Sepak Terjang Orang-Orang Bugis di Singapura, Dari Pendudukan Hingga Peminggiran

2
8616
- Advertisement -

Catatan Alif we Onggang

Sekali waktu jika melancong ke Singapura, sempatkan menggunakan MRT menyusuri kota, maka salah satu stasiun favorit yang dilewati MRT adalah Bugis Junction. Turun di sini, jalan-jalan ke Distrik Bugis seperti Bugis Street, dekat dengan pantai Marina Bay — ikon wisata dan pusat belanja mewah di Orchad Road. Adapun Bugis Street, Bugis Village dan Bugis Square merupakan surga belanja yang digemari turis Indonesia. Sebaliknya di Bugis Junction berbagai mal menjajakan harga lebih mahal ketimbang di Bugis Street.   

Di negara kota ini, masih terpelihara dengan baik kampung Bugis yang berada di kawasan Kallang. Di sini kita dapat menyaksikan permukiman tradisional Melayu dengan komunitas Muslimnya. Di area ini pula terdapat masjid terbesar di Singapura, yaitu Sultan Mosque peninggalan seorang saudagar Bugis saat itu. 

Tak dimungkiri orang Bugis di sini sudah turun-temurun dari nenek moyangnya, umumnya datang dari Wajo. Tak heran di Singapura terdapat distrik Sengkang, daerah orang-orang Sengkang dulu bermukim. Kini disulap menjadi kawasan elit, yang semula adalah sebuah desa nelayan.

Penanda lainnya bahwa orang-orang Bugis pernah menjelajahi kota ini,  adalah miniatur perahu jenis paddewakkang, berupa patung di depan sebuah hotel bergaya kolonial di daerah landmark Singapura.

- Advertisement -

Memang perahu-perahu orang Bugis ratusan tahun lalu sudah berlabuh di kota Singa ini. Selebihnya, dalam salah satu mata uang Singapura, tertera gambar perahu palari yang menunjukkan jejak perahu-perahu Bugis yang membuang sauh di pesisir Singapura.  

Populasi Singapura terdiri dari perwakilan bangsa dan sebagian suku dari Nusantara dan anak benua India. Mereka adalah Bugis, China, Melayu, Jawa, Benggala, Madras, Parsi, Arab dan Kaffir. Masing-masing bangsa membentuk komunitas sendiri dan tetap mempraktikkan kebudayaannya seolah-olah mereka tidak pernah pindah dari negeri asal. Kebudayaan adalah hal yang melekat dan terbawa hingga ke daerah tempatan.

Menurut catatan Howard Malcom, pada 1835 penduduk Singapura sekitar 30.000 jiwa, di mana populasi Melayu berjumlah 9.000-an, China 13.000, Kling 2.300, dan sisanya Bugis, Benggala, Negro, Arab dan lain-lain.

Sejak Singapura menjadi permukiman, banyak penduduknya mengenakan kain katun berkilau dan kerap dibuat menjadi satin Bugis. Bangsa Melayu dan Bugis mendiami bagian-bagian kota ini dan mendirikan permukiman sendiri.

Sebelumnya, tahun 1827 George Windsor Earl berlayar dari Inggris ke Singapura, dan sesampainya di situ, ia serta merta takjub melihat Kampung Glam, yang terletak sekitar 2,4 kilometer dari Singapura. Di kampung tersebut, dihuni sekitar 4.000 orang Bugis, Cina  dan Melayu. Orang-orang Bugis hidup nyaman di tepian sungai.

Akan halnya tanah di luar kota diolah menjadi lahan perkebunan oleh orang-orang China, sementara di kawasan pantai sebelah Timur, serta pulau-pulau kecil di luar pelabuhan terdapat sejumlah lahan pertanian milik orang Bugis dan Jawa yang jarang diserang perompak Melayu. Tak dimungkiri orang Bugis terkenal sebagai pemberani dibandingkan dengan orang-orang China yang pengecut, seperti yang dikesankan George Windsor, dalam buku Jhon Bastin, Travellers’Singapore, An Anthology (1994).

Berkebalikan dengan sebagian besar orang Melayu tunduk kepada seorang yang bergelar Temanggung Melayu yang setiap hari menerima upeti, agaknya sebagian orang-orang Bugis berada di kelompok ini tersebab pemerintah Inggris sendiri tidak dapat mengendalikan orang Bugis bila menyerang orang-orang Eropa.

Orang-orang Melayu yang dikenal pemalas, santai duduk-duduk di depan rumahnya, sebaliknya orang China sibuk bekerja menempa besi membuat mebel dan perahu, dan adapun orang Bugis memenuhi dataran hijau dekat laut menambatkan perahu dan selebihnya menambal layar. Ada pula memilin tali dari bahan-bahan yang mereka bawa dari Sulawesi.

Sejumlah besar orang Bugis dilihat berpenampilan liar, badannya tinggi dan kekar. Mereka hanya memakai celana pendek dan sehelai kain kasar motif kotak-kotak yang diselempangkan di pundak kiri. Umumnya orang-orang ini datang dengan perahu-perahu yang berada di sisian timur pelabuhan.

Mereka kerap terlihat berjalan-jalan di kota ini karena penasaran. Dengan perahu-perahunya yang tidak terlalu bagus, lengkap dengan dua tiang, bercat dengan garis-garis bujur hitam putih.

Thomas Stamford Raffles yang dikenal sebagai pendiri Singapura modern, dalam bukunya, The History of Java, melihat sosok dan tampang orang Bugis yang liat. Alasan memuji orang Bugis lantaran Raffles hendak menggunakan kekuatan dan semangat orang Bugis dalam membesarkan imprerium Inggris. Selain karera pemberani, paling petualang, semangat berusaha nya tinggi.

Ketika Raffles tiba di Singapura pada 1819, ia menjumpai perkampungan Melayu yang dikuasai Temenggung Johor dan pulau ini dikelola Sultan Johor. Pewaris Sultan Johor Tengku Abdul Rahman dikuasai Bugis dan Belanda. Raffles lantas mengajak orang-orang Bugis membangun Singapura.

Namun sejak sebagian wilayah Singapura diduduki Belanda dan berbagi koloni dengan Inggris, perahu-perahu orang Bugis pun dipunguti pajak. Tidak di Indonesia saja dengan politik dagang VOC-nya, rupanya Belanda di Singapura tak menghilangkan sifat kemaruknya dengan memajak orang-orang Bugis dan memaksa menyingkir. Belanda kemudian mengalihkan perahu orang Bugis dari kota ini. Perahu-perahu ini membawa barang dagangan seperti emas pasir, cangkang kura-kura, mutiara, sarang burung, telur penyu, sirip hiu, hingga teripang. Belanda tentu tak mau kehilangan pendapatan seperti ditulis Cuthbert Collingwood, lewat buku Singapura Tempo Doeloe, 1819-1942.  

Yang Pertama

Orang Bugis termasuk kelompok pertama yang  tiba di Singapura setelah Inggris mendirikan permukiman perdagangan di pulau itu. Pada Februari 1819, tidak lama setelah kedatangan Inggris, sekelompok 500 orang Bugis yang dipimpin oleh Kepala Suku Arung Bilawa tiba di Singapura, yang kemudian menjadi pusat perdagangan Bugis di bagian barat Kepulauan Melayu.  Selanjutnya pada 1824, sebanyak 90 kapal Bugis dilaporkan telah singgah di Singapura. Tahun berikutnya, jumlah kapal Bugis yang mengunjungi pulau itu meningkat menjadi 120, sebagaimana dikutip Stephanie Ho, dalam laman Pecinta Sejarah Sulawesi Selatan dan Barat.

Tahun 1824, sekitar 1.851 orang Bugis di Singapura yang berjumlah sedikit lebih dari 10 persen dari populasi pulau itu. Populasi Bugis di Singapura mencapai puncaknya sekitar 2.000 orang pada 1830-an ketika para pedagang Bugis memiliki monopoli nyata atas perdagangan dengan pulau-pulau timur Kepulauan Melayu.

Penurunan populasi Bugis berikutnya di akhir abad ke-19, lantaran perannya sebagai pedagang maritim berkurang seiring dengan perdagangan laut lokal. Buntut perubahan struktural dalam perdagangan laut regional, orang Bugis kehilangan posisi perdagangan maritim yang dominan dan jumlah mereka di Singapura pun menurun. Tahun 1860, hanya ada sekitar 900 orang Bugis yang tersisa di Singapura. 

Namun, dari sedikit itu masih ada yang terlacak, sebutlah artis Rosalina Musa, penyanyi kenamaan Melayu di Singapura, yang merupakan turunan Bugis. Di Indonesia,  RosaIina tenar sebagai yuri D’Academy Asia dan Liga Dangdut, tahun 2018.

Demikian pula Taufik Bin Batisah, artis idola Singapura pertama dalam Singapore Idol. Pria kelahiran 1981 ini pernah dinobatkan sebagai pesohor lelaki terpopuler Singapura pada 2006.  Hal sama pada Hady Mirza bin Amir, yang menjadi juara penyanyi Asian Idol pertama. Taufik dan Hady, adalah warga Singapura titisan Bugis yang membanggakan salah satu negara termakmur di dunia ini.

2 COMMENTS

  1. Tulisan yang menarik dan cukup komprehensif.. Sepertinya bagus dan perlu juga dilanjutkan dengan penelitian/penulisan tentang sejarah pendudukan orang-orang Bugis-Makassar di kawasan-kawasan dunia lainnya…

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here