Bukan Gatotkaca

0
177
- Advertisement -

Kolom Ruslan Ismail Mage

Indonesia, merah darahku, putih tulangku, bersatu dalam semangatmu. Indonesia, debar jantungku, getar nadiku, berbaur dalam angan-anganmu, kebyar-kebyar pelangi jingga. Biarpun bumi berguncang, kau tetap Indonesiaku. Andaikan matahari terbit dari barat, kau pun Indonesiaku. Tak sebilah pedang yang tajam dapat palingkan daku darimu.

Setiap mendengar lirik lagu penyanyi lagendaris Gomloh berjudul gebyar-gebyar di atas, tidak ada anak negeri yang memiliki nasionalisme tidak meneteskan air mata. Lagu itu simbol cinta tanah air tanpa batas dan siap membelanya tanpa syarat. Lagu inilah mungkin yang merasuki jiwa seorang nelayan bernama Kholid melakukan perlawanan terhadap oligarki.

Tidak ada yang mengira tubuh kurusnya dengan dada tipis mampu menahan kekuatan gelombang oligarki yang satu dasawarsa terakhir terus mengalir meruntuhkan dinding negeri. Ketika para pengambil kebijakan lempar handuk di lautan, petugas keamanan angkat tangan, penegak hukum berdagang, pejuang keadilan dan kemanusiaan memble menghadapi oligarki, kakinya menghentak menginjak bumi, suaranya lantang, narasinya menghentak, semangatnya menyala, visinya setajam silet menginginkan negara hadir untuk rakyat. Suaranya bergema pada dinding kesadaran menyuarakan negara tidak boleh takluk kepada oligarki.

Di ruang perdebatan gagasan, ia menyadarkan publik kalau kecerdasan intelektual tidak selamanya berbanding lurus dengan atribut yang melekat pada tubuh. Banyak orang berpenampilan intelektual tetapi miskin narasi, buta kepekaan sosial, tumpul nilai humanismenya, dan bermental penjajah. Sebaliknya tidak sedikit orang berpenampilan rendahan tetapi tinggi gagasanya, tajam narasinya, jelas diksinyan, dan visi hidupnya untuk kemaslahatan sesama. Pada titik inilah posisi sang nelayan tangguh visioner bapak Kholid berada.

Ia hadir menghentak ketika pers cenderung tengkurap, mahasiswa memilih jalan sunyi, aktivis membisu, kampus berjarak, kaum terdidik masuk angin, penegak hukum kelilipan matanya, dan negara absen. ia bukan Gatotkaca yang memiliki otot kawat tulang besi. Namun semangatnya membara, nyalinya menyala, pekikannya membangunkan penguasa, dan suaranya menggetarkan pagar laut misterius yang membentang sepanjang 30,16 kilometer di laut Tangerang. Teruslah berjuang bapak Kholid, karena engkau riil nelayan yang telah menjadi simbol perlawanan rakyat. Engkau bukan Gatotkaca, tetapi nyalimu laksana besi beton tertancap di lautan menahan abrasi moral pengelola negara.

- Advertisement -

Penulis, Akademisi, penulis buku-buku politik, demokrasi, dan kepemimpinan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here