PINISI.co.id- Aktivis disabilitas Ariani Soekanwo terus mengintensifkan upaya advokasi pendataan penyandang disabilitas di enam provinsi di Pulau Jawa. Upaya ini dinilai penting untuk memastikan pemenuhan hak-hak sipil penyandang disabilitas yang selama ini kerap terhambat akibat ketidakakuratan dan ketidaksinkronan data antarinstansi pemerintah.
Ariani, yang telah memulai kiprahnya sebagai aktivis disabilitas sejak masih mahasiswa, menyoroti persoalan mendasar dalam sistem administrasi kependudukan. Ia menyebutkan bahwa hingga kini masih ditemukan ketidaksinkronan data penyandang disabilitas antara Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kondisi ini berdampak langsung pada akses penyandang disabilitas terhadap berbagai hak konstitusional, termasuk hak memilih dalam pemilu serta akses terhadap layanan publik berbasis data kependudukan.
“Data yang tidak sinkron membuat penyandang disabilitas sering kali tidak terakomodasi dalam kebijakan dan pelayanan publik. Padahal, data adalah pintu masuk utama negara untuk menjamin hak warganya,” ujar Ariani dalam salah satu kegiatan pendampingan pendataan.
Selain persoalan sinkronisasi data, Ariani juga mengungkap masih banyaknya penyandang disabilitas yang belum tercatat secara administratif sebagai warga negara dengan mencantumkan status disabilitas pada Kartu Tanda Penduduk (KTP). Menurutnya, persoalan ini dipengaruhi oleh stigma sosial yang masih kuat di masyarakat, sehingga sebagian penyandang disabilitas memilih menyembunyikan identitas disabilitasnya.
Padahal, pencantuman status disabilitas dalam dokumen kependudukan menjadi dasar penting bagi negara untuk menyediakan layanan yang sesuai kebutuhan. “Tanpa pendataan yang jelas, penyandang disabilitas berisiko terus berada di luar sistem perlindungan dan pelayanan negara,” jelasnya.
Dalam kegiatan pemutakhiran dan perekaman data penyandang disabilitas yang digelar di Kantor Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur, Ariani secara langsung memberikan edukasi dan motivasi kepada para penyandang disabilitas dan keluarga mereka. Dengan penuh semangat, ia menghimbau agar tidak ada lagi rasa malu atau takut untuk mendaftarkan diri sebagai penyandang disabilitas.
Ia menegaskan bahwa saat ini negara telah memiliki payung hukum yang kuat melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Undang-undang tersebut menjamin kesetaraan hak, perlindungan dari diskriminasi, serta akses yang adil terhadap layanan publik. “Status disabilitas bukan aib, melainkan identitas yang dilindungi undang-undang,” tegas Ariani di hadapan peserta kegiatan.
Ariani juga menjelaskan bahwa pencatatan disabilitas yang valid akan memberikan manfaat konkret bagi penyandang disabilitas. Di Jakarta, misalnya, penyandang disabilitas berhak memperoleh potongan harga transportasi publik seperti busway dan kereta api, serta akses masuk gratis ke sejumlah tempat rekreasi. Namun, manfaat tersebut hanya dapat dinikmati apabila data kependudukan tercatat dengan benar.
Menurut Ariani, proses pendataan harus dilakukan dengan pendekatan yang inklusif dan manusiawi. Ia mendorong agar aparatur pemerintah memastikan aksesibilitas layanan perekaman data, baik dari sisi fasilitas fisik, komunikasi, maupun sikap petugas terhadap penyandang disabilitas.
Konsistensi Ariani dalam mengadvokasi isu data disabilitas menunjukkan bahwa perjuangan pemenuhan hak penyandang disabilitas tidak hanya berkutat pada bantuan sosial, tetapi juga pada pengakuan negara melalui sistem administrasi yang akurat dan berpihak. Melalui kerja advokasi lintas daerah dan pendampingan langsung di lapangan, ia berharap tidak ada lagi penyandang disabilitas yang terpinggirkan hanya karena tidak tercatat dalam data resmi negara.
Pendataan yang valid dan sinkron, menurut Ariani, merupakan langkah awal menuju kebijakan yang adil dan inklusif. “Jika datanya benar, maka kebijakannya bisa tepat sasaran. Dan ketika negara hadir secara utuh, martabat penyandang disabilitas pun diakui,” pungkasnya. (Cia)













