PINISI.co.id- Andai saya punya museum pribadi, mungkin beberapa stel seragam ASN itu sudah saya masukkan ke sana. Menjadi kenangan sekaligus saksi bisu tentang setiap tapak karya yang pernah saya jejakkan. Semua kenangan selama 22 tahun 4 bulan seperti tiba-tiba datang berputar di atas kepala. Silih berganti membuka kenangan.
Masih teringat suara ibu yang sedikit memaksa agar saya tidak menjadi pengusaha. Lebih baik menjadi ASN saja katanya. Soalnya orang di kampung baru dianggap kerja kalau sudah jadi ASN. Ternyata berawal dari itu, saya menjadi ASN yang mengabdi lebih dari 20 tahun. Rentang karier yang cukup panjang.
Bila kehidupan ini laksana suatu misi penerbangan, maka beberapa kali saya mengalami turbulensi. Guncangannya cukup kuat, tapi tidak sampai harus jatuh terjerembab. Bersyukur saya masih bisa bertahan. Beruntung selalu ada dua sayap yang bisa membuatku bertahan. Sayap keberanian dan sayap inovasi di sisi yang lain.
Guncangan hebat pernah terjadi. Bukan sekali, berkali-kali. Ketika orang tua tak punya cukup dana, membiayai sembilan anaknya untuk sekolah. Maka mau tidak mau harus mencari penghasilan sendiri. Dan saya percaya, di balik kesulitan ada kemudahan-kemudahan. Ya, satu kesulitan Allah bayar dengan banyak kemudahan. Dari keterbatasan dana itu saya mencoba mengasah kemampuan bisnis. Dari situlah saya banyak belajar untuk menjadi seorang enterpreneur. Dan dari situ pula awal saya jatuh cinta, pada seorang dokter gigi yang sekarang telah menjadi permaisuri hati. Istri yang selalu di sisi.
Pernah juga di satu waktu, saya harus mengubah arah haluan. Ke arah yang sebenarnya bukan spesialisasi saya. Bertahun-tahun lamanya saya belajar tentang pertanian dan hal-hal yang berhubungan dengan lingkungan. Justru diminta untuk memimpin Dinas Pendidikan Kota Makassar. Banyak yang meragukan? Pasti. Maka ini menjadi guncangan tersendiri. Berada di tengah orang-orang yang meragu. Tapi saya harus tetap terbang, tetap kokoh di atas dua sayap itu: berani dan inovatif. Berani mengambil langkah yang tidak biasa. Juga memberi inovasi yang mungkin belum pernah ada sebelumnya. Saya datang melihat masalah, lalu tampil memberi solusi.
Dengan hak kekuasaan yang saya punya, beberapa SMP berdiri. Tanpa mendirikan bangunan fisik, tanpa dana dari Pemerintah Daerah. Bagaimana caranya? Harus berani dan inovatif.
Saat melihat banyak nelayan yang masih hidup susah, sementara katanya mereka tinggal di negeri bahari, sontak membuat hati saya teriris perih. Kenapa bisa begitu? Dan pada saat itu saya sedang memimpin Dinas yang paling bertanggung jawab terhadap nasib mereka. Ini guncangan batin luar biasa yang saya rasakan. Saya punya tanggung jawab penuh kepada mereka. Di dunia, bahkan sampai di akhirat nanti. Kalau di dunia, masih mudah mengadakan rekayasa. Namun kalau di akhirat nanti? Tidak ada yang bisa dimanipulasi. Makanya saya heran, kalau ada elit pemerintahan yang masih nyaman hidup enak, sementara rakyatnya perih menderita.
Saya menatap surat keputusan pengabulan pensiun dini itu lekat-lekat. Mata sembab. Sedih? Kehilangan profesi yang masih banyak diburu oleh orang di negeri ini? Tidak juga. Pensiun dini ini adalah keputusan sendiri. Justru yang membuat saya sedih karena merasa belum bermaksimal diri. Selama 22 tahun menjadi ASN, sepertinya belum banyak “legacy” yang bisa ditinggalkan. Memang ada beberapa jejak karya, namun sebenarnya saya ingin melakukan yang lebih dari itu.
Menjadi enterpreneur, menjadi ASN sejatinya adalah jalan untuk berkarya dan mengabdi. ASN kenal kata pensiun, tapi untuk mengabdi bagi negeri, tidak ada kata berhenti. Maka sejak hari ini, saya berusaha membulatkan tekad. Menyempurnakan niat. Saya ingin mengabdi lewat jalan yang lain lagi. Mengabdi untuk Kota Makassar. Masuk di lingkaran kekuasaan. Karena perubahan perlu kekuatan dan kekuasaan.
Bismillah, rekam jejak sudah saya tinggalkan. Sekarang silakan rakyat Makassar menilai dan takdir Allah bekerja. Buku A.R.Bando, Dua Sayap, Berani dan Inovatif, segera hadir disunting tokoh literasi Sulawesi Selatan, Bachtiar Adnan Kusuma. [Fan]