Catatan Ilham Bintang
Menyusul gaduh wacana penundaan Pemilu 2024, muncul kembali desakan kepada Presiden Jokowi untuk bicara (lagi) lebih tegas mengenai soal itu. Terutama karena wacana penundaan Pemilu 2024 ataupun perpanjangan masa jabatan presiden priode ini bersangkutan erat dengan dirinya. Yang melontarkan wacana itu “orang dalam” istana : “all the president’s men”. Oleh karena posisinya sebagai menteri dan pimpinan partai koalisi, bisa timbul prasangka itu disuruh Jokowi.
Sekurangnya, seperti dibiarkan saja para pembantunya itu memberontak terhadap konstitusi. Mulai dari Menteri Investasi Bahlil Lahadalia dua bulan lalu, yang katanya, meneruskan aspirasi para pengusaha. Ini padam, muncul Airlangga Hartarto (Golkar) Zulkifli Hasan ( PAN) dan Muhaimin Iskandar ( PKB) pada “gelombang” yang sama. Itu yang menjadi keberatan banyak pihak. Para elit politik itu seakan lupa Indonesia negara konstitusional. Negara yang membatasi kekuasaan pemerintahannya secara berimbang antara kepentingan penyelenggara negara dan warga negaranya.
Konstitusi memiliki fungsi seperti yang pernah dirinci Profesor Jimly Asshiddiqie, guru besar hukum tata negara, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi. Pertama, penentu dan pembatas kekuasaan organ negara. Kedua, pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara. Ketiga, pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara dengan warga
negara.
Asal Kata Konstitusi
Istilah konstitusi sendiri menurut Wirjono Prodjodikoro (mantan Ketua Mahkamah Agung periode 1952-1966), berasal dari kata kerja “constituer” dalam bahasa Perancis. Artinya : membentuk. Jadi, konstitusi berarti pembentukan. Dalam hal ini yang dibentuk adalah suatu negara maka konstitusi mengandung permulaan dari segala macam peraturan pokok mengenai sendi-sendi pertama untuk menegakkan bangunan besar yang bernama negara. Istilah konstitusi sebenarnya tidak dipergunakan untuk menunjuk kepada satu pengertian saja. Dalam praktik, istilah konstitusi sering digunakan dalam beberapa pengertian.
Di Indonesia selain dikenal istilah konstitusi juga dikenal istilah undang-undang dasar. Demikian juga di Belanda, disamping dikenal istilah “groundwet” (undang-undang dasar) dikenal pula istilah “constitutie”.
Makar Terhadap Pasal 7 UU 1945
Masa jabatan presiden jelas diatur dalam UUD 1945 Pasal 7. Dalam aturan tersebut, disebutkan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Artinya, masa jabatan presiden ditetapkan maksimal dua priode.
UU 1945 merupakan “kitab suci ” negara yang wajib dipatuhi lebih- lebih oleh pejabat negara. Wacana Airlangga Hartarto, Zulkifli Hasan, dan Muhaimin Iskandar dapat dianggap perbuatan percobaan makar terhadap konstitusi negara. Dengan modus sama, ketiganya ” mencatut” atas nama rakyat konstituennya mendistribusikan wacana itu. Padahal, semestinya menjadi kewajiban para penyelenggara negara itu menerangkan pasal 7 UU 45 kepada rakyat yang bertanya maupun mengusulkan Jokowi lanjut priode ketiga. Kalau itu benar adanya.
Namun, ketiganya malah mempertunjukkan secara terang benderang ketiadaan “moral clarity “, menurut istilah pengamat politik Rocky Gerung. Moral Clarity (kejernihan moral)
dinilai Rocky hilang pada penyelenggara negara, termasuk surveyor atau pengusaha polling dan sebagian pers. Itu disampaikan Rocky ketika berbicara sebagai penutup di Indonesia Lawyers Club (ILC), Jumat ( 25/2) malam. Dipandu wartawan senior Karni Ilyas, talkshow itu mengangkat tema ” Harga- Harga Naik Tapi Rakyat Puas Terhadap Jokowi – Ma’ruf Amin”. Menampilkan pembicara, antara lain, ekonom Rizal Ramli, politisi PDI-P Arya Bima, dan surveyor Burhanuddin Muchtadi.
Rocky mengecam para politisi yang tidak malu, mau menebeng ( menumpang) perpanjangan waktu masa jabatan tanpa dipilih oleh rakyat. Dia menyoroti Burhan Muchtadi yang bersandar hanya pada kata responden tanpa disertai moral clarity. “Konstitusi sudah membatasi, ngapain lagi menanyakan kemungkinan mengubah itu pada rakyat. Pasal 7 itu mestinya disikapi sama dengan NKRI, harga mati,” tandas Rocky.
Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D. Guru Besar Hukum Tata Negara Senior Partner INTEGRITY Law Firm menganggap wacana penundaan Pemilu 2024 adalah pelecehan konstitusi. “Kalaupun prosedur perubahan konstitusi ditempuh, perubahan yang dilakukan dengan melanggar prinsip konstitusionalisme yang pondasi dasarnya adalah pembatasan kekuasaan, adalah batal demi konstitusi itu sendiri (constitutionally invalid), “ kata dia. Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM itu juga meminta Presiden Jokowi segera bicara menyatakan sikapnya secara tegas.
“ Seharusnya Presiden Jokowi, sebagai Kepala Negara segera meluruskan pelanggaran serius ini. Itu kalau Beliau serius dengan sumpah jabatannya di atas Al Qur’an untuk menjalankan konstitusi dengan selurus-lurusnya, dan jika Beliau tidak ingin dianggap sebagai bagian dari pelaku yang justru mengorkestrasi pelanggaran konstitusi bernegara tersebut, “ tambahnya.
Presiden Jokowi sendiri sebenarnya sudah beberapa kali menyatakan menolak wacana priode ketiga jabatan presiden. Dia bahkan mencurigai wacana penundaan Pemilu 2024 itu hendak mencelakakannya. Jokowi pasti tahu bagaimana dulu Presiden Soeharto ” diumbang” para pembantunya untuk terus saja menjabat presiden. Dengan memanipulasi dan mencatut nama rakyat. Jokowi tentu menjadikan juga pelajaran peristiwa kudeta yang dilancarkan pasukan elit tentara Guinea terhadap pemerintahan Presiden Alpha Conde, 5 September 2021. Hanya setahun setelah Alpha Conde terpilih untuk priode ketiga ia bersama politisi mengubah konstitusi yang membatasi jabatan presiden dua kali di negaranya.
Tidak ada salahnya Presiden Jokowi belajar dari pengalaman Presiden Gusdur yang “dilengserkan” dalam Sidang Istimewa MPR -RI 2001 setelah memberlakukan Dekrit Presiden yang membubarkan parlemen. Sekadar mengingatkan dekrit itu berisi Maklumat Presiden Republik Indonesia 23 Juli 2001 untuk membekukan MPR dan DPR, dan mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, dan membekukan Partai Golkar.
Ayo Pak Jokowi perlu bicara (lagi) : tegaskan sikap berdiri tegak lurus menjunjung konstitusi. Supaya kegaduhan di tengah masyarakat segera padam. Presiden perlu fokus menangani kasus Covid-19 yang sudah dua tahun ini mendera rakyat.