Tulisan Bagian Kedua
PINISI.vo.id- Sebagai pelayan Panti Jompo di Belanda, Malik Toding, diaspora asal Toraja, Indonesia, membeli dan mengelola restoran di Belanda bagaikan orang yang berani masuk hutan tanpa memiliki dan membawa kompas atau penunjuk jalan.
“Saya hanya bermodal berani, mulai keluar dari Panti Jompo, padahal saya sudah disekolahkan dan bisa menjadi pelatih atau pembimbing petugas atau pelayan junior,” katanya.
Lebih jauh Malik Toding berkisah bahwa:
“Ketika mulai membuka restoran, saya merekrut karyawan enam orang. Sebagian karyawan saya adalah mahasiswa asal Indonesia yang tidak mendapatkan beasiswa. Mereka kuliah sambil kerja. Saya pilih mahasiswa karena ulet, mandiri, cepat kerjanya, pintas cari informasi, mudah berkomunikasi dengan customer, dan wajahnya ramah,” kata Toding.
Ragam negara customernya selain orang Belanda, juga dari Iran, Nepal, Jerman, Spanyol, Amerika,dll. Toding sering berpesan ke stafnya, “makanan tambah enak ketika kita melayani dengan penuh keramahtamahan, penuh kehangatan dan bersahabat kepada costumer. Penampilan keramahtamahan dan kualitas produk itu adalah kuncinya.”
Ketika Eropa dilanda virus pandemi Covid-19. Berlaku berbagai peraturan secara ketat, misalnya tiga pakem protokol kesehatan: harus menjaga jarak dengan orang lain, rajin mencuci tangan, dan selalu memakai masker. Di mana semua kantor pemerintah dan swasta, termasuk restoran pada tutup. Untuk menyikapi hambatan terakhir ini, untungnya setahun sebelumnya Toding telah membuatkan dan mendaftarkan restorannya di “portal dan sistem delivery take away.”
Ternyata trik itu manjur dan restoran tetap jalan dan berpenghasilan. Artinya, di tengah pandemik, pembeli banyak atau customer, kendati harus antri dan take away. Saat lockdown, enam karyawan yang dikhususkan untuk mengantar (delivery) order ke customer.
“Waktu itu kami ibaratnya harus berpacu dengan McDonald, karena mereka juga tidak melayani secara manual dan menerapkan takeaway juga.
Kini, setelah masuk era New-Normal, Toding bersama karyawannya kembali seperti biasa, mengelola ketiga restoran dan toko kelontongnya di pusat-pusat keramaian di Den Haag dan Delft Belanda. Bahkan, saat ini ia sedang membidik lokasi keempat untuk buka cabang ketiga atau restoran keempatnya, nama restorannya sama, “Redjeki Restaurant.”
Kita berharap Toding terus meraih sukses agar dapat mengembangkan sayap usahanya, terutama di bidang restoran dan toko kelontong atau sembako.
Seperti apa komitmen, pesan, dan harapan Malik Toding pada diaspora atau mahasiswa Indonesia di berbagai negara lainnya, yang belum meraih sukses, dia akan berbagi tips pada tulisan ketiga, atau terakhir.
(M. Saleh Mude)