Pallumara, ikan bakar, coto, konro, es pisang ijo, pallubutung, barongko adalah menu andalan
PINISI.co.id- Jangan membayangkan orang Bugis Makassar yang sudah lama menetap di luar negeri serta merta melupakan kebiasaan sehari-hari semasih di kampung. Tidak otomatis mereka menjadi ‘bule’, sebab adat, budaya yang dibawa dari tempat asal sudah mendarah daging di manapun mereka berada.
Contohnya perkara makan. Selera makanan sudah terbentuk sejak lahir, karenanya sulit untuk dikompromikan, lebih-lebih buat lidah orang Bugis Makassar yang terbiasa dengan makanan lokal geniusnya seperti es pisang ijo, barongko, hingga makanan berat seperti pallumara dan konro.
Bagi sejumlah warga Bugis Makassar yang tinggal di luar negeri, menu-menu tradisional dari kampung tetap menjadi hidangan favorit, apalagi saat bulan puasa yang sebentar lagi lewat. Makanan adalah sejarah hidup itu sendiri karena banyak menyimpan kisah dan kenangan dalam setiap sesapannya.
Lihatlah Irwan Tamrin Tantu, meski sejak 1993 tinggal di Houston, dan kini di Washington DC, Amerika Serikat, Irwan tak pernah sedikitpun kehilangan selera dengan kuliner Sulawesi Selatan. Pada buka puasa hari ke 26, pria kelahiran Makassar 16 Maret 1969 ini, menyantap barongko berbungkus daun pisang dan makanan beratnya adalah ikan bakar raca taipa. Kadang pula diganti es pisang ijo, atau pallubutung, dan pamungkasnya adalah sop konro.
“Kalau bikin konro, keluaknya sulit dicari, biasanya dikirim dari Indonesia,” kata Ketua Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) Houston ini.
Tatkala perutnya sudah penuh, pikiran konsultan teknologi perminyakan di negeri Paman Sam ini, melayang ke kampung halamannya di Labbakkang, Pangkep, usai menandaskan ikan bakar berbumbu parappe.
Syukur, istrinya, Baiq Herawaty meski asal Surabaya mampu meracik kudapan kesukaan Irwan seperti songkolo bagadang, jalangkote, pallumara hingga coto makassar. Sementara tiga anaknya yang tumbuh dalam kultur Amerika, lebih doyan makanan Pakistan dan Arab di seling menu Indonesia. Apalagi anak perempuannya pandai memasak rupa-rupa makanan; dari roti, kue hingga burger dan stik.
Hasil buatan berbagai ragam kue dan roti olahan ini dijual kemudian hasilnya kembali ke masjid Indonesia di Washington DC. Kadang ia juga berbagai kue dan roti ke tetangganya yang non Muslim.
Sejak pandemi menjangkiti AS, semua masjid di Wanhington ditutup sehingga Irwan lebih banyak berbuka di rumah.
Berbeda dengan Irwan, Muhammad Furqan yang tinggal di Kyoto, Jepang sudah lebih 20 tahun, nyaris saban hari menyantap nasi dan ikan. Tradisi sehari-hari makan ikan orang Jepang dan suku Bugis Makassar memudahkan Furqan untuk mengombinasikan menu Makassar dan Jepang yang serba ikan.
Bukan hal yang sulit buat pria asal Soppeng ini, mengolah masakan pallumara. Istrinya yang orang Jepang sudah ahli pula memasak pallumara dan segala ikan bakar. “Di supermarket, tak sulit kita mencari ikan dan bumbu seperti yang ada di pasar-pasar Indonesia,” kata Furqan yang memiliki status permanent resident di negeri Sakura itu.
Kepiawaian memasak Furqan diwarisi dari ibunya yang bisa meramu 30 macam cobe-cobe, berikut nasu lekku, atau sayur tettu. Tak ayal, sang istri akhirnya doyan dengan menu Makassar yang disuguhkan Furqan. Teristimewa lagi, istrinya pun ahli memasak pallumara dan membuat onde-onde.
Hal sama dialami Taufik Surubeng yang sudah tiga tahun tinggal di Brisbane, negara bagian Queensland, Australia. Taufik yang memang hobi memasak, hanya sesekali mengudap burger atau stik. Praktis Taufik lebih banyak mengolah makanan sendiri buat istri dan seorang putrinya. “Di Brisbane, ada toko Asia yang menjual kebutuhan pokok hingga bumbu kering. Ada mi istan, kopi, santan, dan kunyit. Berbagai jenis ikan dan asam juga tersedia. Modalnya orang Bugis kan cuma kunyit dan asam. Sudah jadi mi itu pallumara,” kata Taufik, kepada PINISI.co.id dalam pesan WhatsApp.
Masakan pallumara berbahan ikan bandeng itu rupanya digemari juga oleh teman-teman Indonesianya di sana. “Konro saya masak selagi musim dingin seperti saat ini. Sangat cocok menghangatkan tubuh saat berbuka puasa,” kata pria asal Barru ini.
Praktis, menu buka puasa Taufik lebih banyak makanan Makassar seperti ikan bakar atau pallumara, disela makanan Asia lainnya. “Tapi tidak ada yang kalah kalau ikan bakar sama cobe-cobe,’ ujar Taufik terkekeh. Timpalannya sayur bening. Klop sudah.
Lain lagi Syamsurijal Usman, Counselor Fungsi Politik di KBRI Hongaria, ini tak pernah menyoal soal makan memakan. Di Budapest, tempat pria asal Wajo ini berdinas, tidak perlu repot-repot sebab sejumlah orang Bugis di sana pintar memasak makanan kampung.
“Ada yang menjadi staf KBRI Hongaria, namanya Pak Anis. Istrinya andal memasak makanan Bugis. Dari sayur bening, ikan bakar sama cobe-cobe’na, atau coto dan konro, pallubutung dan barongko,” kata Syamsurijal yang sebagian hidupnya dihabiskan luar negeri.
Lebih dari itu, menurut Rijal, begitu ia disapa, — Dubes RI untuk Hongaria, Dimas Wahab bersama istrinya adalah pencinta kuliner. “Pak Dubes selalu memberdayakan orang-orang yang pintar memasak, termasuk masakan Makassar. Saya tinggal mencicipi saja,” kata Rijal sumringah.
Demikian pula sewaktu Rijal bertugas di Jerman dan Belanda, hampir selalu ketemu dengan orang-orang Makassar yang tinggal di sana, sehingga menemukan makanan ala kampung seperti coto dan konro, selalu menjadi pengobat rindu akan kampung halaman nun ribuan kilometer jauhnya.
[Alif we Onggang]