Kolom M. Saleh Mude
Saya bersama keluarga, istri dan anak ketiga saya sudah lebih delapan bulan di kota Hartford, Connecticut, Amerika Serikat untuk melanjutkan studi saya di program master dan philosophy doctor di kampus Hartford International University (HIU) for Religion and Peace di bidang Interreligious Studies dengan scholarship dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. Saya menikmati suasana belajar yang kondusif dan mencerahkan.
Sebagai seorang Muslim, saya telah melihat dan membaca sepenggal sejarah, pejuang-pejuang awal Islam, realita dan pengalaman atau suka-duka orang-orang Islam (Muslim) di Amerika, terutama di kota New York dan Hartford. Di antaranya: Pertama, saya telah menemukan data hasil survei Gallup tahun 2016, menunjukkan bahwa jumlah orang Muslim di Amerika, hingga hari ini, belum mencapai angka 1,5% (persen) atau 3 juta dari 300 juta, jumlah total penduduk Amerika. Mayoritas penduduk Amerika menganut agama Kristen, mencapai 73,7%, disusul oleh kelompok orang-orang yang tidak ingin mengetahui agama, disebut komunitas agnostik atau atheis, 20,8%. Disusul non-Kristen seperti agama Mormon, Hindu, Buddha, Konghucu, dll, 7,9%, kemudian penganut Yahudi 2,1% dan umat Islam, 0,8%. Data ini tentu mengalami perubahan setelah lima tahun. Jumlah penduduk Amerika per tahun 2021, sudah mencapai 3.32 juta, terbesar ketiga setelah Cina, 1,44 miliar dan India, 1,4 miliar, dan Indonesia urutan keempat setelah Amerika, 276 juta orang.
Kedua, pada Desember 2021, saya telah menulis proposal disertasi berjudul: “Diaspora Muslim Indonesia di Amerika: Sebuah Tinjauan Sosiologis-Antropologis tentang Pertemuan Dua Budaya dan Agama yang Berbeda.” Untuk mendapatkan hipotesis awal, saya telah mengirimkan beberapa pertanyaan kepada puluhan orang Muslim Indonesia yang sudah lama di Amerika, misalnya: berapa lama anda di Amerika?; apakah anda kaget melihat gedung-gedung pencakar langit?; apakah anda sulit menemukan makanan dan minuman halal?; bagaimana anda melaksanakan ibadah shalat lima waktu, shalat Jumat, shalat Idul Fitri, dan Idul Adha?
Jawaban yang saya peroleh dan itu telah menjadi hipotesis awal di proposal disertasi saya, adalah: mereka umumnya senang bisa menginjakkan kakinya di Amerika, mereka merasa impiannya terkabul; mereka takjub melihat gedung-gedung pencakar langit, seperti yang dibayangkan ketika masih di Indonesia; mereka merasa mudah menemukan makanan dan minuman halal; mereka merasa mudah melaksanakan shalat lima waktu, walaupun shalat mereka sering dijamak (digabung); mereka dapat melaksanakan ibadah puasa dengan baik, kendati ada waktu tertentu, di musim panas (summer), mereka harus puasa hingga 17 jam. Pada Ramadhan tahun ini, kami puasa selama 14 jam, sahur sebelum pukul 04.50 AM dan berbuka pada pukul 17.30 PM. Mereka juga merasa tidak mengalami kendala mencari masjid untuk shalat Jumat dan Idul Fitri atau Idul Adha. Kesimpulan saya, umat Islam di Amerika, tidak mengalami banyak hambatan dalam beribadah, makan, puasa, dan shalat Lebaran.
Menurut informasi dari salah seorang teman sesama diaspora asal Indonesia, Bapak Syaiful Hamid, Ketua KKSS New York, lebih 40 tahun di Amerika, jumlah masjid di New York sebelum peristiwa 9/11, 2001, pengeboman World Trade Center, hanya 40-an. Kini, jumlahnya sudah mencapai 400 lebih masjid, termasuk 3 milik orang Indonesia, Masjid Al-Hikmah, bisa menampung 400 orang, dan Masjid Nurul Amirul Mukminin I dan II, milik orang Bugis.
Phobia-Islam adalah istilah yang cukup mengkhawatirkan banyak Muslim di luar negeri, termasuk saya sebelum meninggalkan Jakarta, 30 Juli 2021. Tapi, alhamdulillah, hingga hari ini, saya tidak pernah mendengar kisah atau keluhan teman-teman sesama Muslim diaspora, termasuk Muslim non-Indonesia. Walaupun menurut berita, perilaku diskriminatif atau phobia terhadap umat Muslim sempat menjadi ancaman berbahaya setelah tragedi pengeboman WTC, 9/11.
Sebagai penutup, saya termasuk penumpang gerbong kereta orang-orang yang optimis melihat masa depan Islam di Amerika. Salah satu buktinya, awal Ramadhan kemarin, ratusan orang kumpul shalat tarawih berjamaah di pelataran Times Square,” Manhattan, New York City, dan diprediksi jumlah umat Islam pada tahun 2050 akan mencapai 5-6 juta orang atau mendekati 2% dari total penduduk Amerika.
Di kota saya, Hartford, Ibukota negara bagian Connecticut, 2 jam naik mobil dari New York, jumlah Muslim mungkin tidak mencapai seribu orang. Tapi, kami merasa menyaman beribadah dan setiap ada undangan, makanan yang disediakan selalu diberi kode halal, dan keluarga saya tidak merasa kesulitan menemukan makanan dan bumbu halal, termasuk ikan segar dan beras, makanan pokok saya sekeluarga sebagai orang Bugis, dan kebanyakan pemilik toserba (groseri) halal adalah orang Pakistan dan India.
Terakhir, sebagai orang yang berjiwa nomaden, kepingin lama menghirup udara di negeri Uncle Sam, agar kemampuan berbahasa dan menulis bahasa Inggris saya dan keluarga seperti air mengalir, dan bermimpi segera mengajak teman-teman dan tokoh-tokoh Muslim Indonesia untuk merintis (membuat proposal), membeli dan merenovasi sebuah gedung yang memiliki izin rumah ibadah, untuk mengelola lembaga pendidikan dan sosial yang modern di Amerika. Jika impian ini terwujud, anak-anak atau turis asal Indonesia ketika datang ke Amerika, mereka sudah punya tempat singgahan pertama. Semoga.
Penulis, adalah mahasiswa HIU, Hartford, Connecticut, USA.