Makna Kurban Prof. Hafid Abbas: Bangsa Akan Punah Kalau Tak Mampu Beradaptasi; Pelajaran dari Jepang

0
810
- Advertisement -

PINISI.co.id- Dalam shalat Idul Adha di Wisma Hafid Training Center, Jakarta, Selasa (20/7/2021) Prof Dr. Hafd Abbas memberi khotbah perihal makna berkurban.

Menurut Dewan Pakar KKSS ini, makna berkurban adalah jalan untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah, semakin taat kepada Allah, yang diwujudkan dengan segala ibadah dan amal shalih hanya kepadaNya.  Manusia akan merugi apabila tidak terdapat iman pada dirinya, karena tanpa iman, fisik atau jasmani seseorang akan hanya bernilai sebagai benda fisika yang nilainya sama dengan benda alam lainnya, sama dengan nilai daging hewan. Namun karena ada ”iman” sebagai benda inmaterial yang melekat pada diri seseorang maka nilai orang ini akan menjadi tidak terhingga kemuliaannya.

“Kita akan merugi apabila kita tidak beramal, tidak produktif, tidak menghasilkan karya-karya nyata dalam kehidupan sehari-hari, apakah di kantor, di sawah, di toko, di rumah atau di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Kita juga akan merugi apabila kita menjauh dari sunnatullah, menjauh dari yang benar atau yang haq. Betapa banyak orang celaka karena berani melanggar hukum, mengingkari ketentuan Allah,” kata Dirjen HAM Kementerian Kehakiman, 2000-2010 ini.

Hafid mengingatkan, kita juga akan terus merugi apabila kita tidak sabar, suka memaksakan kehendak, yang dalam terminologi psikologi kogntif diartikan sebagai pengendalian diri yang wujudnya melalui keseimbangan antara emosi, rasa, ingatan, persepsi, karsa dan perbuatan kita. Secara kolektif kemampuan ini akan mewujudkan keseimbangankeseimbangan kehidupan sosial, keseimbangan antara orientasi rohani dan jasmani.

Keseimbangan antara dunia dan akhirat, keseimbangan antara hablumminallah dengan hablum minannas. Keseimbangan inilah, kata Hafid yang dapat diartikan sebagai persepsi dinamis yang terkandung pada hikmah Idul Qurban dalam keseluruhan spektrum kehidupan manusia sebagai makhluk individu, ataupun makhluk sosial yang hidup dalam suatu sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara ataupun sebagai rumpun keluarga.

- Advertisement -

Menurut pakar pendidikan ini, sejarah peradaban umat manusia menunjukkan, tidak satupun warga, bangsa, negara atau peradaban di dunia yang terus-menerus maju, atau terus-menerus tertinggal. Setiap orang atau setiap warga, setiap bangsa, setiap pradaban mempunyai pasang surut perjalanan sejarah masing-masing. Kerajaan Yunani, kerajaan Romawi, Persia, Sriwijaya, Majapahit, Malaka, dan Inggeris juga mengalami hal yang sama. Ada fase-fase perjalanan sejarah suatu masyarakat atau bangsa sangat maju dan ada pula fase bangsa itu tertinggal.

Bahkan ada bangsa yang besar sekalipun yang hancur dan mengalami disintegrasi dan akhirnya hilang dari peta peradaban dunia seperti Uni Soviet, dan Yogoslavia, kini telah pecah berkeping-keping menjadi beberapa kepingan rumpun bangsa., Sebaliknya ada juga bangsa yang terpuruk, miskin, tidak punya sumberdaya alam, bahkan tidak punya sumber air minum, tidak punya sawah dan tambang, tidak punya hutan, bangsa kecil, tetapi bisa menjadi bangsa rekasasa yang menguasai peradaban umat manusia, seperti Singapura,” tutur Ketua Senat Universitas Negeri Jakarta ini.

Ditanyakan, apa penyebab dinamika pasang surut perjalanan peradaban umat manusia yang terkandung dalam hikmah Idul Qurban?. Menelaah perjalanan sejarah peradaban  dalam lebih 5000 tahun, ternyata ada empat penyebabnya.

Pertama, menurut  Hafid, satu masyarakat atau bangsa akan punah apabila mereka tidak bias beradaptasi dengan tuntutan perubahan baru. Mereka tidak dapat membaca tanda-tanda kebesaran Allah, sebagaimana yang inheren dari spesies manusia, dan alam sekelilingnya. Mereka seakan-akan mengabaikan kebenaran firman Allah dalam surah Al’alaq yang sesungguhnya ayat ini tidak hanya mensiratkan makna betapa pentingnya membaca buku, tetapi juga membaca perubahan-perubahan sosial, ekonomi, politik keamanan, dan budaya, baik pada lingkup mikro, maupun makro yang berskala lokal, berskala kabupaten, nasional, regional, dan global, dan membaca tanda-tanda kebesaran Allah untuk terus menerus merespon tuntutan perubahan itu.

“Sekarang ini kita tengah menghadapi situasi sulit dengan adanya pandemi covid-19. Kita akan selamat apabila kita mampu beradaptasi dengan membentengi diri dengan beradaptasi mematuhi protokol kesehatan. Semoga dengan pandemi ini menjadi penyemangat baru bagi kita untuk terus menebar kebaikan bagi sesama dan meningkatkan ketaqwaan kita kepada Allah,” katanya menambahkan.

Dalam kaitan itu, Hafid memetik kemampuan beradaptasi dari
masyarakat Jepang. Dalam keadaan apapun, masyarakat Jepang selalu menerapkan tradisi “kaizen” yakni tuntuan berubah ke arah yang lebih baik atau “change for bette or continous improvement, large or small, in everyday life,” di manapun kita berada, apapun yang kita lakukan akan memperbaikinya menunju ke keadaan yang lebih baik.

Hafid memberi contoh, saat Jepang dilanda gempa bumi dan tsunami 11 Maret 2011 terdapat 15,269 warga Jepang meninggal
seketika, dan sekian puluh ribu hilang. Inilah gempa yang dinilai terbesar dalam
sejalah Jepang selama 1200 tahun terakhir. Namun, di tengah bencana maha dahsyat itu, mereka tetap antri, tidak gontok-gontokan, tidak teriak-teriak, mereka tidak kasar terhadap sesamanya, bertutur dengan lembut, tida ada tanda-tanda expression of anger atau rising their voice, atau suara membentak sesamanya.

Kedua, satu masyarakat atau bangsa atau peradaban akan hancur apabila mereka  tidak mampu menggerakkan dirinya untuk mencapai tujuannya.  Keteladanan Nabi Ibrahim, Nabi Muhammad SAW, dan semua nabi dan rasul  lainnya adalah untuk mewujudkan ikhtiar dan tujuan perjuangan hidupnya bagi  kemuliaan kehidupan umat manusia sesuai dengan tuntunan Illahi Rabbi.

Kerelaan  Ibrahim, kata Hafid,  mengorbankan putranya, adalah ujian maha berat bagi siapaun, ketabhan  Nabi Yusuf dibuang di sumur oleh saudara kandungnya sendiri dan dipenjarakan  bertahun-tahun tanpa kesalahan juga adalah ujian maha berat bagi siapapun.  Kesabaran Nabi Nuh, yang dianggap gila oleh isteri dan anak kandungnya, serta  kaumnya sendiri karena membuat perahu di atas bukit juga merupakan ujian maha  berat bagi siapapun. Demikian pula Nabi Muhammad SAW yang dalam perjalan  hidupnya penuh dengan cobaan dan ujian yang teramat berat. Namun perjuangan  mereka tidak terkalahkan oleh iktikadnya memajukan kaumnya di jalan Allah.

Ketiga, suatu warga, masyarakat atau bangsa atau peradaban akan punah apabila mereka tidak mampu bersinergi, bahu membahu untuk maju bersama. Seirama  dengan aktualisasi nilai-nilai yang terkandung dalam hikmah Idul Qurban tersebut, bagi masyarakat Jepang mempunyai pula pandangan universal yang merekat kehidupan sosialnya yakni makna seishin yakni  kesediaan hidup bersama, saling membantu dalam keadaan apapun, suka dan duka  dengan kesadaran yang dalam bahwa kita menyatu dalam semangat kekitaan. 

Terakhir, suatu warga masyarakat atau bangsa atau peradaban akan punah apabila mereka tidak mampu merawat nilai-nilai spiritual dan perinsip-perinsip dasar kehidupannya. Bagi kita umat Islam, kehidupan kita akan dipandu oleh Al-Qur’an
dan Hadis, dan sebagai bangsa Indonesia kita juga diikat nilai-nilai dasar Pancasila yang tidak sedikitpun bertentangan dengan ajaran Islam.

“Bagi warga Jepang yang memelihara dan menjunjung tinggi nilai kerja keras, selalu ingin melahirkan karya terbaik, masyarakat membaca, menghargai yang lebih tua
dengan bertutur lembut dan membungkuk, malu jika melakukan pelanggaran moral sekecil apapun sesungguhnya nilai-nilai itu inheren dari semangat Idul Qurban dan nilai-nilai luhur kepepemimpinan Rasulullah,” jelas Hafid.

Juru Bicara PM Jepang, Makiko Yamada, mantan Menteri Dalam Negeri mengundurkan diri karena malu ketahuan ditraktir makan malam mahal dengan seorang pengusaha. Juga Menteri Luar Negeri Jepang, Seiji Maehara, juga mengundurkan diri pada 6 Maret 2011 stelah ketahuan menerima donasi politik dari seorang warga Korea, tetangganya sebesar 50000 Yen atau Rp. 5,2 juta.

Namun di sisi lain, Hafid miris menyaksikan satu drama kehidupan yang memilukan,  di tengah-tengah kita menunaikan ibadah Idul Qurban, kita menyaksikan adanya keserakahan sekelompok warga yang seakan tanpa batas. Ada seorang warga keturunan China misalnya, pemilik Sinar Mas menguasai tanah di negeri ini seluas 5,2 juta hekar atau 74 kali lebih luas dari wilayah DKI Jakarta. Kita menyaksikan ketimpangan ketika tidak satu jengkal lagi tanah yang tersisa di Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur, dan beberapa provinsi lainnya karena jika seluruh izin tambang, inzin konsesi lahan ini dan jika dijumlahkan semuanya maka luasnya sudah melebihi luas seluruh provinsi-provinsi itu sendiri.

“Kekayaan negeri kita yang amat besar ini kini dikuasai oleh kaum pengusaha yang umumnya etnis keturunan China, dikuasai oleh pihak asing dan aseng karena persekongkolan mereka dengan pemerintah pusat atau daerah,” tandas Hafid. [ Aco ]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here