Alumni FH UMI Jabodetabek Harapkan Penanganan Terorisme Libatkan TNI

0
744
- Advertisement -


PINISI.co.id– Paguyuban Alumni FH UMI Jabodetabek berharap dalam penanganan aksi terorisme perlu melibatkan secara aktif unsur TNI dan semua komponen terkait. Terorisme dianggap musuh bersama yang mengancam kedaulatan, keamanan dan bangsa.

Hal itu mengemuka dalam seminar nasional secara virtual bertema Penanganan Terorisme dalam Perspektif Hukum, HAM, Keamanan Nasional dan Internasional yang digelar Paguyuban Alumni FH UMI Jabodetabek di Hotel Sultan, Jakarta (31/8/2020).

Hadir Dr. H.M. Aziz Syamsuddin, S.E., S.H., M.A.F., M.H. (Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Bidang Politik dan Keamanan) sebagai Keynote Speaker dan narasumber Mr. Alexandre Faite, (Head of Regional Delegation to Indonesia and Timor Leste International Committee Honour the Read Croos (ICRC)), Dr. Connie Rahakundini Bakrie (pengamat pertahanan dan militer), Mayor Jenderal TNI (Purn.) Supiadin Aries Saputra (anggota DPR RI periode 2014-2019), Ridlwan Habib (Direktur The Indonesia Intelligence Institute), dan Dr. Kusnanto Anggoro dari Universitas Indonesia dan beberapa penanggap diantaranya Prof. Dr. H. La Ode Husen, SH. MH. (Wakil Rektor III UMI), Wensuslaus Kapo, S.H. (pemerhati HAM & HHI), Dr. Agus Brotosusilo, SH, MH. (dosen FH – UI) dan Rakhmad Sujono, SH, MH. (praktisi hukum).

Juga tamu undangan dari perwakilan Panglima TNI, Densus 88 Polri, KSAL, KSAU dan berbagai instansi.
Berbagai gagasan muncul terkait penanganan aksi terorisme yang membahayakan ideologi negara, kedaulatan, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa. Maka diperlukan pelibatan semua unsur terkait termasuk TNI. 

Menurut Dr. Connie Rahakundini Bakrie, problematik pemberantasan terorisme di Indonesia pasca lahirnya UU no 15 Tahun 2003 menunjukkan bahwa pendekatan antiterorisme melalui peran Densus 88 belum dapat memberikan efek jera bagi kelompok teroris dan kaum radikal di Indonesia. Hal itu menunjukkan besarnya doktrin jihad dan motif ideologis dibalik konsolidasi, jaringan dan aksi-aksi terorisme. “Sementara, kebijakan deradikalisasi baik yang dilakukan BNPT maupun kontra radikalisasi Densus 88 masih kurang “bergigi” untuk menghadapi kekuatan terorisme di Indonesia,” kata Connie.

- Advertisement -

Dikemukakan Connie, perbedaan latar dan motif terorisme di Indonesia dengan negara lain adalah bahwa kelompok terorisme di Indonesia memiliki basis ideologi yang kuat dan bertemu dengan kondisi ekonomi, sosial, korupsi, dan pendidikan masyarakatnya yang masih lemah.

“Lahirnya BNPT menyempurnakan kelemahan peran negara dalam penanggulangan terorisme. BNPT sebagai lembaga yang membuat kebijakan nasional penanggulangan terorisme, mengefektifkan koordinasi dan penggunaan lembaga lain di luar Polri, seperti TNI beserta pasukan anti teror lintas matra di TNI, AL, AU dan AD,” katanya.

Mereka, kata Conne, telah lama memiliki Badan Anti Teror, Imigrasi, Kemgadri, Bakamla dan K/L terkait turut mengambil bagian dalam deradikalisasi dan pemberantasan terorisme. Penilaian tentang ancaman teroris, radikalis , separatis dapat didasarkan pada berbagai informasi, termasuk tingkat dan sifat aktivitas mereka dibandingkan dengan rangkaian peristiwa serangan sebelumnya.

“Intelejen harus dapat dilakukan di semua lini dan itu berhubungan erat dengan kemampuan teritorial TNI untuk mengukur kemampuan teroris dan metode yang dapat mereka gunakan berdasarkan serangan sebelumnya termasuk kemampuan untuk menganalis kala potensi serangan dan niat teroris,” lanjutnya.

Mayjen (Purn) Supiadin Aries Putra, berpendapat, keterlibatan militer dalam penanggulangan terorisme adalah sesuatu yang normal. Di Indonesia sendiri sepanjang sejarah penanggulangan terorisme di Indonesia TNI telah memainkan peranan yang penting, diantaranya operasi pembebasan sandera Pesawat Garuda DC-9 “Woyla” pada 1981 di  Bandara Don Muang Bangkok Thailand dan Operasi pembebasan tim ekspedisi Lorentz 95 yang disanderan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Mapenduma Papua pada 1996.

“Adapun peran TNI dalam mengatasi terorisme juga secara umum sudah diatur dalam Pasal 7 Undang Undang No 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Berbicara masalah pertahanan dan keamanan negara maka itu tidak terlepas dari peran TNI sesuai dengan tanggung jawab yang dibebankan negara kepada TNI.

Hal ini juga sesuai yang dikemukakan Ridlwan Habib, bahwa peran TNI mencegah ancaman terorisme bertujuan membuat niat jahat kelompok pro terorisme menjadi nol atau mengurungkan niatnya yang dilakukan dengan menciptakan efek gentar.

“Membuat situasi sosial masyarakat tidak mendukung terjadinya terorisme yang dilakukan dengan penggalangan territorial dan mencegah kelompok teror punya kapabilitas melakukan serangan dengan cara dengan operasi intelijen.

Ridlwan Habib menegaskan “Kita tidak bisa mengaitkan terorisme dengan agama tertentu, sebab teroris lahir dari sekelompok kecil dan tidak bisa mengaitkan dengan agama. “Kita tidak bisa berbicara tentang teroris secara stereotip dengan agama, pihak pemerintah harus inline dalam hal pencegahan proses transformasi radikal di Indonesia,” katanya.

Dr. Kusnanto Anggoro, menilai terorisme merupakan ancaman luar biasa yang dapat dihadapi dengan tindakan luar biasa. Sebagian masyarakat dan stake holders menginginkan pelibatan TNI karena TNI memiliki kemampuan lebih dari sekedar memadai,” tegasnya.  

Terakhir Mr. Alexandre Faite, dalam penanganan terorisme yang dilakukan oleh negara-negara merupakan diskresi negara untuk memilih tindakan penanganan terorisme selama  sejalan dengan HAM, Hukum Humaniter dan rezim hukum internasional yang terkait. [Man]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here