Kolom Fiam Mustamin
Narasi analogis ini sederhana dan mudah dipahami. Obyek yang dimaksud adalah Gerakan Rakyat Menggugat dalam mengekspresikan aspirasinya. Ada tiga unsur yang perlu kita uraikan: Aktor, Ekspresi, dan Panggung.
Siapakah aktor itu? Mereka adalah orang-orang yang mendapat amanah dan kehormatan sebagai Wakil Rakyat —anggota DPR — yang dalam tulisan ini saya sebut sebagai komunikator.
Tugas utama seorang komunikator adalah memperjuangkan amanah rakyat dan mewujudkan kebutuhan hidup masyarakat demi kemaslahatan bersama. Itulah pesan penting yang seharusnya diekspresikan di panggung politik DPR.
Bagaimana seharusnya mempersiapkan diri menjadi aktor atau komunikator?
Seorang aktor politik harus memiliki pengetahuan, kompetensi, dan ketangguhan untuk memperjuangkan aspirasi rakyat. Ia harus benar-benar mempersiapkan diri sebelum naik ke panggung politik, bukan sekadar bermodal popularitas atau kemenangan suara pada pemilu legislatif.
Popularitas seorang selebritas atau banyaknya suara pemilih tidak otomatis membuat seseorang siap menjadi aktor politik. Diperlukan proses kaderisasi, pendalaman, dan penghayatan agar ia mampu tampil dengan kesadaran penuh akan keresahan rakyat yang diwakilinya. Seorang aktor politik sejati tidak larut dalam euforia, berjoget-joget tanpa empati, atau bahkan mati rasa terhadap penderitaan rakyat.
Aktor politik yang hanya terbentuk secara instan akan tampil setengah matang: sekadar membaca atau menghafal teks tanpa penghayatan. Itu jelas bukan yang diharapkan rakyat.
Harapannya, siapa pun yang ingin merambah panggung politik perlu mempersiapkan diri sebaik-baiknya, sebagaimana seorang aktor sejati mempersiapkan perannya di panggung seni, dengan penghayatan, kedalaman, dan kesungguhan.
Dalam konteks ini, saya teringat senior kita, Daeng Sophan Sophiaan. Ia adalah aktor dan sutradara yang juga sempat tampil di panggung parlemen karena kompetensinya. Namun, di tengah perjalanan politiknya, ia memilih menarik diri karena memegang teguh integritas dan prinsip nuraninya.