Kolom M. Amir Uskara
Adakah persamaan antara Buya Ahmad Syafii Maarif, pendiri Maarif Istitute, Jakarta dan KH Maimoen Zubair, pendiri Ponpes Al-Anwar, Rembang? Jelas ada! Keduanya sama-sama tokoh Islam yang nasionalis.
Buya Syafii adalah tokoh Muhammadiyah. Mbah Moen — panggilan akrab KH Maimoen Zubair adalah tokoh NU. Keduanya adalah pembela yang gigih terhadap eksistensi NKRI yang berdasarkan Pancasila.
Salah satu pernyataan Buya Syafii yang patut kita cermati: keislaman dan keindonesiaan adalah satu nafas. Sedangkan pernyataan Mbah Moen: Pancasila dan Islam adalah satu nafas.
Bila kedua pernyataan dari tokoh Muhammadiyah dan NU tersebut diintegrasikan, maka Indonesia, Pancasila, dan Islam tidak bisa dipisah-pisahkan. Ketiganya — Indonesia, Pancasila, dan Islam adalah satu nafas.
Dengan demikian, Islam Indonesia menurut Buya Syafii adalah berwatak nasionalis. Sedangkan Islam Indonesia, menurut Mbah Moen berwatak Pancasilais. Apa konsekwensinya? NKRI, Pancasila, dan Islam adalah segitiga emas yang indah dan kokoh, berbasis budaya nusantara. Ketiganya adalah fondasi “rumah besar” untuk bernaung rakyat nusantara yang plural dan multikultural.
Pandangan kedua tokoh besar Muhammadiyah dan NU ini, menurut hemat saya, sangat bermakna dalam merajut kehidupan berbangsa dan bernegara (yang plural dan multikultur) di tengah gempuran ideologi Islam transnasional. KH Hasyim Muzadi, ketua PBNU (2000-2010), misalnya, pernah mengingatkan umat Islam agar waspada terhadap infiltrasi ideologi Islam transnasional yang merusak keindonesiaan dan keislaman tadi.
Ideologi Islam transnasionalis ini, ujar almarhum Mbah Hasyim Muzadi, merusak eksistensi Islam santri. Sebab kata santri menunjukkan Islam yang khas Indonesia. Pinjam Lukman Saifuddin, Menteri Agama RI (2014-2019), seorang muslim tak bisa dikatakan santri jika tidak berwatak nasionalis. Santri dan nasionalisme, kata tokoh Partai Persatuan Pembangunan itu, tidak bisa dipisah-pisahkan.
Sejarah kesantrian dan keislaman tertanam kuat pada umat Islam Indonesia, khususnya jam’iyah Nahdliyin. Kalimat hubbul wathon minal iman (cinta tanah air adalah sebagian dari iman) adalah “kalimat azimat” yang selalu didengungkan KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU.
Perlawanan pejuang Indonesia menghadapi Sekutu — yang diboncengi Belanda yang mendarat di Surabaya, 10 November 1945 — adalah bukti nyata betapa dahsyatnya semangat juang para santri melawan penjajah karena cintanya pada tanah air. Sebab cinta pada tanah air adalah bagian dari iman. KH Hasyim Asy’ari sendiri yang mendeklarasikan bahwa perang melawan Sekutu di Surabaya adalah jihad fi sabilillah.
Perang besar-besarn tanggal 10 November 1945 yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan, menyadarkan Pemerintah Inggris bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah nyata; kehendak rakyat Indonesia. Ini terlihat dari betapa dahsyatnya perlawanan rakyat yang bersenjata bambu runcing melawan pasukan Inggris yang bersenjata modern.
Sebelumnya, Belanda meyakinkan Inggris dan Amerika Serikat sebagai pemenang Perang Dunia kedua, bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 hanya kemauan segelintir elit politik. Bukan kemauan rakyat Indonesia.
Faktanya? Perang 10 Nopember membuktikan bahwa pernyataan Belanda tersebut bohong. Ternyata proklamasi kemerdekaan adalah kehendak rakyat Indonesia. Soekarno-Hatta sebagai proklamator mewakili dan mengatasnamakan rakyat Indonesia. Semuanya ril. Terlihat dari perang besar 10 November di Surabaya tersebut.
Dalam sejarah, tercatat pula, Muhammad Natsir, pimpinan partai Islam Masyumi sebagai pemrakarsa kembalinya RIS (Republik Indonesia Serikat) ke NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). RIS adalah rekayasa Belanda untuk memecah belah Indonesia. Sehingga Belanda bisa melakukan politik divide et impera untuk menghancurkan Nusantara dan kembali menjajah Indonesia.
Itulah sebabnya, tokoh politik Islam Muhamad Natsir berusaha keras untuk mengubah RIS menjadi NKRI.
Mosi Integral Natsir — untuk mengembalikan RIS ke NKRI — disepakati Parlemen RIS, 3 April 1950. Betapa pentingnya peralihan dari RIS menjadi NKRI, sampai Mohamad Hatta menyatakan, 3 April adalah hari proklamasi kemerdekaan kedua bangsa Indonesia.
Keputusan parlemen RIS menyetujui Indonesia kembali menjadi NKRI, sangat mengejutkan Belanda. Tapi Nederlan tak berkutik. Karena proses perubahan dari RIS ke NKRI dilakukan secara sah dan demokratis melalui parlemen. Jika Belanda menentangnya, ia akan “digebrak dan dimarahi” Sekutu yang saat itu sedang getol-getolnya mengampanyekan demokrasi di dunia.
Di era reformasi, pasca jatuhnya rejim otoriter Orde Baru — kebebasan berpendapat menguar seperti suara kodok di musim hujan. Tak sedikit elit politik mengusung gagasan pembentukan negeri khilafah yang berlandaskan Islam. Pancasila dianggap ideologi yang bertentangan dengan Islam. Kaum fundamentalis Islam yang anti-Pancasila mendapat angin. Era reformasi seperti membuka akses politik untuk menyuarakan ideologi Islam transnasional yang anti-Pancasila.
Dalam kondisi seperti itulah, tampil KH Maimoen Zubair, tokoh politik dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Mbah Moen secara tegas menyatakan, Islam dan Pancasila tidak bisa dipisahkan. Karena Islam dan Pancasila berada dalam satu tarikan nafas
Publik terkejut. Kagum atas pernyataan Mbah Moen. Rakyat Indonesia pun mendukung pernyataan sesepuh partai Islam PPP tersebut. Dampaknya luar biasa. Gerakan politik pro-ideologi Islam transnasional di Indonesia layu sebelum berkembang. Itulah jasa besar Mbah Moen dalam mengawal NKRI dan Pancasila.
Dari perspektif perjuangan untuk menegakkan NKRI dan Pancasila, maka Buya Syafii berada dalam satu barisan dengan Mbah Moen. Keduanya tokoh besar Islam yang nasionalis. Keduanya santri. Santri Muhammadiyah dan santri NU.
Penulis, anggota DPR-RI