Kolom Syamsu Salewangang Daeng Gajang
Bukan berarti bahwa seorang raja yang memiliki kekuasaan mutlak atas kerajaannya tidak bisa ditegur bahkan dilengserkan oleh rakyatnya melalui
Dewan Hadatnya. Apalagi kalau hanya sebatas pemimpin organisasi sosial kemasyarakatan (budaya, pemuda, ekonomi, paguyuban), pun organisasi pemerintahan di semua tingkatan di
negara demokrasi seperti Indonesia.
Berkaca pada raja-raja di Sulawesi Selatan di masa kerajaan, terdapat beberapa raja yang sedang berkuasa dimaksulkan/dilengserkan karena dianggap tidak menjalankan pemerintahannya sebagaimana adab-adab pemerintahan yang telah menjadi konstitusi bernegara di masa itu. Pada konteks berorganisasi di kekinian, bahasa yang sepadan adalah tidak menjalankan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) serta program kerja sebagaimana dimandatkan ke pundaknya sebagai pemimpin organisasi.
Salah satu raja yang lengkap dikisahkan riwayat pemaksulannya adalah Raja Gowa ke-13 I Tepu’karaeng Daeng Para’bung Karaeng Bontolangkasa yang bertahta pada 1590 – 1593. Karaeng Tunipasulu’ (Raja yang dikeluarkan atau dimaksulkan) demikian gelar anumertanya yang walaupun baru menjalankan pemerintahannya selama tiga tahun dengan usia masih relatif belia, tetap saja dimaksulkan karena dianggap oleh Dewan Hadat kerajaan telah melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan konstitusi negara (baca AD/ART).
Sebagai catatan beliau diangkat menjadi Raja Gowa pada usia lima belas tahun, dan dimaksulkan di usia delapan belas tahun sebagaimana kutipan Lontara Patturioloang Gowa-Tallo:
suplo tuaiG ailm uaumurn nmgua krea utinpusul nurw tuaj mgua ninpusul
“Sampulo taungi allima umuru’na na ma’gau Karaeng Tunipasulu’ na ruwang taungja maggau na
nipasulu” . Artinya: Lima belas tahun usianya (I Tepu’karaeng Daeng Para’bung Karaeng Tunipasulu’) saat disahkan menjadi Raja Gowa, dan hanya dua tahun menjalankan pemerintahannya ketika dimaksulkan.
Bila dipikir, mana mungkin seorang raja yang memiliki kekuasaan mutlak atas kerajaannya bisa dimaksulkan, dan pula prinsip dan dasar negara kerajaan tidak bersandar kepada demokrasi seperti yang dianut oleh negara tercinta Indonesia pada kekinian.
Tapi faktanya, pemaksulan terjadi pada diri beliau Raja Gowa ke-13 ini. Tak tanggung-tanggung nama anumertanyapun disematkan gelar
Tunipasulu’ (yang dimaksulkan). Suatu identitas yang dibawa ke liang kubur dan tidak akan bisa direvisi oleh siapapun. Begitulah wujud kejujuran dari para leluhur kita kepada sejarahnya. Semoga Allah SWT mengampuni khilafnya dan memberi tempat yang terindah.
Merujuk kepada usia hidup beliau yang mencapai empat puluh satu tahun, mustinya masa pemerintahannya berakhir pada 5 Juli 1617 seiring kewafatannya di Buton sebagaimana kutipan
catatan lontara patturioloang Gowa-Tallo yang berbunyi “Ruwampulo angappa taung le’ba’na nipasulu’ namate ri bulang Ra’ja ri hera 5 Juli 1617, I ba’le ri Butung.
Begitulah penggambaran para pemimpin terdahulu di Sulawesi Selatan khususnya di Kerajaan Gowa. Raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah.
Pada konteks kepemimpinan di era modern, spektrum percakapan soal kepemimpinan tidak melulu soal kepemimpinan bernegara, tapi juga kepemimpinan dalam berorganisasi (sosial, budaya, ekonomi, kegamaan dan politik) baik pada skala nasional maupun skala kampung. Para pemimpin organisasi
memahami dan menyadari betapa pentingnya menempatkan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) sebagai konstitusi tertinggi di organisasi mereka. Betapa tidak, bila ditemukan adanya pelanggaran terhadap Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART), maka konsekuensinya tidak main-main, bisa hingga kepada pemaksulan seperti yang terjadi pada diri Raja Gowa ke-13 di atas.
Karena itu, penting bagi para pemimpin organisasi di semua arena kepemimpinan (pemerintahan, organisasi politik, organisasi kedaerahan/paguyuban, organisasi profesi, organisasi kepemudaan, dan lain-lain) khususnya di Sulawesi Selatan dan pula yang berasosiasi dengan Sulawesi Selatan agar
selalu bercermin kepada sejarah dan kearfian lokal yang telah menjadi identitas kolektif kita sebagai
warga Sulawesi Selatan dan Barat (Toraja, Makassar, Bugis dan Mandar) untuk selalu berpegang teguh kepada amanah yang diembankan kepadanya.
Pantang bagi orang Sulawesi Selatan abai dan lalai terhadap amanah yang telah disematkan di pundaknya, apalagi menghianatinya hanya dalam rangka menumpuk keuntungan bagi dirinya dan kelompoknya.
Sejarah telah mencatat, sekali lancung ke ujian, seumur hidup tak dipercaya. Begitulah peribahasa menasehati kita semua. Masih mau lancung dalam amanah? Kembali ke diri kita masing-masing.
Wallahu a’lam bissawab.
Penulis, Pengasuh Tesang Institute dan Aktivis Ikatan Kerukunan Keluarga Gowa (IKKG)