PINISI.co.id- Saya merasa beruntung kemarin siang, Senin, 6 Januari 2020 diundang khusus oleh Bapak Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (Prof. Ryaas), seorang pakar atau arsitek otonomi daerah dan desentralisasi yang berpenampilan sederhana, ramah, low profile, dan susah ditemukan bandingan keluasan ilmu dan pengalamannya.
Setelah Reformasi, orang-orang yang melek istilah dan diskursus “civil society” (masyarakat madani) dan ingin memahami makna dan proses perwujudan otonomi daerah dan desentralisasi, hampir sepakat selalu memberi ruang dan menunggu petuah-petuah Prof. Ryaas di berbagai pertemuan formal, media cetak, dan elektronik. Setiap saat di berbagai tempat, di manapun orang-orang berkumpul berbicara tema otonomi dan desentralisasi, pendapat Prof. Ryass menjadi rujukan utamanya.
Prof. Ryaas adalah kelahiran Makassar, 7 Desember 1949, 70 tahun lampau. Mantan Lurah ini telah menyelesaikan pendidikannya di SMAN Sungguhminasa-Gowa; Akademi Pemerintahan Dalam Negeri Makassar; Institut Ilmu Pemerintahan di Jakarta; master dan doktoral (philosophy doctoral) dalam ilmu politik diraih di University of Hawaii, Amerika Serikat.
Prof. Ryaas kembali dari Amerika tahun 1994, membawa segudang ilmu pada momen yang tepat. Awal Reformasi, saat menjabat sebagai Rektor Institut Ilmu Pemerintahan dan Anggota MPR RI, dia diangkat merangkap jabatan sebagai Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah bahkan sempat merangkap juga sebagai Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri. Tiga jabatan itu dia rangkap sampai berlangsungnya Pemilu 1999.
Setelah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih sebagai Presiden, Prof. Ryaas dipromosikan ke jabatan Menteri Negara Otonomi Daerah, kemudian Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN). Setelah mundur dari Menteri PAN, Prof. Ryaas mendirikan Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) dan lolos masuk DPR periode 2004-2009. Tahun 2009-2014, Prof. Ryaas menjadi Anggota Dewan Pertimbangan Presiden RI, era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Prof. Ryaas mengaku telah menulis puluhan bahkan ratusan makalah dan menerbitkan delapan buku yaitu Menolak Resentralisasi Pemerintahan, 2002; Percikan Pemikiran Sang Penggagas Otonomi Daerah (Versi Media Massa), 2004; Makna Pemerintahan: Tinjauan dari Segi Etika dan Kepemimpinan, 2007; Golkar & Democratization in Indonesia, 2008; Penjaga Hati Nurani Pemerintahan; Challenging Central Authority: A Comparative Study of South Sulawesi and Aceh, 2010; Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan Politik Orde Baru; dan Nasionalisme & Demokrasi Indonesia.
Makan Siang
Saya dkk hari ini diundang makan siang di kantor Prof. Ryaas, APKASI (Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia), kawasan Sudirman, Gedung Sahid Sentral, Jakarta. Kami makan siang sambil berbincang hal-hal ringan, dan mendengarkan kutipan pemikiran-pemikiran dan kegalauan seorang Guru Besar tentang kondisi pengelolaan negeri ini. Selain saya, ada Baharuddin, pengajar Institut Ilmu Pemerintahan, salah satu junior, dan kelihatan menikmati dirinya sebagai asisten pribadi Prof. Ryaas; Idris Thaha, pengajar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; dan Nurliah Nurdin, Ketua STIA LAN Jakarta.
Kami berlima makan siang sambil ngobrol dan menyatukan niat, dan menyepakati membentuk tim kecil, bertugas menyusun buku “biografi 70 tahun dan mengutuhkan pemikiran-pemikiran Prof. Ryaas dalam bentuk ensiklopedi.” Tim kecil ini segera bekerja, langsung di bawah supervisi Prof. Ryaas.
Tentang kondisi Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) hari ini, Prof. Ryaas tidak bisa menyembunyikan kegalauannya, mulai dari kasus Natuna yang kini mulai dimasuki kapal-kapal asing, (baca China), hingga pengelolaan pemerintahan. Menurut Prof. Ryaas, “pengelolaan pemerintahan agak berisiko dan cenderung diwarnai mis-manajemen karena ada masalah leadership, etika politik, dan komunikasi yang serius dalam mengelola kekuasaan negara. Pemerintah tidak lagi memiliki otoritas moral dalam menjalankan kekuasaan dan mengelola kepentingan rakyat. Kondisi ini harusnya bisa dikoreksi secara fundamental untuk mengembalikan tegaknya otoritas moral itu.”
Tentang penulisan biografi dan pengumpulan buku-bukunya untuk diolah dan dicetak ulang, Prof. Ryaas mengatakan, “saya ini sudah 70 tahun, sudah layak lah menulis outobiografi, tapi saya belum sempat, karena itu, tolong kalian bantu saya menuliskan biografi saya, yang berisi perjalanan hidup saya, apa yang telah saya raih, yang belum, dan apa yang membuat saya kecewa dengan pemerintahan setelah Reformasi, khususnya era Jokowi.”
Pertemuan kemarin disepakati akan dilanjutkan pada pertemuan kedua, setelah tim kerja mengumpulkan semua buku dan makalah-makalah, dan membuat bahan diskusi, outline atau kerangka dua buku: “Biografi 70 Tahun dan Ensiklopedi Pemikiran Tematik Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid.”
[Saleh Mude]