Kolom Hafid Abbas
Mantan Ketua Komnas HAM RI
Akhir-akhir ini di tengah hiruk pikuknya persoalan politik menjelang Pemilu 2024, muncul pula gerakan kembali ke UUD 1945 versi sebelum amandemen yang dimotori oleh DPD RI, dengan dukungan masyarakat luas, termasuk Wakil Presiden RI ke-6, Tri Sutrisno, sejumlah tokoh dan organisasi keagamaan dan dunia akademik. Alasannya, dengan UUD 1945 versi amandemen, sejak 2002, Indonesia telah dikelola tanpa arah yang jelas dan bahkan dalam satu dekade terakhir ini keadaannya semakin memprihatinkan.
Atas realitas ini menarik ditelaah pemikiran Presiden Soekarno pada saat memberikan kuliah umumnya di hadapan para mahasiswa dan dosen di UGM pada 21 Februari 1959, yang mengungkapkan satu analog yang amat menarik. Pada saat itu, mengawali kuliah umumnya, Bung Karno mengomentari cara ananda Lina, mahasiswa UGM, yang baru saja selesai memimpin lagu Indonesia Raya. Kepemimpinan Lina itu dianalogikan oleh Bung Kano bagaimana membangun Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Dikemukakan: “Di dalam penyelenggaraan masyarakat adil dan makmur semua memberikan tenaganya. Insinyur-insinyur memberi tenaganya, dokter-dokter memberi tenaganya, tukang-tukang gerobak memberi tenaganya, ahli-ahli ekonomi memberi tenaganya, semua memberi tenaganya. Bercorak macam, tetapi toh menjadi satu harmoni, menyusun satu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Tadi juga demikian, macam-macam suara saya dengar. Tetapi di bawah pimpinan ananda Lina, bukan main merdunya. Saya dengar ada suara bas; saya dengar ada suara laki-laki tetapi sopraan, seperti burung sikatan suara itu. Saya mendengar ada suara yang gemetar, ada suara yang betul-betul bergelora, tetapi semuanya bersama-sama memperdengarkan satu lagu “Indonesia Raya” yang membangkitkan keharuan hati”
Kembali kepada Lina, Bung Karno menuturkan: “Meskipun bermacam-macam alat, tetapi oleh karena ada pimpinan, pertama pimpinan daripada satu lembaran kertas, — apa namanya itu noot, bahasa Indonesianya not.
Pola pembangunan yang dibuat oleh Dewan Perangcang Nasional ini, itulah kertas notnya. Penyelenggara dari-pada pola ini, masyarakat ini tadi, yang terutama sekali terdiri daripada tenaga-tenaga fungsionil, menyelenggarakan pola ini bersama-sama di dalam satu irama yang merdu sehingga terselenggaralah masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila …”
Kertas not sebagai blueprint pembangunan bangsa dan negara menuju masyarakat yang dicita-citakan, di era kepemimpinan Presiden Soeharto, wujudnya adalah GBHN yang dipersiapkan oleh MPR. Namun dalam masa pasca amendemen UUD 1945 pada 2002, Indonesia tidak lagi mengenal GBHN. Presiden dan Wakil Presiden terpilih bukan lagi mandataris MPR, mereka tidak lagi bertanggungjawab kepada MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara.
Mereka tidak lagi terikat oleh satu panduan yang harus dipatuhi. Akibatnya, negara kelihatannya telah dikelola secara ugal-ugalan. Tidak salah jika Gus Mus melukiskan keadaan negeri ini dengan puisi singkatnya: “Ada sirup rasa jeruk dan durian, ada keripik rasa keju dan ikan. Ada republik rasa kerajaan.”
Sejak amandemen terakhir UUD 1945 pada 2022, terutama dalam satu dekade terakhir, terlihat dua dampak fatal yang telah mengancam eksistensi NKRI.
Dampak pertama, Indonesia kini menjadi negara demokrasi liberal yang didikte oleh Hukum Darwin, “survival of the fittest”, yang kuatlah yang menang yang memangsa yang lemah. Dalam publikasinya Indonesia’s Rising Divide (2016), Bank Dunia menunjukkan empat realitas yang menyebabkan Indonesia akan bubar atau terdisinegrasi, yakni:
Pertama, adanya diskriminasi, ketidaksamaam pemberian kesempatan kepada setiap warga negara untuk mengembangkan kemapuannya untuk meningkatkan kesejahteraannya. Bayangkan hanya empat orang Indonesia memiliki kekayaan yang hampir sama dengan kekayaan hampir setengah penduduk Indonesia.
Bahkan terdapat sejumlah provinsi yang tidak lagi memiliki sejengkal pun tanah karena bila dijumlahkan izin penguasaan tanah yang diberikan kepada para oligarki terlihat sudah lebih luas dari seluruh dataran provinsi itu, lihat misalnya: Sulawei Tenggara, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur dan sejumlah provinsi lainnya (Kompas, 21/05/2018).
Kedua, kelompok masyarakat miskin semakin tertinggal karena tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk bersaing dengan kelas masyarakat atas di sektor ekonomi modern karena kualitas pendidikannya amat rendah, hnaya terserap di sektor informal yang berupah amat rendah.
Berikutnya, kosentrasi peredaran uang dan modal di negeri ini hanya berputar di beberapa orang atau beberapa perusahaan besar, tidak menetes ke masyarakat miskin.
Keempat, orang miskin yang mayoritas ini tidak memiliki tabungan untuk membiayai pendidikan anak dan keturunannya, dan juga tidak memiliki tabungan untuk biaya kesehatan di hari tuanya.
Dampak kedua, sejak amandemen terakhir UUD 1945 pada 2022, terutama dalam satu dekade terakhir, Indonesia terlihat telah semakin mendekat ke negara berciri sosialis yang dianut oleh negara-negara komunis, seperti China. Bank Indonesia mencatat Utang Luar Ngeri Indonesia ke China per Juli 2023 sudah mencapai USD 396,44 miliar atau sekitar IDR 6.092.64 triliun (kurs USD1=IDR 15.368). Bahkan Said Didu mencatat di angka yang lebih tinggi yakni IDR 8100 triliun (ROMOL.ID, 20/08/2021).
Melalui berbagai kerjasama ekonomi dan keuangan Indonesia dengan China dalam beberapa tahun terakhir ini yang disertai dengan semakin membanjirnya tenaga-tenaga kerja China ke Indonesia membawa berbagai kerawanan baru secara ekonomi, politik, keamanan, sosial budaya dan idiologi. Pengalaman di Amerika Latin dan sejumlah negara di Afrika dalam menjalin kerjasama ekonomi dan keuangan dengan China ternyata telah dijadikan jebakan (debt trap) untuk ekspansi politik dan ekonomi China ke negara-negara itu. Karenanya, Ketua DPD RI mengingatkan pemerintah atas ancaman jebakan ini agar Indonesia tidak bernasib seperti Sri Lanka, Zimbabwe, Nigeria, Uganda, Kenya, Costa Rica. Dst.
Yang amat merisaukan pula adalah fenomena kebangkitan PKI. Presiden Jokowi telah mengeluarkan Kepres Nomor 17/2022 sekaligus permintaan maaf kepada PKI, mengadakan rehabilitasi dan bantuan sosial kepada para penyintas HAM. DPD RI menilai Keppres dan Inpres yang telah dikeluarkan oleh Presiden ini dinilai telah menimbulkan berbagai dampak kenegaraan yang amat berbahaya bagi eksistensi NKRI di masa depan (dpd.go.id, 10/04/2023)
Pancasila dan UUD 1945 versi sebelum amandemen, MPR dengan GBHN-nya, dapat setiap saat meniupkan sempritannya jika Presiden dan Wakil Presiden menakhodai negeri ini dengan berlayar mendekat ke pulau kapitalis liberal atau ke pulau sosialis komunis. Indoensia haruslah tetap konsisten melayari peradabannya dengan Mendayung Antara Dua Karang secara Bebas Aktif.
Semoga DPD RI sebelum pelaksanaan Pemilu pada 14 Februari 2024, dapat meminta komitmen setiap pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029, jika kelak terpilih akan kembali ke UUD 1945 versi sebelum amandemen. Dan, semoga Pemilu dapat terlaksana sesuai asasnya yang tanpa “cawe-cawe” yakni: langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dan hasilnya akan menghadirkan kembali MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara yang akan melaksanakan kedaulatan rakyat sepenuhnya dengan menetapkan GBHN baru 2024-2029 untuk dijalankan oleh Presiden terpilih.