Catatan : Ruslan Ismail Mage
Bom Bali yang terjadi pada malam hari tanggal 12 Oktober 2002 lalu, adalah tragedi kemanusiaan terparah sejak kemerdekaan. Tercatat 202 korban jiwa dan 209 orang luka-luka atau cedera, dan kebanyakan korban merupakan wisatawan asing.
Untuk mengenang tragedi ini, pemerintah daerah Bali, membangun sebuah monumen peringatan yang di beri nama Monumen Panca Benua. Dikalangan wisatawan, monumen peringatan tragedi bom Bali ini, lebih terkenal dengan nama “Monumen Ground Zero” Bali. Setiap tahun pada tanggal 12 Oktober, banyak orang datang dari berbagai negara, berkumpul di tempat tugu peringatan bom Bali di jalan Raya Legian, Kuta, Kabupaten Badung, Bali.
Saya sempat berdiri di depan monumen dan memperhatikan nama-nama korban yang diabadikan dalam sebuah prasasti. Dalam membayangkan peristiwa mengerikan 18 tahun lalu ini, ada yang membuatku takjub dan membisu sejenak. Bukan jumlah korbannya yang banyak termasuk 38 orang Indonesia, tetapi sikap warga Bali menyikapi tragedi kemanusiaan ini.
Apakah orang Bali marah daerah ikon wisatanya dihancurkan bom yang sudah pasti berimplilasi penurunan sumber pendapatan warga asli? Apakah orang Bali murkah wilayahnya bagian dari alam semesta yang dihormatinya diporak-porandakan oleh bom? Apakah orang Bali memberontak kotanya dijadikan tempat penghancuran nilai-nilai kemanusiaan?
Semestinya warga asli Bali marah, murka, dan kalau perlu memberontak melihat daerahnya porak-poranda oleh bom. Kemarahan dan kemurkaaan itu bisa saja terjadi karena bertentangan dengan kepercayaan Hindu Bali dikenal falsafah “Tri Hita Karana” atau tiga hal penyebab kebahagiaan, yaitu hubungan dengan sesama, hubungan dengan alam, dan hubungan dengan Sang Pencipta. Singkatnya, selain menghormati dan bersyukur terhadap Sang Pencipta, agar mencapai kebahagiaan, manusia harus saling menyayangi dan menghargai dengan sesama manusia dan alam sekitarnya.
Namun faktanya orang Bali tidak marah, tadak murka, apalagi memberontak. Walaupun mungkin emosinya kalau menggunakan bahasa analogi laksana air bah dibendung, yang jika dilepas sumbatannya bisa melimpah menjadi badai tsunami yang menenggelamkan dan menghancurkan.
Inilah kelebihan dan kekaguman saya kepada saudara kita di Bali. Bongkahan emosi yang menggunung didada tidak dilepas merusak, tetapi diolah menjadi energi positif dalam bentuk pelaksanaan beberapa upacara adat untuk mengusir energi negatif sebelum dan sesudah peristiwa bom bali. Emosi yang terus memanas melihat alamnya dihancurkan bom, dilampiaskan dengan melaksanakan upacara adat menetralisir energi negatif yang mengelilingi dan menyerang Pulau Bali.
Sahabat pembelajar, ada dua pesan terlintas dalam benakku dari monumen bom Bali. (1) Manusia menjadi manusia ketika saling memanusiakan. (2) Kalau ingin hidupnya damai dan bahagia tiada akhir, belajarlah bagaimana mengelelo emosi kepada saudara kita orang Bali. Energi negatif yang cenderung merusak harus diolah atau dikontruksi ulang menjadi energi positif untuk merawat tumbuhnya pohon kehidupan yang indah hingga berbunga di taman-taman sorgawi.
Kuta Bali, 18 Desember