Buzzer Haram Hukumnya, JK: Kritik Bagian dari Koreksi Pemerintahan

1
704
- Advertisement -

PINISI.co.id- Demokrasi digital yang belakangan semakin gaduh di media sosial mendorong Presiden Joko Widodo untuk merevisi Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Presiden menyebut UU ITE semangatnya untuk menjaga ruang digital Indonesia agar bersih, sehat, beretika, dan bisa dimanfaatkan secara produktif, justru dalam implementasinya kerap menimbulkan rasa ketidakadilan. Presiden beralasan menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda yang mudah diinterpretasikan secara sepihak.

Presiden menyadari, akhir-akhir ini banyak masyarakat yang saling membuat laporan dengan menjadikan UU ITE sebagai salah satu rujukan hukumnya. Hal ini sering kali menjadikan proses hukum dianggap kurang memenuhi rasa keadilan.

Sebelumnya mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengemukakan bagaimana caranya mengritik tanpa dilaporkan polisi. Gayung bersambut, perkataan Kalla disambar para pendengung (buzzer).

Warga KKSS sendiri sempat membuat petisi dan melaporkan ke polisi pegiat media sosial Ferdinand Hutahaean atas tuduhan pencemaran nama baik Dewan Kehormatan KKSS Jusuf Kalla beberapa waktu lalu. Namun, Ferdinand sebagai terlapor mengatakan sampai kini tindak lanjut dua laporan terkait dirinya tidak jelas, katanya kepada TV.One, Selasa malam, (16/2/21). Demikian juga keluarga Kalla pernah mengadu ke polisi atas pernyataan Walikota Makassar Denny Pomanto atas pernyataannya yang viral di media soaial atas dugaan pencemaran nama baik terhadap Kalla.

- Advertisement -

Terkait rencana revisi UU ITE, pakar hukum tata negara  Zainal Arifin Mochtar menyambut keinginan baik Presiden. “Perlu diaudit pasal-pasal yang memang banyak multitafsir sehingga sering disalapahami,” kata Uceng, panggilan akrab akademisi asal Makassar itu kepada TV-One, Rabu pagi, (17/2/21)

Uceng berpendapat, tidak cukup merevisi UU ITE sebab di level penegak hukum bagaimana mengimplementasikannya. Selama ini orang mudah dipidanakan. Sebetulnya tidak perlu dipidana cukup lewat perdata dengan memediasi atau ganti kerugian. “Nantinya pemerintah harus menjamin ruang kebebasan bersuara, kebebasan akademik, dan tidak mudah mengkriminalisasi terhadap kelompok kritis,” kata Uceng.

Maklum selama ini banyak pihak yang kritis seperti mahasiswa, akademisi, jurnalis, atau kelompok oposan kerap mendapat ancaman karena berbeda pandangan politik dengan pemerintah.

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi menilai, salah satu faktor penyebab menurunnya indeks demokrasi Indonesia karena isu kebebasan berpendapat. Ketakutan warga mengutarakan pendapatnya tak hanya dipengaruhi oleh kondisi negara tetapi juga ada kekhawatiran bisa menjadi korban perundungan di media sosial, seperti dirinya. “Saya pernah dianggap cebong dan di lain waktu pernah dituduh kampret,” ujar Burhanuddin, pada Kompas TV, Selasa malam (16/2/21).

Belum lama The Economist Intelligence Unit (EIU) merilis Laporan Indeks Demokrasi Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia.  Ini merupakan angka terendah yang diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir. Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan demokrasi cacat.

Padahal, kata Kalla lebih lanjut, dalam sebuah pemerintahan demokrasi, kritik adalah hal yang sangat penting sebagai bagian dari koreksi jalannya roda pemerintahan. Kalla juga menyinggung soal buzzer yang banyak menjadi sorotan.  

Dalam pandangan Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan, buzzer memengaruhi wacana publik secara signifikan. Dalam banyak hal buzzer tidak produktif  bahkan kontra produktif. “Yang merisaukan ini buzzer karena semangatnya jauh dari konstruktif. Kalau hanya mempromosikan hal baik yang dilakukan pemerintah itu baik-baik saja, tetapi kalau menyerang mereka yang kritis terhadap pemerintah itu masalahnya,” kata Manan seperti dikutip Kompas, Senin (15/2/21).

Fatwa MUI sendiri dengan tegas menyatakan, profesi buzzer yang bertujuan mencari keuntungan ekonomi maupun non ekonomi haram hukumnya.

Sementara itu Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman yang juga Anggota Dewan Penasehat BPP KKSS menampik bahwa buzzer dirawat pemerintah. “Saya tegaskan Presiden dan pemerintah tidak memiliki buzzer,” tandas Fadjroel kepada TV.One, Rabu pagi (17/2/21). (Lip)

1 COMMENT

  1. Sangat disayangkan. Penggunaan buzer dengan biaya yg tidak kecil dalam rangka menutupi segala kekurangan. Dengan demikian yang ada pada kenyataannya hanya keberhasilan yang semu. Salah satu alat yang digunakan di negeri adidaya dan coba diterapkan di Nusantara. Sayangnya dana yg digunakan tidak kecil dan mungkin pula dari kas milik negara yang dikumpulkan dari rakyatnya di Nusantara ini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here