Banding di PT.TUN Jakarta, Lili Santi Hasan Minta Perlindungan Hukum Ketua MA

0
637
- Advertisement -

PINISI.co.id- Lili Santi Hasan (58), korban mafia tanah dari Provinsi Kalimantan Barat, meminta perlindungan hukum dan keadilan hukum kepada Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT.TUN) Jakarta.

“Upaya banding Lili Santi Hasan bergulir di PT.TUN Jakarta, dengan registrasi nomor 106/B/2021/PT.TUN.JKT, ” kata Petrus Selestinus, kuasa hukum Lili Santi Hasan di Jakarta, Senin, 7 Juni 2021.

Lili Santi Hasan menyatakan banding terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pontianak, Nomor: 25/G/2020/PTUN.PTK/2020, pada 4 Maret 2021, yang memenangkan gugatan PT Bumi Indah Raya.

PT Bumi Indah Raya, memenangkan gugatan di PTUN Pontianak, menggunakan Sertifikat Hak Pakai, Nomor: 643/2007, seluas 21.010 meter persegi, perpanjangan hak pakai nomor 2261/1991.

Tanah yang disengketakan di Jalan Mayor Mohammad Alianjang, Desa Sungai Raya, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, depan Kodam XII/Tanjungpura, atau samping pusat perbelanjaan modern, Trans Mart.

- Advertisement -

Tanah milik Santi Hasan berstatus Sertifikat Hak Milik, Nomor: 43361/2015, 43362/2015 dan 40092/2012, seluas 7.968 meter persegi yang diterbitkan sejak tahun 1997 dan kemudian melalui proses balik nama (2001), dan pemecahan sertifikat hak milik (2015).

Petrus Selestinus, mengatakan, Lili Santi Hasan, merupakan korban mafia tanah, karena Putusan PTUN Pontianak, mengabaikan penerbitan sertifikat hak milik atas nama Kaprawi tahun 1997, balik nama kepada Tje San alias Hasan Matan, orangtua kandung Lili Santi Hasan tahun 2001, dan pemecahan sertifikat hak milik tahun 2015, karena terkena Proyek Penunjang Jembatan Kapuas II tahun 2005.

“Sertifikat hak pakai atas nama PT Bumi Indah Raya, sudah habis masa berlakunya tahun 2001, dan tidak ada pengajuan perpanjangan, tapi dalam kenyataan diperpanjang tahun 2007,” kata Lili Santi Hasan.

Petrus Selestinus, menjelaskan, Lili Santi Hasan, sudah melapor ke Badan Reserse dan Kriminal Polisi Republik Indonesia (Bareskrim Polri), Senin, 24 Mei 2021.

“Musibah yang menimpa Lili Santi Hasan, langsung ditangani Satuan Tugas Anti Mafia Tanah Polri. Sekarang proses penelusuran berkas latar belakang penertiban sertifikat hak pakai nomor 643/2007 atas nama PT Bumi Indah yang tidak sesuai prosedur. Sejumlah saksi sudah diperiksa, termasuk dari Kantor Pertanahan Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat,” kata Petrus Selestinus.

Sesuai ketentuan, ungkap Petrus Selestinus, sertikat hak pakai jika ingin harus mengajukan permohonan perpanjangan paling lambat dua tahun sebelum masa berlaku habis. Sertikat hak pakai atas nama PT Bumi Indah Raya, sudah habis masa berlakunya selama enam tahun berturut-turut (2001 – 2007).

“Tapi tiba-tiba muncul sertifikat hak pakai perpanjangan yang diklaim tumpang tindih dengan tanah sertifikat hak milik atas nama Lili Santi Hasan, ahli waris Tan Tje San alias Hasan Matan, nomor Sertifikat Hak Milik, Nomor: 43361/2015, 43362/2015 dan 40092/2012, seluas 7.968 meter persegi,” ungkap Petrus Selestinus.

Limit waktu melakukan upaya hukum terhadap penertiban sertifikat hak milik seorang sudah habis, sebagaimana diatur di dalam ayat 2 pasal 22, Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1997, dimana ditegaskan, “Dalam hal suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik, dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu telah tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertahanan yang bersangkutan, ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.”

Dikatakan Petrus Selestinus, jika dilihat dari ketentuan ayat 2, pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, mestinya PT Bumi Indah Raya, melakukan gugatan paling lambat tahun 2002, bukan baru digugat tahun 2020 dan mengantongi legalitas merampok tanah milik orang melalui melalui putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) Pontianak, Kamis, 4 Maret 2021.

“Di sinilah letak mafia tanah, antara PT Bumi Indah Raya, Kantor Badan Pertanahan Kabupaten Kubu Raya dan oknum hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara Pontianak,” kata Petrus Selestinus.

Penerbitan sertifikat perpanjangan hak pakai tahun 2007 atas nama PT Bumi Indah Raya tahu 2007, menggunakan Surat Ukur tahun 1976 yang sangat kedaluarsa, tidak diperbaharui.

PT Bumi Indah Raya, tidak masuk daftar penerima ganti rugi Proyek Penunjang Jalan Jembatan Kapuas II tahun 2005, sehingga konsekuensinya keberadaan sertifikat hak pakai atas nama PT Bumi Indah Raya, sebetulnya tidak pernah ada.

Dalam dalam sertifikat hak pakai atas nama PT Bumi Indah Raya tahun 2007, dalam peta bidang tanah, sama sekali tidak menggambarkan ada lahan Proyek Penunjang Jembatan Kapuas II, yaitu Jalan Mayor Mohamad Alianjang.

“Penertiban sertifkat hak pakai nomor 643/2007 atas nama PT Bumi Indah Raya, tidak saja mencaplok lahan Lili Santi Hasan, tapi juga mencaplok fasilitas umum berupa Jalan Mayor Mohammad Alianjang yang sudah dibebaskan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat tahun 2005,” kata Petrus Selestinus.

Konsekuensi logis dari penerbitan penerbitan sertifikat hak pakai atas nama PT Bumi Indah Raya tahun 2007, mengesampaingkan pembebasan lahan tahun 2005 yang dibebankan kepada Anggaran Penapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Kalimantan Barat 2005.

Erfan Efendy SH, selaku Saksi Fakta, mantan Aparatur Sipil Negara pada Kantor Pertanahan Kabupaten Pontianak (sekarang Kabupaten Kubu Raya) yang selama 2 tahun menangani sengketa dan kemudian pindah ke Kantor Wilayah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Provinsi KalimantanBarat di Pontianak, hingga pensiun per 1 Juni 2019, mengatakan, sertifikat hak pakai nomor 2261/1991 kemudian diperpanjang menjadi nomor 643/2007 atas nama PT Bumi Indah Raya, adalah sertifikat abal-abal, karena cacat prosedur dan cacat administrasi, sehingga harus dibatalkan, tanpa putusan pengadilan.

Dikatakan Erfan Efendy, pembatalan penerbitan sertifikat tanpa putusan Pengadilan, diatur di dalam pasal 107, Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Nomor 9 Tahun 1999, menggariskan, “Cacad hukum administratif dalam pasal 106 ayat 1 (satu) adalah: kesalahan prosedur, kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan, kesalahan subyek hak, kesalahan obyek hak, kesalahan jenis hak, kesalahan perhitungan luas, terdapat tumpang tindih hak atas tanah, data yuridis atau data fisik tidak benar, dan kesalahan lainnya yang bersifat hukum administratif.”

Bahwa pada tanggal 11 Maret 1991, Kantor Pertanahan Kabupaten Pontianak (sekarang Kabupaten Kubu Raya), telah membukukan atau mendaftarkan dan menerbitkan sertifikat hak pakai nomor 2261 atas nama Perseroan Terbatas (PT) Bumi Indah Raya yang berkedudukan di Pontianak, atas tanah seluas 21.010 meter persegi yang terletak di Desa Sungai Raya, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Pontianak (sekarang menjadi KabupatenKubu Raya), Provinsi Kalimantan Barat.

Bahwa dasar penerbitan sertifikat hak pakai nomor 2261 adalah berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 275/BPN/1990, tanggal 21 Agustus 1990, kepada PT Bumi Indah Raya, berkedudukan di Pontianak, seluas 21.010 meter persegi, sebagaimana diuraikan di dalam Gambar Situasi, Nomor 16/1976, tanggal nihil, bulan nihil. Dan hak pakai tersebut berakhir haknya pada 28 Februari 2001.

Gambar Situasi Nomor 16 Tahunn 1976, tanpa nomor pendaftaran, itu jelas, bertentangan dengan ketentuan pasal 11 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961.
Gambar Situasi Nomor 16 Tahun 1976, tidak mencamtumkan tanggal dan tidak mencamtumkan bulan, tapi dipergunakan pada tahun 1990.

Di dalam pasal 15 ayat 1 (satu) hanya Daerah Istimewa Yogyakarta, Keresidenan Solo dan Sumatera Timur yang dapat dipergunakan Surat Ukur lama, untuk mendaftarkan hak atas tanah dan tidak berlaku untuk di Provinsi Kalimantan Barat, sebagaimana ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961.

Bahwa pada tanggal 20 Juli 2007, Kantor Pertanahan Kabuapten Pontianak telah membukukan atau mendaftarkan dan menerbitkan sertifikat hak pakai nomor 2512, kemudian dirubah menjadi nomor 643, atas nama Perseroan Terbatas (PT) Bumi Indah Raya, berkedudukan di Pontianak, atas tanah seluas 21.010 meter persegi yang terletak di Desa Sungai Raya, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Pontianak (sekarang Kabupaten Kubu Raya), Provinsi Kalimantan Barat.

Bahwa dasar penerbitan sertifikat hak pakai nomor 643 adalah berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Nasional Provinsi Kalimantan Barat di Pontianak, seluas 21.010 meter persegi, sebagaimana yang diuraikan di dalam Surat Ukur, nomor 16 Tahun 1976, tanggal 20 Juni 2006.

Dikatakan Erfan Efendy, “Titerbitkannya sertifikat hak pakai nomor 2512 kemudian diubah dengan hak pakai nomor 643 dengan menggunakan Surat Ukur nomor 16 Tahun 1976 yang merupakan kutipan dari Gambar Situasi Nomor 16 Tahun 1976, itu, jelas, bertentangan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Nomor 3 Tahun 1997, pasal 156 dan pasal 157 yang tidak dikenal adanya penerbitan Surat Ukur menyalin dari Gambar Situasi yang dibuat 31 tahun yang lalu, yaitu pada tahun 1976.”

Bahwa diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, dalam tersebut pasal 51 dimana diperlukannya pengukuran kembali terhadap perpanjangan hak pakai, sebagai tujuan untuk mengetahui terhadap kondisi data fisik.

Dan data fisik yang ada di atas tanah sertifikat hak pakai nomor 2512 yang dirubah menjadi hak pakai nomor 643 terdapat adanya jalan raya umum, yaitu Jalan Mayor Mohammad Alianjang dan terdapat sertifikat hak milik nomor 43361, sertifikat hak milik nomor 43362.

“Sedangkan Surat Ukur Nomor 16 Tahun 1976 yang dibuat pada tanggal 20 Juli 2007, secara nyata tidak tertera ada jalan raya umum,” ungkap Erfan Efendy.

“Ini membuktikan bahwa pembuatan Surat Ukur Nomor 16 Tahun 1976, tidak dibuat berdasarkan hasil pengukuran di lapangan, maupun berdasarkan kutipan dari Peta Pendaftaran sebagaimana ketentuan yang diatur di dalam Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, nomor 3 Tahun 1997, dimana Peta Pendaftaran dapat dijadikan dasar/petunjuk untuk membuat Surat Ukur atau Gambar Situasi,” tambah Erfan Efendy.

Kemudian selain daripada hal tersebut pada saat Kantor Pertanahan Kabupaten Pontianak melakukan inventarisasi terhadap bidang-bidang tanah yang terkena pembangunan Jalan Penunjang Jembatan Kapuas II pada tahun 2005.

Berdasarkan data inventarisasi terhadap bidang-bidang tanah yang akan dibebaskan tidak terdapat adanya hak pakai nomor 2512 maupun hak pakai nomor 643. Yang ada justru hak milik nomor 13510, Gambar Situasi Nomor 9518/1996 terdaftar atas nama Tan Tje San alias Hasan Hasan, orangtua kandung Lili Santi Hasan.

Bahwa akibat dikeluarkannya sertifikat hak pakai nomor 2512 atau sertifikat hak pakai nomor 643 yang diterbitkan tidak melalui prosedur sebagaimana diatur di dalam Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, nomor 9 Tahun 1999, Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Nomor 3 Tahun 1997, berakibat menimbulkan kerugian bagi orang lain dan menimbulkan permasalahan tersendiri dimana jalan raya umum berada di atas tanah hak pakai yang diterbitkan, tidak melalui prosedur yang benar dan cermat.

“Hal tersebut dapat dilihat pada Daftar Isian 302, tidak dicantumkannnya nomor dan tanggal, itu, sebagai bukti tidak adanya permohonan pengukuran,” kata Erfan Efendy. (Syam)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here