau Singapura tapi mahasiswanya berada di Indonesia. Ini yang namanya kapitalisasi pendidikan. Inilah permainan pemilik modal asing yang ingin berbisnis di dunia pendidilan, jawab mbah Google.
Terus target kedua? Target kedua, seluruh warga dunia, tidak terkecuali orang Indonesia dalam menjalani kehidupannya hampir semua akan tergantung kepada internet, khususnya di goggle dalam mencari data apa pun yang diinginkan manusia. Artinya secaca bisnis, tentu paling diuntungkan adalah negera pemilik teknologi internet dengan segala macam turunannya berwujud media sosial, jawab mbah Google lagi.
Pertantanyaan terakhir, apa kelebihan dan kekurangan mbah Google? Harap dijawab jujur kataku. Kelebihanku, mampu menyediakan semua data yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Data apa pun yang dibutuhkan cukup colek langsung keluar data sesuai keinginannya. Itulah sebabnya kalian menyebutku mesin pintar, dan mungkin jauh lebih pintar dari semua guru, jawab mbah Google meyakinkan.
Terus kekurangannya apa? Walaupun dalam penyediaan data-data ilmu pengetahuan kami paling unggul, tetapi mbah Google jujur tidak mampu melakukan minimal ada sembilan hal seperti berikut. Pertama, tidak mampu menjadi penjaga utama moral anak didik. Kedua, tidak mampu memperhalus perasaan anak didik untuk saling menyayangi. Ketiga, tidak mampu menciptakan hubungan kerjasama langsung yang indah dalam menghargai perbedaan antara anak didik.
Keempat, tidak mampu menyuntilkkan vaksin kemanusian agar anak didik terhindar dari virus anti sosial. Kelima, tidak mampu menciptakan metode dialogis dengan siswa agar terpacu kecerdasan komunikasi verbal di kalangan anak didik. Keenam, tidak mampu memberi keteladanan etika perilaku sebagaimana kebutuhan pendidikan berkarakter. Ketujuh, tidak bisa meningkatkan daya baca anak didik. Kedelapan, tidak bisa mengajarkan anak didik menghargai waktu. Bahkan kalau perlu 24 jam waktunya untuk mbah goggle. Kesembilan, tidak mampu merawat kebhinnekaan.
Kesimpulan dalam dialog imajiner ini adalah, kalau guru hanya mengajar materi ajar, maka mbah google jauh lebih pintar. Kedua, di era pembelajaran jarak jauh, guru harus lebih inovatif, kreatif, agresif, dan progreaif dalam proses pembelajaran agar perannya tidak diambil alih oleh mbah Google. Ketiga, guru harus sekaligus menjadi inspirator untuk melahirkan generasi tangguh, bermoral, berimtaq, dan menguasai teknologi. Keempat, guru wajib melakukan kesembilan hal di atas yang tidak mampu dilakukan oleh mbah Google.
Penulis : akademisi, inspirator dan penggerak, founder Sipil Insritute