Kolom Abdi Mahesa M
Berbagai konsep kepemimpinan yang melekat pada diri orang Bugis dapat menjadi perbandingan bagaimana sebenarnya posisi seorang pemimpin di tengah-tengah masyarakat.
Salah satu konsep kepemimpinan itu adalah ajjoareng. Seorang pemimpin dalam perspektif nilai sosial budaya Bugis yang disebut ajjoareng, bisa diartikan sebagai seorang yang dapat mendahului atau generasi yang mendahului leluhurnya dalam lintasan kepemimpinan atau disebut pattola palallo atau pattuppu batu.
Ajjoareng dipandang sebagai figur pewaris keturunan tertua dari suatu kaum. Lalu ia diikuti dan dipandang sebagai teladan yang baik karena kebijaksanaan dan kesantunan yang dimiliki dalam lapangan tertentu dibarengi dengan kepandaian, sifat dermawan dan bertanggung jawab.
Sikap ajjoareng yang dimiliki seorang laki-laki Bugis inilah dipandang sebagai wija makkarung atau wija pattola dalam tatanan masyarakat akar rumput yang kelak akan dipimpinnya. Pola kepemimpinan ajjoareng di masyarakat Bugis, merefleksikan hubungan timbal balik yang saling menguntungkan, terutama dalam bidang kehidupan sosial dan kemaslahatan umat.
Pemimpin atau ajjoareng dan kaum yang dipimpin atau joa masing-masing memiliki hak, kewajiban dan batas ruang masing-masing dalam membangun status dan peranan di masyarakat disertai tanggung jawab masing-masing secara timbal-balik.
Seorang ajjoareng mempunyai kewajiban untuk memberi rasa aman, baik secara fisik dengan memberikan perlindungan maupun secara moril dengan menumbuhkan semangat dan bekal hidup jemma tebbeq-nya dengan karsa dan estimasinya.
Esensi dari sosok seorang ajjoareng adalah juru ponggawa yang mampu menjawab semua tantangan yang dihadapi oleh joa-nya baik siriq, harkat dan harta benda yang merupakan bagian yang integral dari keluarga dan komunitas sehingga mereka mampu menegakkan harga diri bersama (masseddi siriq).
Karena itu pula, joa merasa terpanggil untuk mengabdi kan dirinya kepada ajjoareng, demi keberhasilan dan kejayaan tuannya.
Walaupun untuk itu ia harus mengorbankan
jiwanya jika memang diperlukan. Pengorbanan seorang joa dipandang sebagai upaya
untuk menegakkan siriq. Sebaliknya
pun dapat terjadi, ajjoareng pun
dapat melakukan apapun untuk melindungi joa-nya.
Jika joa tersebut berada pada posisi
yang benar.
Dalam setiap negeri (wanua), ajjoareng menempati posisi strategis
sebagai seorang pemimpin yang kelak akan menjadi tokoh sentral pemangku siriq agar bisa diemban, dipelihara dan
ditegakkan. Sehingga masyarakat (jemma
tebbeq) merasa bersatu dengan pemimpin karena siriq yang diemban, dimiliki dan dibawa bersama.
Antara pemimpin dengan mereka yang dipimpin terikat oleh satu kesadaran martabat diri dan solidaritas kemanusiaan yang menghadirkan nilai pesse yang terjalin dan dirasakan sebagai nilai integral yang kuat dan kokoh dalam menjaga stabilitas sosial.
Penulis adalah pemerhati sosial budaya Bugis