Kolom Ruslan Ismail Mage
Unhas yang berjuluk “Kampus Merah” adalah pusat industri otak di belahan Timur Bumi Nusantara. Salah satu kampus impian bagi seluruh anak-anak negeri yang ingin menuntut ilmu pengetahuan. Kampus terbesar di luar Pulau Jawa, bahkan masuk peringkat 10 Besar Nasional.
Medio tahun 80-an, seorang siswa berpenampilan culun dari sebuah sudut kampung yang berjarak kurang lebih 175 km dari pusat kota Makassar berhasil menyisihkan ribuan peserta Sipenmaru (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Anak muda pemalu itu dinyatakan diterima dengan Nomor Ujian 285-80-08669. Ia resmi menjadi mahasiswa baru di Kampus Merah.
Menjadi salah satu mahasiswa baru di kampus bergengsi itu adalah impiannya sejak mengenal arti penting sebuah ilmu sebagai jembatan menjemput masa depan. Sejak menjadi mahasiswa, penampilannya tak berubah yang culun itu. Hobinya membaca buku sampai buku filsafat menjadi makanan kesehariannya di rumah sederhananya di depan Monumen Korban 40.000 Jiwa, Jl. Langgau lr. 8 No. 2A. Tak heran kalau ia memahami dan berusaha menerapkan Hukum Proses dalam rutinitas kesehariannya di kampus. Hukum proses mengajarkannya bahwa “tidak ada kesuksesan dalam sehari”. Kalau ingin melihat bagaimana lahirnya sang juara, lihatlah hari-harinya berlatih keras. Terinspirasi dari hukum proses, sang mahasiswa culun ini, menulis memoar di buku hariannya bahwa “keberhasilan seorang mahasiswa tidak ditentukan pada saat berdiri pakai toga di panggung wisuda, melainkan ditentukan oleh hari-harinya belajar dengan tekun”.
Rutinitasnya sebagai mahasiswa dipenuhi dengan belajar dan belajar untuk meraih obsesinya menjadi Wisudawan Terbaik dan Tercepat. Mahasiswa culun ini rambutnya berdiri dan sering diejek temannya sebagai berambut landak. Stye rambut itu disisir belah samping yang sesekali pakai minyak rambut merek Tancho. Mahasiswa penganut pendapat Bung Karno yang mengatakan “The Word of the Mind”. Maksudnya ketika dunia materi tidak berpihak kepadamu, segeralah melakukan miraj atau hijrah memasuki dunia buku untuk berselancar di atas pemikiran tokoh-tokoh besar pembuat sejarah dunia”. Ambil semangatnya bagaimana menaklukkan gelombang kehidupan, petik gagasan-gagasan besarnya dalam mengubah nasibnya.
Ia menyadari dirinya dari keluarga sederhana. Ia anak seorang guru SD dan ibunya hanya mengurus rumah tangga. Anak sulung ini selalu setia memupuk semangat dan cita-citanya membahagiakan orangtuanya dengan mempersembahkan gelar kesarjanaannya. Kondisi kesederhanaan ini kemudian berdampak pada kepercayaan diri dalam mengelola rasa cinta dalam dirinya. Dengan demikian, ketika kebanyakan mahasiswa sedang asyik-masyuk memadu kasih, ia lebih memilih bergumul dengan buku-bukunya. Walau tidak jarang ada juga rasa cinta mencubit kesadarannya, tapi urung diungkapkan karena selalu merasa kurang percaya diri. Yang paling ditakuiti setelah takut kepada Allah dan Rasulnya, adalah rasa takut ditolak cintajya oleh wanita pujaannya kelak
Perasaan cinta adalah rasa alami dan naluri sebagai manusia normal. Ia pun tidak sanggup menahannya ketika di tengah hamparan buku-buku bacaannya, rasa itu sesekali bergelora mau memberontak keluar dari zona malu. Hingga suatu saat, rasa itu memuncak tak terbendung ketika jatuh cinta kepada cewek teman kampusnya, adik lettingnya dari fakuktas paling bergensi di lingkungan Unhas. Anehnya, semakin tinggi rasa itu, semakin rendah keberanian menyatakannya. Ia pun mencoba mengungkapkan rasa melalui surat. Dengan hati was-was campur aduk ketar-ketir, penanya bergetar saat menulis kata cinta dalam kertas putih seputih cintanya. (surat-surat isi hatinya itu masih tersimpan rapi di brangkasnya).
Surat bersampul biru sebiru jiwanya yang sedang kasmaran itu dikirim ke alamat pujaan hatinya. Sekali tak terbalas, kedua, ketiga, dan keempat kalinya juga tak terbalas. Tidak ada isyarat alam surat bersampul biru yang mewakili perasaannya itu mendapat tanggapan positif. Hatinya pun retak, jiwanya ikut remuk, terasa seluruh fungsi-fungsi pancaindranya seperti lumpuh seketika. Merasa cintanya tak berbalas, naluri lelakinya memuncak tidak akan mengenal lagi perempuan Bugis.
Waktu berjalan terus, hanya buku dan motor bututnya yang setia menemani langkahnya. Sebagai anak sulung yang harus menjadi panutan kedua adiknya, ia berusaha menetralisir perasaanya untuk tetap berjalan di atas rel kehidupan. Ia harus tetap fokus kembali pada cita-citanya tanpa cinta. Sayang semakin kuat keinginan membunuh rasanya, semakin menggeliat ingin muncul ke permukaan. Ia pun akhirnya pasrah membiarkan rasa itu, entah tumbuh berbunga dan berbuah, atau hanya menjadi benalu cita-citanya.
Setelah meliwati hari-harinya di kampus hanya berteman buku, ia akhrnya berhasil meraih cita-citanya tanpa cinta. Menjadi wisudawan terbaik dan tercepat membuat almamaternya menerimanya menjadi dosen muda. Di balik keberhasilannya menjadi dosen muda, sesekali surat bersampul biru tak berbalas itu mengusik pikirannya. Namun tidak segalau dulu hatinya remuk, kini sebagai dosen muda ada keberanian mencari istri bukan sekedar cinta lagi. Lalu kepada siapa? Apakah perlu mengulangi lagi surat kelima kepada perempuan yang sama? Katanya membatin.
Kalau jodoh takkan ke mana, begitu batinnya menguatkan langkahnya menjemput cintanya yang hilang. Tuhan Maha mengetahui isi hati hamba-Nya, sehingga dipertemukan lagi dengan perempuan yang mengabaikan empat kali surat cintanya waktu masih kuliah. Pada suatu senja di bibir Pantai Losari, 23 Juli 1993 (ulang tahun sang pujaan hati),
mahasiswa culun dulu yang sudah berprofesi dosen muda sudah memiliki keberanian mengungkapkan rasanya kepada perempuan yang selalu mengusik waktu belajarnya dulu. Berikut dialog yang menandakan fondasi cinta sejatinya mulai dibangun.
Setelah tidak membalas suratku empat kali berturut-turut, seketika pancaindraku terasa lumpuh. Untung kedua orangtuaku mewariskan semangat dan menitipkan cita-cita, hingga masih bisa berdiri tegak sekarang di depannya untuk mengungkapkan perasaanku bahwa “orang tuaku hanya mampu mewariskan semangat dan kerja keras, bukan harta. Aku memang miskin, tetapi ada kekayaanku yang tidak dimiliki oleh lelaki lain, yaitu ketulusan cinta, kasih sayang, semangat (kerja keras), dan harapan. Aku ingin mewujudkan harapan itu bersamamu. Apakah gadis sederhana yang kukenal di kampus masih seperti dulu setelah mencapai gelar keserjanaan yang sangat prestisius ini?
Sang gadis pujaan yang mengabaikan suratnya empat kali itu menjawab; “Mengapa dulu harus melalui surat, saya sengaja tidak membalasnya setiap suratnya, karena saya ingin mendengarnya langsung. Ketahuilah sesungguhnya apa yang engkau rasakan sama yang kurasakan. Satu hal yang pasti bahwa saya pantang berubah dan berpaling pandangan, Jum dulu, Jum sekarang, dan Jum yang datang, selalu menginginkan kejujuranmu sebagai pondasi membangun hubungan kita ke jenjang lebih serius. Di pinggir Pantai Losari 26 tahun lalu itulah Dr. H. Tammasse Balla bersama gadis pujaan hatinya, Dr. dr. Hj. Jumraini Tammasse, Sp.S.(K) berikrar membina cinta sejati tanpa batas, tanpa syarat hingga akhir hayat.
(Goresan Pena RIM : Founder Sipil Institute Jakarta, dari negeri kata-kata tempat para dewa penulis bersemayam Minangkabau)