Catatan Ilham Bintang
Masuk kota Cirebon Minggu (17/7) siang, pas jam makan siang. Bus yang ditumpangi rombongan Pengurus Masjid At Tabayyun, Taman Villa Meruya, Jakarta Barat langsung menuju Rumah Makan Nasi Jamblang Ibu Nur di Jalan Cangkring, Kejaksan, Kota Cirebon, Jawa Barat. Perut tidak bisa lagi menoleransi perjalanan darat Jakarta – Cirebon 4 jam.
Tapi, tunggu. Masih 500 meter dari lokasi Warung Ibu Nur, jalanan mendadak macet. Ternyata, kemacetan itu terjadi karena tujuan pengendara sama : Nasi Jamblang. Pintu masuk warung tampak hampir tertutup oleh kerumunan dan antrean panjang di depannya. Beruntung Wiwien Sri Soendari yang memandu “Wisata Religi dan Kuliner” ini sudah memesan tempat di lantai atas (2) warung dan menyuruh orangnya untuk menjaga meja itu.
Sega Jamblang atau Nasi Jamblang ( dalam Bahasa Indonesia) adalah makanan khas dari Cirebon, Jawa Barat. Nama Jamblang berasal dari nama daerah di sebelah barat Kabupaten Cirebon tempat asal pedagang makanan tersebut. Ciri khas makanan ini adalah penggunaan daun jati sebagai bungkus nasi. Daun jati dikenal memiliki banyak pori-pori yang membuat nasi tahan lebih lama dan tetap terasa pulen.
Penyajian makanannya secara prasmanan. Seperti dengan lauknya : semur daging, tahu, tempe, udang goreng, dan cumi yang disajikan dalam wajan- wajan sederhana. Semakin maknyuss disantap dengan irisan kecil-kecil cabe keriting.
Saya menyukai sego ini sejak lama. Saya sering ke Cirebon, setiap kali selalu menyantap kuliner itu. Saya kira ada kesamaan kolektif mengapa kuliner itu digemari dan dikangeni banyak orang.
Tidak bisa disangkal Nasi Jamblang ini paling terkenal dari sekian banyak kuliner khas Cirebon. Di Ibukota Jakarta saja banyak warung yang khusus menjajakan Nasi Jamblang dan kuliner khas Cirebon lainnya. Bahkan masuk menu andalan catering penyedia makanan resepsi perkawinan di hotel-hotel berbintang.
Ibu Nur sendiri hanya salah satu dari mungkin ratusan warung yang berdagang Nasi Jamblang. Sepanjang daerah jalan Plered Kabupaten Cirebon, didominasi warung sega itu. Merek-merek warungnya berukuran raksasa tampil mencolok. Warung Ibu Nur sedikit istimewa karena berawal dari warung kecil di sudut Jl Tentara Pelajar, kini memiliki rumah makan yang besar dan resik di Jl Cangkring itu. Nasi Jamblang yang semula makanan sangat sederhana naik kasta menjadi jajanan yang berkelas. Lihat saja kendaraan yang datang dan pergi atau sedang parkir sekitar lokasi warung.
Tidak banyak menu kuliner sohor yang berbanding terbalik dengan sejarahnya di masa lampau. Nasi Jablang salah satu. Kuliner itu sesungguhnya adalah makanan untuk para pekerja kasar, buruh kerja paksa di zaman Deandels mengerjakan pembangunan jalan dari Anyar -Panarukan yang melewati Cirebon, Pantai Utara. Ah, boleh jadi antrean dan kerumunan di Warung Ibu Nur itu, mungkin menggambarkan situasi saat ratusan buruh kerja paksa istirahat makan. Ratusan tahun lalu.
Kuliner Cirebon memang tidak hanya Nasi Jamblang, ada banyak lagi jenis kuliner khas Cirebon yang sama lesat dan terkenalnya. Seperti “Nasi Lengko”, “Tahu Gejrot”, “Empal Gentong”, “Mie Koclok”, dan lain – lain.
Ibukota Kerajaan
Cirebon adalah salah satu kota yang berada di provinsi Jawa Barat, Indonesia. Letaknya di pesisir Utara pulau Jawa atau yang dikenal dengan jalur pantura yang menghubungkan Jakarta-Cirebon-Semarang-Surabaya. Pada tahun 2021, jumlah penduduk kota Cirebon sebanyak 343.497 jiwa, dengan kepadatan 9.194 jiwa/km2.
Secara historis Cirebon dan Banten merupakan saudara sedarah. Kerajaan Banten merupakan keturunan Cirebon yang bercorak Islam dan masih terhubung dengan sejarah ketika Kesultanan Demak memperluas pengaruh di Pulau Jawa.
Sejak didirikan sekitar tahun 1425 hingga sekarang, Kota Cirebon kerap berganti-ganti julukan. Mengutip media “Cirebonkita” kota itu awalnya hanya daerah kosong yang berumput. Orang menyebut nya” Alang-Alang”. Dikemudian hari, selepas Ki Danusela mengubah wilayah Alang-Alang menjadi sebuah perkampungan, Ki Danusela pun dikenal dengan nama Ki Gede Alang-Alang, atau ” Pembesar Kampung Alang-Alang” .
Kelak, ketika Kampung Alang-Alang mulai ramai dikunjungi orang dari berbagai suku bangsa, dari nusantara maupun dunia, daerah mendapat julukan baru lagi : “Caruban”. Ketika Pangeran Walangsungsang menggantikan kedudukan Ki Danusela sebagai Kuwu Alang-Alang, kampung Alang-Alang kembali berganti nama “Caruban Nag Caruban” yang dalam bahasa Sunda maupun Jawa kuno berarti mejemuk atau pencampuran.Julukan itu, seperti sudah disebut, mengikuti keragaman penduduknya, ada Sunda, Jawa, Cina, India, Arab dan lain sebagainya.
Daerah Caruban yang berpantai di zaman itu dianugerahi “ Garam dan Rebon/Udang Kecil” yang melimpah. Garam dan Rebon menjadi bahan baku bumbu masakan yang kini dikenal dengan nama “Trasi”. Caruban pun berubah menjadi “Cai Rebon” maksudnya daerah atau negeri penghasil Cai (Air-Air Garam) dan Rebon (Udang kecil).
Cirebon pernah menjelma menjadi kota metropolitan di zaman itu, sebagai Ibu Kota Kerajaan. Cirebon lalu mendapat julukan baru lagi, yaitu : “ Grage” . Nama itu akronim dari “Negara Gede”. Menunjuk pada posisinya sebagai “Kota/Negara Besar”. Hingga kini julukan tersebut masih tetap melekat dan lestari. Bahkan nama “Grage” digunakan sebagai nama Mall terkemuka di Kota Cirebon. Juga nama Resort di Kuningan, tempat menginap rombongan Pengurus Masjid At Tabayyun Minggu (17/7) malam.
Julukan Cirebon lainnya adalah ” Kota Udang” , “Kota Berintan” dan “Kota Wali”. Cirebon dan sekitarnya memang kota bersejarah, kota budaya. Salah satu daerahnya, Linggar Jati, masuk catatan sejarah karena di sanalah tempat perundingan yang terkenal dengan nama “Perjanjian Linggar Jati” ( Kuningan, 10-15 November 1946) yang tercatat sebagai bagian penting perjuangan bangsa Indonesia merebut kemerdekaan dari tangan penjajah Belanda.
Satu lagi : Makam Sunan Gunung Jati. Makam itu membawa nama Cirebon sohor sebagai sebagai tempat wisata religi. Sayang, wisata religi dan kuliner Masjid At Tabayyun terbatas waktunya, hanya berlangsung semalam. Insya Alllah, next trip, Grage akan dieksploar lebih jauh dan mendalam.
Cirebon, 18 Juli 2022