Oleh : Fiam Mustamin
Di usia pra sekolah, ibu menyingkir ke gunung bersama adik laki-laki. Kampung di pegunungan yang dituju itu namanya Abbolongan yang sudah dihuni oleh beberapa keluarga kerabat dari rumpun Sering, leluhur kami orang gunung.
Orang tua yang sangat disegani di kampung itu disapa dengàn Goloe (La Toba). Dan anak-anak menyebutnya dengan lato/Kakek Goloe.
Kakek ini begitu disegani oleh gerombolan pasukan Kahar maupun dari tentara yang datang operasi di perkampungan pegunungan itu.
Sebagai anak-anak saat itu tidak mengerti dengan situasi. Anak-anak senang saja bermain-main di alam pegunungan; di sungai bebatuan yang jernih banyak ikannya, ikut memetik sayur-sayuran, jagung ketan serta menjaga dan mengusir burung-burung yang hinggap di buah padi yang sudah berisi sampai menguning (maddongi) sampai siap untuk di panen.
Kehidupan di pegunungan tanpa pasar, kebutuhannya hariannya dari hasil lahan kebun (pepping) sungai, hutan dan ternak. Sesekali orangtua pergi berburu (rengngeng) membawa seekor anjing, tombak dan galah penjaring (tado) untuk mendapatkan hewan buruan rusa (jonga) atau sapi liar.
Tak begitu lama di pegunugan kami turun ke kota terdekat yang dituju adalah Takkalasi Barru.
Di Takkalasi tinggal beberapa lama dan masuk sekolah rakyat di situ.
Masa kecil di muara sungai bermain berendam sembari menunggu para nelayan pulang melaut.
Kami membawa baskom kecil yang disodorkan kepada nelayan setiap kali menghitung ikan yang dipindahkan untuk dijual. Betapa senangnya bila baskom penuh aneka ikan dan segera ke rumah menemui orangtua.
Begitu menyenangkan berumah besar dekat jembatan di area muara sungai yang dapat melihat ikan-ikan kecil bila air pasang di kolong rumah pagi hari.
Rumah panggung besar itu milik tokoh masyarakat, Puang Potobi disapa Puang Tobo, kepala Lapao. Beliau penguasa wilayah Soppeng Riaja sampai ke Mangkoso yang sangat disegani ketika itu dan dipercayai sebagai Komandan Tentara Bantuan/ TBO. Ayahanda penulis La Fiabang sebagai orang kepercayaannya yang mengurusi logistik.
Balik ke Tajuncu Soppeng.
Di masa pemulihan keamanan setelah tentara melakukan serangkaian operasi militer di daerah yang rawan dengan gangguan gerembolan.
Tak kurang terjadi di perjalanan sering terjadi pengadangan perampokan di daerah pegunungan Lawowoi Parepare dan Laringgi perbatasan Sidrap dan Soppeng.
Gerombolan itu mengambil barang-barang atau menyandera untuk tebusan. Seringkali juga membakar mobil bila tidak menemukan barang barang yang diperlukan.
Masa Sulit Makan
Masa-masa sulit di tahun l960 itu orang dalam pengungsian berkumpul bermukim sementara di desa Tajuncu dari kampung sekitarnya (Labokong, Kabaro, Tokare, Leworeng,Turungeng Lappae, Dare Ajue, Lamandumppa)
Di masa sulit itu jarang ada penggarap tani sawah dan kebun sehingga beras yang ada terbatas dan memasaknya perlu campur sari (pulek) bersama jagung bassang, ubi kayu, pisang muda dan sukun.
Kehidupan yang mencekam ketakutan dari gangguan gerembolan itu sehingga desa perlu dipagari keliling dengan memasang bambu yang diruncingkan (sura) dan pintunya degembok sepanjang malam.
Upaya ini untuk menghalau adanya penyerangan gerembolan tak terduga di malam hari.
Kabar tertembak matinya gembong-gerombolan Kahar Muzakar mengembalikan orang-orang pengungsian itu ke kampungnya masing-masing dan dimulailah kehidupan baru lagi.
Jangan sampai terjadi lagi dan cerita ini sebagai ungkapan terima kasih dan doa kepada para orangtua yag telah mendahului kita, Alfatiha. Aamiin
Penulis adalah budayawan