Cerpen Iphat Chan
Umurku dua puluh lima saat ada niat yang kuat di hati untuk menikah. Saat itu, Ikhsan, kawan satu tim dalam proyek saluran Irigasi di Tapan, ingin menikahiku. Kami sering dalam satu perjalanan bersama dengan mobil kantor dari Padang ke Painan. Aku selalu duduk di depan, sebagai satu-satunya perempuan dalam proyek tersebut.
Begitu juga ketika ada proyek jalan di Kapur IX 50 kota. Anggota tim teknis telah berganti, kecuali aku dan Ikhsan, sebagai orang kepercayaan Pak Mulyadi.
“Kalian cocok, tunggu apa lagi? Di kantor ini tidak ada larangan menikah satu tim kerja kok.” Pak Mulyadi menyemangati ku dan Ikhsan.
Aku tipe perempuan yang tidak feminim, dari kecil memang banyak berkawan dengan anak lelaki, dan kebiasaan itu berlanjut sampai dewasa, sampai kuliah pun yang kupilih adalah jurusan yang lebih banyak anak lelaki. Aku tidak pernah mengenal pacaran, meskipun tentu pernah jatuh cinta.
Dengan Ikhsan, tidak ada debar khusus, tidak ada aliran listrik di hatiku saat kami bersama. Tapi cara dia memperlakukanku dengan hormat dan tidak ada guyonan kasar, itu sangat kuhargai. Kepeduliannya juga tinggi saat Abah dirawat di RS, begitu juga saat Resti adik bungsuku butuh biaya kuliah. Saat itu belum gajian dan aku tidak punya uang. Tanpa setahuku, Ikhsan mengirimi Resti uang. Dia pinjam HP- ku usai Resti menelpon, rupanya saat itu dia menyalin nomor HP Resti.
Banyak kebaikan-kebaikan Ikhsan terhadap diriku juga tim proyek kami. Latar belakang kehidupan Ikhsan, yang yatim sedari kecil, telah membentuk pribadinya, menjadi orang yang selalu berempati pada kesusahan orang lain.
“Saya sudah puas miskin, Restu. Saya juga puas menerima uluran kebaikan dari siapa saja. Makanya kini, saat punya uang, saya juga ingin puas dalam berbagi.” Begitu Ikhsan bercerita saat kutanya, kenapa dia mudah saja membantu orang, bahkan orang yang baru dikenal.
Hari itu, hari Sabtu, pulang dari proyek jalan di Kapur IX. Kami sempat berfoto di kelok sembilan, meskipun dengan memakai baju seragam proyek.
“Kita foto berdua, yuk. Sekali ini saja,” pinta Ikhsan.
Aku diam, aneh rasanya, baru tadi pagi saat minum kopi di warung Amai Limah, dia mengatakan akan meminangku, kini dia minta foto berdua dan bilang sekali saja.
“Ndak ah … Kalau hanya sekali, jadi pas nikah besok aku foto sama siapa ?” Aku mencoba bergurau menghilangkan rasa was-was yang menyelimuti hatiku.
Ada rasa grogi yang tiba-tiba kurasakan saat berdiri di sisi Ikhsan. Teman -teman satu tim mencandaiku saat wajahku terasa panas.
“Maco …. Maco …. Mano Maco?” Pak Taufani mencandaiku. (Ikan asin, ikan asin, mana ikan asin?) Maksudnya, karena pipiku sudah merah seperti bara, akan bagus kalau disediakan ikan asin. Menu ikan asin yang dibakar merupakan kesukaan hampir seluruh masyarakat Minang.
Dari kelok sembilan sampai ke Bukittinggi, aku hanya diam, dan sibuk memandang keluar jendela mobil. Menikmati alam nan sejuk dalam lingkung bukit barisan. Hamparan sawah dan air yang mengalir pada parit sepanjang jalan membuat suasana hati semakin damai tapi bergemuruh tak menentu. Mentari bersinar cerah, secerah hatiku, dan awan sesekali melintasi kami, memberi rasa nyaman dalam syukur yang tiada henti kuucap di dalam hati.
*******
Di Bukittinggi, kami berpisah dengan tim. Ikhsan mengajakku belanja di pasar konveksi Aur Kuning. Pasar yang menyatu dengan terminal Bus kota Bukittinggi itu, merupakan Tanah Abangnya Pulau Sumatera. Harga kain jauh lebih murah di pasar ini.
Ikhsan mencari bahan dasar celana. Aku mengantarnya ke Toko Remaja, toko yang banyak menyediakan dasar celana dan jas.
“Ini untuk acara nikah kita,” ucap Ikhsan saat kami keluar dari toko.
Ketika akan kembali ke parkiran di jalan Bay Pas, Ikhsan mengajakku pada toko yang menjual kain borkat di pinggir jalan. Kupikir Ikhsan akan membeli kain dasar untuk Ibunya.
“Kamu suka yang mana? Mau Ndak yang warna krem? Biar serasi dengan dasar yang tadi?”
“Bukannya untuk Ibuk?” tanyaku ragu.
“Untuk persiapan kita.”
“Tapi kamu belum bicara ke Abah.” Aku sedikit protes.
“Kan habis ini kita ke rumah kamu,” jawabnya dengan santai.
Ada desiran halus yang kurasakan saat memilih kain. Ikhsan yang biasanya tampak biasa, saat itu tampak lebih bersih wajahnya, lebih tampan dari biasanya. Aku jadi hilang keberanian untuk mengangkat wajah saat dia menawarkan beberapa kain yang berwarna krem.
“Aku mau, yang sedikit bunga saja, nanti biar kupasangi payet,” pintaku.
Ikhsan membayarkan dasar borkat tersebut.
Dari pasar Aur Kuning, kami langsung ke rumahku di Ladang Laweh, tak jauh dari pusat kota Bukittinggi.
Ikhsan bicara pada Abah, Alhamdulillah, Abah langsung setuju. Padahal Abah biasanya selalu menolak setiap ada kawan yang ingin dekat denganku.
Hari itu, Ikhsan memintaku untuk ambil cuti kerja. Kami merencanakan acara lamaran adat dan nikah tidak berjarak terlalu lama.
“Satu bulan rasanya cukup, Bah. Ikhsan takkan adakan acara besar, di Malalo, cukup acara mendoa “Sorang Malin” saja, Bah. Jika Abah dan Restu berkenan, nanti undangan acaranya di sini saja, biar Ikhsan tambah nanti uang untuk pesanan katering.”
Sebuah rundingan yang semua terasa sangat dipermudah dan dimudahkan oleh Ikhsan. Aku jadi semakin mengaguminya.
Siang itu kami ke Pasar Atas Bukittinggi, ke tempat langganan Abah menjahit jas beliau sejak muda. Ada penjahit keturunan India yang jadi langganan Abah. Aku pun langsung menjahit baju untuk acara nikah, sekalian juga beli Payet, benang dan beberapa jarum. Kami jalan bertiga dengan Abah siang itu. Seperangkat seprai, selimut, serta kain gorden untuk riasan kamar kami beli sorenya di Aur Kuning, sebelum Ikhsan mengantarku dan Abah pulang.
Ada rasa hangat yang menyelimuti hatiku saat mengantar Ikhsan ke gerbang,ketika ia hendak pulang ke rumah Ibunya, ke Malalo. Sebuah perkampungan antara Padang Panjang dan Solok.
Senin pagi, usai Subuh, aku naik travel ke Padang. Ikhsan tidak masuk kerja, kata Pak Lukman, Ikhsan demam. Sesuai saran Ikhsan, aku mengajukan surat permohonan cuti pada Pak Mulyadi. Beliau menyetujui permohonan ku, lagi pula laporan keuangan proyek sudah selesai untuk bulan kemarin.
“Semoga semuanya lancar.” Pak Mulyadi mendoakan rencanaku dan Ikhsan.
Seminggu berlalu, Ikhsan tidak menghubungiku, pesanku pun tidak dibuka. Kuberanikan diri menelpon, tidak diangkat.
Baju jas Ikhsan telah selesai, bajuku pun sudah selesai. Aku membayar baju tersebut. Dadaku terasa ngilu saat menyentuh baju Ikhsan. Ada rasa yang tak bisa kupahami.
Malam itu, aku mulai menjahit manik mutiara dan payet pada baju dasar borkat berwarna krem tersebut. Seminggu aku full menyelesaikan pemasangan manik mutiara dan payet kecil yang bertabur. Baju itu tampak lebih mewah. Paginya, ada laki-laki muda berkumis tipis yang datang mengantar kain Songket Tenunan Pandai Sikek.
“Maaf, tapi saya tidak pernah memesan kain songket,” kataku, saat pemuda itu mengatakan, bertugas mengantarkan pesanan untuk Restu Amelia.
“Yang pesan, kawan Ama, Pak Ikhsan, katanya untuk calon istrinya.” Lelaki muda, yang kurasa masih duduk di bangku SMA itu tersenyum.
Aku membuka kain yang sudah dijahitkan menjadi kain sarung. Kucoba padukan dengan dasar baju borkat, kupilih juga jilbab yang senada. Lama aku mematut diri di depan cermin, sebelum akhirnya timbul niat untuk berselfi ria, dan mengirimkannya pada Ikhsan.
[Uni rancak] begitu yang kubaca, balasan dari nomor Ikhsan.
[Iko siapo? Baa kok dak Ikhsan yang pacik HP?] tanyaku. (Ini siapa? Kenapa bukan Ikhsan yang pegang HP?)
[Iko Mela, Ni. Adiak Uda Ikhsan. Jadi …. Uni alun dapek kaba tentang Uda?] (Ini Mela. Adik Uda Ikhsan, jadi Uni belum dapat kabar tentang Uda?)
Darahku berdesir seketika. Langsung kutelpon nomor Ikhsan, tapi tidak diangkat. Kutemui Abah yang saat itu ada di ruang tamu. Abah hanya diam saat kuceritakan semua hal tentang Ikhsan. Matanya berkaca.
“Besok, Restu izin ke Malalo Abah. Restu mau antar baju Ikhsan, sekalian ingin memastikan, ada apa sebenarnya.”
“Tidak usah! Biar Ibunya yang datang besok.” Abah berlalu masuk kamar.
Aku berpikir, kalimat Abah barusan, apakah Abah sudah bicara dengan keluarga Ikhsan? Lalu kenapa Abah menyebut kata “besok”. Semua teka-teki itu terjawab juga keesokannya. Ibu Ikhsan datang bersama Mela dan Widya. Mereka membawa cincin yang ingin Ikhsan berikan untukku.
“Ini amanah Ikhsan, pakailah dulu, nanti Ibu akan ceritakan tentang Ikhsan.” Begitu kata Ibu Ikhsan saat memberikan cincin untukku. Aku memakainya tanpa ragu. Ada rasa syukur dan terharu. Ikhsan tak pernah melihatku memakai cincin emas, itu yang diceritakan Ikhsan pada Ibunya sejak dulu. Ternyata, itu juga yang menjadi dasar bagi Ibunya untuk mau menerimaku sebagai calon menantu.
“Sudah lama Ikhsan menyukai Restu, tapi mungkin Restu tidak memperhatikan, karena lebih fokus pada pekerjaan.” tenang sekali Ibunya bicara. Aku jadi malu, beberapa kali kami pernah singgah ke rumah Ikhsan bersama teman kantor. Aku merasa berada dirumah sendiri, saat membantu ibunya memasak, bahkan cuci piring setelah makan bersama. Sekarang, berhadapan dengan Ibunya jadi terasa canggung.
“Restu, sebenarnya, Ibu sudah kabarkan tentang Ikhsan pada Abahmu, tapi beliau tidak sampai hati untuk menjelaskan, begitu juga dengan Pak Lukman, Pak Mulyadi, dan kawan kantor kalian. Sepulang dari sini, akhir bulan kemarin, Ikhsan demam, sempat makan obat sekali malam itu. Usai Subuh, Ikhsan meninggal. Tentang semua yang sudah kalian beli bersama, itu untukmu, Ikhsan mungkin ingin memberikan kenang-kenangan untukmu. Restu …. Setelah ini, jika ada yang melamarmu, terimalah, jangan jadikan kepergian Ikhsan sebagai batu penghalang.”
Angin dari Marapi terasa dingin menyapa pipiku. Sekujur tubuhku terasa dingin seketika. Serasa baru kemarin, di warung kopi Amai Limah, dia mengatakan ingin menikahiku, kuterima, dan kami membeli kain dasar untuk baju saat akad nikah, serta perlengkapan kamar dihari yang sama. Dadaku terasa sesak.
Kupejamkan mataku sekuat yang kubisa. Tenggorokanku seketika terasa sakit. Aku bersandar pada kursi rotan yang kududuki, sambil tengadah, menatap lampu gantung hias dari perak, warisan keluarga. Kutahan tangisku. Seperti Ikhsan yang bertahun-tahun bisa menahan rasa padaku, tanpa aku tahu.
*********
Sore ini, disebuah rumah panggung di Malalo, aku menatap hamparan sawah dan beberapa pohon alpokat yang berjejer di jalan akan masuk ke rumah Ikhsan. Abah telah menikah dengan Ibu Ikhsan. Ibu memakai baju pengantin yang kusiapkan. Sementara Abah memakai baju yang rencananya dipakai Ikhsan. Resti merangkul pundakku. Matanya berkaca, penuh haru.
“Rencana Allah selalu yang terbaik, Ni.” Dia merangkulku. Hampir enam bulan menahan rasa dan air mata, akhirnya tumpah juga.
Aku menatap ke pinggang bukit, ada taman bunga kecil berpagar bambu, di ujung kebun milik Ibu Ikhsan. Disana Ikhsan dimakamkan. Ada rasa yang tak bisa kuceritakan, sesuatu yang tak pernah kurasakan pada lelaki lain selain Ikhsan. Entahlah, apakah itu cinta, atau sekedar rindu pada kawan yang selalu mengisi hariku selama beberapa tahun. Dulu aku tak pernah merasakannya. Tidak pernah merindu saat ini.
Ibu memelukku, mengecup dahiku, juga kedua pipiku. Aku diam saja, ujung telunjukku menyentuh bordiran di lengan baju pengantin Ibu. Sudah belasan tahun, aku tak pernah merasakan pelukan seorang Ibu. Sejak Ibuku meninggal, saat aku masih di kelas dua SMP. Selama itu, Abah tidak pernah menikah. Berniat pun tidak pernah. Abah fokus mendidikku dan Resti.
“Kebaikan yang ditanam Ikhsan, kembali pada Ibu.” Akhirnya kalimat itulah yang terucap dari bibirku.
“Tidak, kebaikan Ikhsan, untuk kita sekeluarga.” Beliau kembali merangkulku. Mela, Widya dan Resti ikut-ikutan merangkulku.
Rasa itu pun jadi berbeda. Ikhlas menerima ketetapan Allah, akan membuat kita bisa mensyukuri nikmat yang ada. Hidup pun terasa lebih bahagia.
Sarolangun, 12 November 2020.