Agustus, Bulan yang Bersejarah bagi Orang Wajo

0
1458
- Advertisement -

Catatan Andi Wahida. S

Di bulan Agustus terdapat dua peristiwa besar bagi manusia Bugis Wajo tak terlupakan yaitu 17 Agustus 1945, hari kemerdekaan Republik Indonesia dan Agustus 1670 Perang Besar terjadi di Pusat Kerajaan Wajo di Tosora, sebanyak 1304 pasukan Wajo syahid di medan peperangan melawan Bone, VOC  dan sekutunya dibawah pimpinan Arung Palakka. Raja Bone tidak terima karena  Raja Wajo tidak bersedia menandatangani perjanjian Bungaya.

Pada Agustus 1670,  352 tahun lalu adalah tahun yang tidak pernah dilupakan rakyat Wajo yang penuh perjuangan, darah, air mata di mana ribuan orang Wajo meninggal dalam peperangan di Tosora pusat Kerajaan Wajo.

Dua momen peringatan yaitu Perang di Tosora dan gugurnya Kesatria Luhur Tanah Wajo yaitu Raja Wajo ke-23  La Tenri Lai To Sengngeng yang begelar Arung Matowa Wajo.

Berawal dari Rapat Hooge Regering van Betavia pada 5 Oktober 1666, ditunjuk Mr Johan van Dam untuk memimpin eksepedisi ke Makassar tetapi menolak kemudian pilihan jatuh pada Coernelis Janzsoon Speelman dengan Armada besar dibantu Arung Palakka dan Jonker van Manipa, armada meninggalkan Batavia pada 24 November 1666 dan tiba diperairan Makassar pada 19 Desember 1666.

- Advertisement -

Tanggal 21 Desember 1666 dikibarkan bendera merah tanda dimulainya perang. Perang besar terjadi, armada Speelmen terusir meninggalkan perairan Makasar mengembangkan layar ke selatan , tanggal 23 Desember 1666 pasukan ini mendarat di Laikang  ( Turatea ). Pasukan Speelmen dan Arung Palakka kocar kacir lalu meninggalkan Laikang.

Tanggal 25 Desember 1666 pasukan ini mendarat di Bantaeng. Terus terjadi perang hingga ke Buton lalu kembali ke Makassar pada 22 Oktober 1667.

Perang tak terelakkan bantuan dari Jakarta datang, Barombong dirampas dan akhirnya pada Jumat 18 November 1667 disepakati perjanjian damai dinamakan Perjanjian Bungaya. Dan orang Belanda menamakan Het Bingaisch Verdrag. Menurut Corpus Diplomaticum deel II, Bls. 370 – 380, dilakukan oleh I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangappe Sultan Hasanuddin dan Coernelis Janzsoon Speelman. Ditandai penyerahan seutas kalung emas.

Pada 18 November 1667 Perang Makassar telah usai, tetapi tidak untuk La Tenri Lai Tosengngeng, Baginda Raja Wajo menolak menanda tangani Perjanjian Bongaya bersama Raja Tallo, Karaeng Lengkese, mereka membawa ribuan pasukannya.

Menurut Corpus Diplimaticum deel 11, blz 380 – 383, mereka Raja Tallo tanggal 9 dan Karaeng Lengkese tanggak 31 Maret 1668, baru bersedia menandatangani  suatu “naedercontrackten” ( kontrak tambahan ). Sedang Arung Matowa Wajo La Tenri Lai Tosengngeng tidak setuju kepada perjanjian – perjanjian itu.

Kemenangan Speelman dengan bantuan sekutu – sekutunya, Arung Palakka, Mandarsyah, Jonker van Manipa dan Buton, Batavia berpesta pora.

Speelman dalam suratnya pada 5 November 1667 memberikan laporan pada atasannya. Speelman melakukan konsolidasi, Benteng Ujung Pandang yang diserahkan kepadanya disiagakan dan diresmikan namanya menjadi Fort Rotterdam. Arung Palakka sendiri dinobatkan menjadi Raja Bone.

Ketika Cappayya ri Bungaya ditanda tangani Sultan Hasanuddin meminta kepada La Tenri Lai To Sengngeng Arung Matowa Wajo untuk mengikutinya, maka beliaupun menjawab : ” Apabila laskar saya sudah tewas semuanya, barulah saya akan menyerah ! “. Sultan Hasanuddin mendesak juga akhirnya kembalilah Arung Matowa Wajo dengan laskarnya ke negerinya.

Sebelumnya Raja Wajo Arung Matowa Wajo La Tenri Lai menawarkan masih ada sisa 10.000 pasukannya yang masih hidup sudah bersumpah siap untuk melawan hingga tewas.

Namun Sultan Hasanuddin berkata,
” pulanglah ke Wajo, Gowa sudah berhutang 100.000 nyawa, orang Bugis Wajo yang gugur. Jika yang 10.000 lagi tewas.. maka tidak ada bibit penerus generasi di Wajo”.

Setelah Cappaya ri Bungaya ditanda tangani, berkatalah Raja Bone kepada Raja Gowa : ” Perang kita Bone – Gowa sudah berakhir Karaeng ! Akan tetapi perang saya dengan keluarga kita dari Wajo belum selesai “.

Dengan amarah yang meluap-luap, La Tenrilai’  to Sengngeng mencabut keris pusakanya seraya berkata dengan suara menggelegar, : ” Sangadi cappuupi Pakannaku na ipasigajangnga’ La Tenri Tatta ‘, iyajjulEkkaipi bakkEku na inappa riyala bessi Wajo “.

Itulah sumpah yang di ucapkan La Tenri Lai sebelum meninggalkan Makassar pasca Perjanjian Bungaya, sementara Karaeng Karunrung mendesak Raja Gowa membatalkan perjanjian.

Setelah Sombaopu dapat dihancurkan pada Tahun 1667, maka  La Tenri Lai To Sengngeng dengan sisa pasukannya yang tidak bergabung dengan Karaeng Galesong dan Daeng Sitebba yang pergi Ke Samarinda kembali ke Tosora.

Sementara itu Raja ke-16  Kerajaan  Bone Arung Palakka berserta rombongannya terdiri dari orang Bone dan Soppeng menuju ke Timurung guna membahas tindakan apa yang harus dilakukan untuk Kerajaan Wajo.

Dalam perjalanan menuju Timurung Arung Palakka berserta rombongannya menyerang Lamuru dan berhasil ditaklukkan hanya sehari saja dan melanjutkan perjalanan ke Timurung.

Setelah tiba di Timurung Arung Palakka dan  tokoh-tokoh dari Kedatuan Soppeng, yaitu Arung Appanang, Arung Bila dan Arung Belo, sepakat untuk menyambung tali persaudaraan.

Arung Palakka mengirim utusannya untuk menyampaikan kepada Raja Wajo Matoa La Tenri Lai To Sengngeng, dimana isi penyampaiannya sebagai berikut

“Bahwa tidak akan menjadi baik Bone, Soppeng dan Wajo kecuali apabila ketiga kembali menyambung silaturrohim dan menjalin kembali ikatan persaudaraan yang pernah dibuat oleh leluhur yaitu Perjanjian Trialiansi TellupoccoE di Timurung dahulu “.

Namun meskipun Arung Matoa La Tenri Lai To Sengngeng, selaku Raja Wajo pada saat itu menghormati dan memahami Perjanjian TellupoccoE, namun beliau tetap tidak mau menerima ajakan tersebut, karena Bone dan Soppeng sudah bersekutu dengan VOC/Belanda untuk menyerang Somba Opu, serta beliau tidak ingin menghianati perjanjiannya dengan Gowa.

Mendengar perkataan  La Tenri Lai To Sengngeng, lalu utusan Arung Palakka pun berkata, “Itulah keputusan Puang yang kami pegang, namun Gowa telah ambruk, maka begitu pula dengan dirimu dan Kerajaanmu, dan semetara kami Bone dan Soppeng akan selalu tetap berjaya dan hidup.”

La Tenri Lai Tosengngeng mengajak duel Arung Palakka tetapi tidak disanggupi dan tetap membawah pasukannya mengepung Pusat Kerajaan Wajo. 

Setelah gagal dalam negosiasi dengan pihak Kerajaan Wajo, maka di sore harinya pula Arung Palakka beserta Arung Appanang, Arung Bila dan Arung Belo, bersama pasukan gabungan lainnya menggempur Kerajaan Wajo.

Bulan Agustus 1670, perang Tosora sudah dimulai. Pengepungan Benteng Tanah Tosora oleh pasukan Bone VOC dan sekutunya 2307 : serta tanda dimulainya  perang selama 4 hari 4 malam dengan menimbulkan korban 1304 pasukan Wajo meninggal.

Adalah perang besar mempertahankan Ibukota kerajaan Wajo, yang menyebabkan ribuan orang meninggal dan bahkan Arung Matoa Wajo yang Ke-23 pun ikut gugur hanya untuk mempertahankan siri’na To WajoE.

Dari Tanah kemuliaan Tanah Amaradekangeng ada luka terpatri pada dinding sejarah, saksi bisu perlawanan Raja Wajo dan Rakyatnya mempertahankan kedaulatan. Darah tercecer dimana – mana menyisakan dendam dan air mata darah. 

La Tenri Lai To Sengngeng gugur bersama terbakarnya gudang mesiu, yang dibakar oleh pasukan musuh.

Janji La Tenri Lai untuk tetap melawan Belanda dibuktikan melalui perang dahsyat di Tosora. Wajo tetap tidak mau tunduk dan gagal ditaklukkan sampai  beliau meninggal dunia.

Akhir bulan Oktober 1670 letusan hebat terdengar di pusat pertahanan Tosora, gedung penyimpanan mesiu meledak, yang menyebabkan La Tenri Lai To Sengngeng ArunG Matoa Wajo meninggal bersama 997 orang pasukannya. Ledakan dan kebakaran gudang mesiu mengakibatkan cadangan mesiu semakin menipis.

Pammana, Peneki, Tuwa sebelumnya  telah berpihak ke Bone. Peperangan terus berkobar dan Bone terus mendapatkan bantuan pasukan dari Belanda.

Wajo akhirnya takluk dan dibawah diktean Kerajaan Bone. Kemerdekaan ( aboccongenna ) To WajoE hilang dan terampas. Aboccongenna Wajo dapat direbut kembali dari Bone dimasa La Maddukkelleng Arung Peneki Arung Sengkang Sultan Paser Arung Matowa Wajo ke 31.

Pada bulan Agustus ini momen tepat bagi manusia Bugis Wajo mengajukan kepada Pemerintah Pusat di Jakarta agar La Tenri Lai To Sengngeng  Arung Matowa Wajo ke 23 dianugerahi Pahlawan Kemerdekaan.

Sidoarjo, 2 Agustus 2022

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here