Kolom Ruslan Ismail Mage
Dalam suatu kesempatan melakukan perjalanan intelektual ke Kerawang (Rengasdenglok) bersama beberapa sahabat pembelajar (mahasiawa program doktor ilmu politik) yang selalu setia memupuk nilai-nilai humanisme dalam persahabatan, salah seorang menyadarkan kami dari lamunan dengan mengatakan : kalau dosen ingin memenuhi kebutuhan, bergaullah dengan sesama akademisi. Namun jika ingin memenuhi keinginan, bergaullah dengan pengusaha. Seketika aku membisu mendengarkan kalimatnya yang bernuansa filosofi itu.
Dalam kebisuanku dia melanjutkan kalimatnya : jangan apriori dulu dengan konsep akademisi bergaul dengan pengusaha. Bukan bermaksud melacurkan intelektual dengan menjual tanda tangan atau menjual nilai misalnya, tetapi “juallah risetmu (gagasan dan ide-ide kreatifmu), juallah keahlian ilmumu kepada pengusaha”, dengan sendirinya uang pasti mengalir ke kantongmu! Karena sependapat, aku melanjutkan membisu sampai tiba di depan gerbang kampus daerah pasar minggu Jakarta Selatan.
Sehabis shalat subuh, kata demi kata sahabat tadi kembali menari-nari dalam pikiranku sebagai akademisi. Berarti harus bergaul dengan pengusaha, kataku membatin. Lalu teringat kepada seorang guru besar yang menasehati kami sesaat setelah mengikuti kuliahnya. Katanya seorang akademisi itu harus berusaha membuat dirinya bernilai tinggi, apalagi kalau sudah bergelar Doktor dibidang keilmuannya masing-masing, terlebih dengan temuan teorinya. Kalau tidak memberi nilai kepada dirimu, bagaimana mungkin orang lain bisa memberimu nilai.
Jadi kalau ada institusi atau pengusaha yang mengundangmu manjadi narasumber keilmuanmu, sudah jelas dia harus siapkan bujet berapa untuk menerima ilmumu. Jadi yang memiliki nilai tinggi itu adalah ilmumu yang melekat dalam dirimu. Kenapa tinggi nilainya ilmu? Ada dua alasan pembenarnya. Pertama, karena untuk mendapatkannya membutuhkan pengorbanan paripurna. Pengorbanan materi, pikiran, tenaga, waktu, perasaan, dan bahkan jiwa. Kedua, berada di tangan manusia yang selalu memeluk kemanusiaan dan merangkul keadilan.
Karena itu, ketika memiliki nilai ilmu tinggi, saat yang besamaan harus menyiapkan juga waktu untuk membagi gratis ilmunya kepada orang atau institusi yang memang harus dibantu, misalnya organisasi kemahasiswaan, organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan di kampung yang memintanya narasumber digratiskan.
Jika sudah mampu menyeimbangkan nilai ilmunya yang tinggi dengan kemampuan dan keihlasan berbagi ilmu gratis, pada saat itulah hidupmu akan bermakna sebagai akademisi. Saat itulah hidupmu bernilai sebagai ilmuwan. Saat itulah hidupmu berarti sebagai manusia pembelajar. Saat itulah sebagai hamba bisa menjawab pertanyaan Malaikat, ilmumu engkau gunakan untuk apa? Saat itulah ilmumu akan menuntunmu menuju taman-taman surgawi.
Terimakasih sahabat dan Prof atas wejangannya. Kini aku sudah merasakan indahnya menjadi akademisi yang menginspirasi, penulis yang menggerakkan, inspirator yang membumi.
Penulis : Akademisi, Inspirator dan Penggerak, Founder Sipil Institute Jakarta