Catatan Ilham Bintang
Beruntung ada netizen, sehingga negeri itu tidak tenggelam akibat kedzoliman penguasa memperlakukan rakyatnya. Tapi eksistensi netizen dimaksud pun tengah digugat. Dianggap musibah bagi sebagian jurnalis di sebagian belahan dunia. Terutama para wartawan yang mengklaim dari media arus utama. Netizen yang melaksanakan fungsi kontrol dikecam oleh mereka yang justru punya tugas itu. Tragedi kemanusiaan di banyak tempat mustahil dapat cepat tersingkap tanpa peran netizen. Mereka lah yang menyebarkan luaskan melalui media sosial. Media sosial masih dikuasai Tuhan. Belum lagi dikuasai oleh juragan media. Sehingga kejadian besar, penyalahgunaan kekuasaan, perampokan uang negara, praktek mafia hukum yang sudah lama tidak diangkat dalam media pers, diarak oleh netizen. Pers baru menyusul kemudian ikut membahas setelah jadi trending topic. Mustahil kepala polisi segera menata aparatnya tanpa kerja netizen. Meski itu baru wacana politik belaka. Buktinya, aparat kepolisian lah yang dominan tertangkap kamera netizen terlibat perbuatan melawan hukum. Memang banyak kasus besar dipicu aparat kepolisian dan tentara mereka di negara itu.
Sudah berlangsung lama penyingkapan kasus- kasus penyalahgunaan kekuasaan merupakan hasil karya netizen. Itu sebabnya netizen dibenci dan dimusuhi oleh pemerintah dan wartawan di negara itu.
Secara filosofis dan universal informasi memang milik publik. Media sosial — anak kandung tehnologi informasi — telah menyerahkan kembali hak itu kepada pemiliknya yang sah. Sebanyak 4.66 milyar jiwa (Juni, 2021) penduduk bumi ( baca : rakyat) telah terhubung di mesin ajaib itu. Rakyat bangkit menguasai informasi dan menggunakannya secara sadar untuk mengontrol kekuasaan di seluruh dunia. Kekuatan itu tidak bisa dilawan. Yang berdengung 24 jam di dunia maya itu suara rakyat, suara Tuhan.
Saat satu peristiwa besar terjadi atau berbarengan meledak, bisa jadi wartawan masih asyik dengan kebanggaan semu masa lalunya. Yang lain sedang memperingati kedigdayaan organisasinya. Masih banyak yang terlelap tidur, sebagian lain yang terjaga sedang memperingati hari bersejarahnya. Tetapi sambil meratap dalam pelbagai seminar untuk memperjuangkan nasibnya sendiri yang megap- megap beradaptasi di era disrupsi informasi. Seperti orang yang meregang nyawa, lupa doa-doa yang diajarkan orang tua untuk dibaca menjelang ajal. Melupakan keterkaitannya dengan informasi bukanlah sebagai pemilik, melainkan karena keterkaitan profesinya. Yang “kontraknya” jelas, tertuang dalam peraturan secara universal dan kode etiknya sendiri. Isinya hanya tiga point, sama semua. Kesatu, kedua, dan ketiga : mengabdi kepentingan bangsa.
Wartawan yang menyebut diri dari media arus utama, bermodal legitimasi formal pemberian negara, bangkit melawan netizen. Kini memelas berharap uluran tangan pemerintahnya. Seperti tak menyadari ibarat lahan pertanian, sebenarnya sejak lama dia sudah seperti buruh tani yang hanya bekerja untuk kepentingan pemilik lahan. Tanpa sadar sekian lama profesi mulia wartawan telah ditunggangi oleh kepentingan pemberi gaji. Ini kasar. Tetapi mau bilang apa, faktanya seperti itu. Gaji besar, fasilitas bagus, relasi kekuasaan yang luas dan internasional, adalah sebagian kenikmatan yang telah membuai hingga menghianati profesi.
Beruntung dunia punya netizen. Yang membuat penguasa di mana pun terjaga. Mulut, mata, dan telinga rakyat ada di mana- mana. Tak ada lagi peristiwa yang bisa disembunyikan. Hampir tak ada yang luput dari pengetahuan publik. Praktek ucapan lain dengan perbuatan, menjadi tema sentral netizen menyorot kekuasaan. Rakyat tidak pernah tahu, sumber kerumunan di mana pun di dunia di masa pandemi karena ulah pemimpinnya sendiri, tanpa netizen. Menyingkap kedok yang mau tampak bagai sinterklas membagi-bagi hadiah kepada rakyat. Adegan itu tampil memilukan dalam tangkapan kamera netizen. Seperti gambaran penguasa di abad pertengahan saat bertemu rakyatnya.
Jangan salahkan wartawan zaman now. Itu adalah cacat bawaan sejak dulu.Yang selalu dikecam namun kemudian karena nikmat, dilanjutkan dengan mengganti kemasannya supaya kelihatan baru. Kemajuan teknologi informasi telah mengembalikan kedaulatan kepada pemiliknya yang sah. Segala upaya menentangnya akan sia- sia belaka seperti mengembalikan jarum jam. Hanya mengulang perjuangan berat Sisyphus mengusung batu ke gunung. Situasi membalikkan sikap sastrawan Robert Sherwood. Lebih setengah abad lalu pengarang Amerika itu pernah menulis naskah drama (1953), “Hutan Membatu” (Petrified Forest) yang merisaukan “alam telah menyita bumi dari tangan manusia dan menyerahkan kepada monyet – monyet (teknologi). “
Sekarang yang kita saksikan seakan alam kembali bertindak ” menyita bumi dari tangan petualang ideologi dan pencundang lainnya dan menyerahkannya kembali kepada pemiliknya (nitizen), rakyat, ahli waris dunia dan peradabannya.
Lengkingan suara alarm ponsel menyentak tidur saya. Nraringnya merobek keheningan subuh yang dingin. Masya Allah! Buruk betul mimpi tadi. Ekstrim sekali. Dzolim sekali. Jangan- jangan ada produk teknologi baru lagi yang bisa mengatur mimpi manusia.
Jelas, tidak semua produk netizen baik seperti dalam mimpi. Malah banyak yang sengaja menyulut dan menikmati keuntungan dari keterbelahan masyarakat. Seperti halnya berita produk wartawan media utama. Tidak semua buruk, seperti yang difitnah dalam mimpi ekstrim. Faktanya, masih banyak media pers yang mengharukan membanggakan karena tetap setia dan konsisten pada ideologi pers sebagai ratu adil. Meskipun nafas terengah- engah karena pengaruh horor sekeliling “jasad” media yang bergelimpangan mati.
Saya segera bangun untuk salat Subuh. Lanjut dzikir dan doa. Mendoakan khusus kejayaan pers nasional kita yang baru dua hari lalu memperingati Hari Pers Nasional. Semoga mimpi itu tidak akan pernah menjadi realita di Tanah Air.
Penulis, Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat