Catatan Ruslan Ismail Mage
“Kalau kaya berperilaku orang kaya itu biasa, tapi kalau orang kaya berperilaku orang biasa itu baru luar biasa. Orang berpangkat tinggi meninggikan hati itu biasa, tapi berpangkat tinggi merendahkan hati itu baru luar biasa. Begitu pula orang cantik yang sombong itu perempuan biasa, tapi cantik, ramah dan suka berbagi itu baru bidadari”.
Kalimat bijak inilah yang paling pantas memulai catatan inspiratif ini setelah mengamati dahsyatnya budaya hodenisme yang mengacak-acak jiwa penyembah materialisme. Ada kecemasan melihat kecenderungan nilai-nilai kejujuran, kebenaran, terdegradasi di tengah kehidupan generasi yang digadang-gadang akan menjadi gerasi emas. Candaan seorang teman mengusik kecemasan, katanya “Harga diri berbanding terbalik dengan harga sembako di pasar”. Maksudnya harga sembako selalu naik, tetapi harga diri mengalami penurunan.
Mungkin candaan teman di atas tidak sulit untuk membuktikannya di era millenial ini. Pendekatan materi dalam menjalankan aktivitas bukan barang baru, karena sesungguhnya itu sudah karakter alami manusia. Namun materi ini berbahaya dalam kehidupan ketika materi itu ditambah akhiran “isme” yang berarti materialisme. Kenapa berbahaya? Kerena sudah menjadi aliran bahkan keyakinan yang sudah merasuki jiwa. Ini yang disebut Karl Marx materi yang menentukan segalanya.
Kalau tidak menguntungkan secara materi kebendaan, jiwa itu pasif tidak bergerak. Abai dengan lingkungan sosialnya, berjarak dengan spiritualisme, adab dan kesopanan di _police line_ agar tidak masuk mewarnai jiwanya. Penghargaan terhadap gagasan, ide, pemikiran sebagaimana diinginkan Friedrich Hegel laksana daun- daun kering yang berguguran diterpa badai materialisme. Inilah yang disebut ketika jiwa sudah mati terkubur bersama dengan kepekaan sosial dan nilai humanisme.
Lalu apa hubungannya dengan judul tulisan di atas? Perkembangan sosial media yang tanpa batas telah mengabarkan, menyiarkan, memvisualkan informasi juga tanpa batas. Diantara sekian banyak tontonan yang disajikan setiap saat, salah satunya yang menarik adalah eksperimen. Karakter alami seseorang dapat terbaca melalui acara ini. Apakah jujur, bohong, munafik, sombong, rendah hati, kaya sesungguhnya atau miskin sesungguhnya, cantik hanya fisiknya atau cantik juga hati dan jiwanya.
Sebuah video singkat tes kebaikan membuat ribuan hati tersentuh di aplikasi paling merakyat bernama TikTok. Seorang gadis cantik pelayan cafe menjadi target tes kebaikan oleh seorang eksperimenter yang sudah memasang kamera tersembunyi. Sang eksperimenter yang melakukan percobaan itu mendatangi sebuah cafe dengan membawa uang Rp 7000 untuk membeli makanan karena hanya tinggal itu uang yang tersisa dikantongnya, sementara hendak pulang kampung. Dalam situasi seperti itu biasanya pelayan cafe berwajah sinis mengatakan tidak ada lagi harga makanan semurah itu. Titik tanpa koma lagi.
Namun yang terjadi kali ini berbeda. Walaupun pelayan cafe seorang gadis cantik berhijab mengatakan hal yang sama tidak ada makanan seharga Rp 7000, tapi disampaikannya dengan senyum dan tanda koma bukan titik. Walaupun tidak ada makanan seharga itu, tapi silahkan masuk dan duduk menunggu sebentar diambilkan makanannya sambil menolak uang Rp 7000 yang diberikan.
Untuk mengetahui ketulusan dan kebaikannya, sang eksperimenter terus menyodorkan setengah memaksa agar uangnya diterima. Lagi-lagi pelayan cafe itu menolaknya halus sambil bertutur lembut “Nanti dia yang bayar menggunakan sisa tabungannya sebagai pelayan”. Sesaat kemudian, irama langkahnya bagaikan nyanyia alam sudah datang membawa makanan lengkap dengan minuman air jus menggoda rasa.
Subhanallah kataku membanting. Alangkah baiknya gadis cantik ini. Sebagai pelayan cafe tentu gajinya hanya untuk memenuhi kebutuhannya, bahkan bisa jadi tidak cukup untuk dirinya sendiri, tapi dengan keihklasan ia berbagi tanpa syarat ke orang lain yang tidak dikenalnya. Hebatnya lagi, ketika sang eksperimenter memintanya untuk dibungkus saja makanannya, gadis cantik rendah hati ini beranjak dari tempat duduknya. Kirain ke belakang untuk mengambil pembungkus makanan, ternyata mengambil uang Rp 50.000 untuk diberikan kepada sang
eksperimenter biaya perjalanan pulang. Sudah membayarkan makanan orang tidak dikenal, ia juga memberi uang biaya perjalanan pulang.
Melihat pemandangan itu bibirku bergetar, terasa ada butiran kristal di sudut mataku hendak menyeruak. Saya hanya membisu memohon kepada pemilik kehidupan, “Ya Allah ya Rabb, anugrahkan kesehatan dan rejeki-Mu kepada gadis pelayan cafe yang memiliki kecantikan sempurna ini. Bukan hanya wajahnya cantik rupawan, tetapi hatinya, jiwanya, dan seluruh panca indera yang melekat ditubuhnya semuanya cantik. Dalam hening kuberbisik ke semesta, “Bidadari di bumi itu ada”.
Penulis, Akademisi, inspirator, dan penulis buku-buku motivasi