PINISI.co.id- Sekiranya pandemi terjadi pada tahun 80-an, maka niscaya orang berlebaran menggunakan surat pos, atau paling banter melalui telegram dalam satu kalimat pada kertas seukuran folio dibagi delapan. Sungguh terbatas. Pakai telepon? Belum banyak orang yang memiliki telepon saat itu.
Namun, orang Indonesia yang selalu merasa bersyukur sesulit apapun kondisi yang menjepitnya, spontan bilang: untung di zaman milenial ini korona mewabah, sehingga perkara Lebaran bukan hal yang perlu dirisaukan.
Lebih-lebih, pelarangan mudik memaksa orang berlebaran virtual; di pojok dunia mana pun menetap, ia bisa diringkus dalam gawai yang saling terhubung satu sama lain lewat video, aplikasi WA atau Zoom.
Bambang yang bernama beken Bachran Mile, mengontak keluarganya, pun keluarga istri yang tersebar di Jakarta, Makassar, Gowa dan Bone. Dalam gawainya, ia bisa mengulik satu demi satu, mulai sutradara keren Riri Riza, hingga abang dan adiknya di Makassar dan Sungguminasa.
Dalam sekejab, seluruh famili Bambang tampil di layar gawai. Sejurus lalu menyampaikan ucapan selamat Idul Fitri sambil membentuk kedua tangan mirip orang bersemedi. “Mohon maaf lahir batin, kita Lebaran di dunia maya saja ya,” kata Riri Riza, yang karya-karyanya bereputasi internasional,
Anggota keluarga lainnya mengunggah kuliner khas Makassar seperti burasa, kari ayam, kaddo bulo, coto yang mengundang selera. Air liur Bambang tertelan.
Bambang yang tinggal di Bekasi dan berprofesi sebagai ASN, lantas menghubungi keluarga istrinya Fatmawati Kamal di Sungguminasa dan Bone, untuk mengucapkan hal sama. Istrinya buru-buru menyambar. ”Kali ini kami tidak bisa mudik gara-gara korona. Tapi Lebaran lewat video tidak mengurangi silaturahim kita,” tutur Fatmawati, arsitek dan dosen di Jakarta.
Sementara buat Amalia Ramadana, Lebaran tahun ini membuatnya sedih. Ibu muda ini, nelangsa lantaran ia tidak bisa berkumpul bersama ibunya dan saudara lelakinya di Makassar akibat pembatasan sosial. Bersama suaminya, Firdaus, Amalia yang menetap di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, cuma bisa berlebaran virtual lewat video call. Keluaga Amalia di Jakarta, Sinjai dan Makassar dikontak seraya menyampaikan ucapan Lebaran.
Ibunya di Makassar dalam mata berkaca-kaca memaafkan anak perempuannya yang tidak bisa pulang kampung, meski sang ibu sudah menyiapkan masakan kesukaan Amalia, nasu lekku. ”Sabarko saja Nak, baik-baik ko saja banyak berdoa agar Mama’ tetap sehat,” kata ibunya dalam nada tertahan.
Lebaran di kapal
Lebaran kali ini dialami Sulaiman Adam di kapal kargo dalam suasana haru tanpa sanak keluarga. Untuk pertama kali, pemuda ini urung berkumpul dengan saudara lelaki dan ibunya yang berdiam di Bekasi. Kurang setahun Sulaiman berlayar, membawanya pergi ke negeri-negeri jauh, Singapura, Johor.
Untuk melepas rindu, Sulaiman — biasa disebut Eman — menelpon sang ibu. Mereka bertiga beridulfitri online dalam gawai sembari meminta maaf satu sama lain. Seperti ingin sungkem, Sulaiman bilang, “Mak, Eman gak bisa pulang, kapalnya sedang menuju Makassar,” katanya pelan.
Kapal ini membawa Eman ke Makassar, kota yang diimpikannya sejak lama, mengingat inilah kota di masa Eman masih berusia setahun pernah berkunjung di sini, usai melihat kampungnya di Tajuncu, Soppeng.
Wah, setibanya, di Makassar, dalam batin, Eman akan mencicipi kuliner Makassar yang terkenal pecah di lidah. Ia juga mengontak keluarganya di kota Daeng itu untuk bersilaturahim. Spot-spot foto di Pantai Losari dan Benteng Rotterdam, menjadi prioritas buat swafoto untuk dipamer di Instagramnya kelak. Eman tak mau kehilangan untuk merekam momen-momen terindah di Makassar.
Dari semuanya, mungkin yang tergalau adalah Syamsuddin Rachmat. Apa pasal?
Syam, begitu ia disapa, tidak bisa pulang ke Jakarta berlebaran berhubung pembatasan sosial yang secara ketat diberlakukan Ibu Kota. Alhasil, Syam yang bekerja sebagai teknisi di Batam, sebatas mengunjungi istri lewat gawai belaka. Sudah setengah tahun, pasangan muda ini tidak bersua. Kelamaan karantina, membuatnya rindu tiada terkira. Pria asal Luwu ini, hanya berkangen-kangen virtual lewat gawai.
Walau setiap hari Syam berkomunikasi dengan sang istri yang bekerja sebagai ASN, namun berjumpa secara fisik tidak tergantikan oleh teknologi secanggih apapun.
“Maafkan sayang, Ayah belum boleh pulang, meski di hari suci ini. Mudah-mudahan pandemi cepat berlalu, supaya kita bisa serumah lagi,” ujar Syam yang memonyongkan bibirnya seraya mencium gawai bututnya, sekonyong-konyong mengecup bibir istrinya. [Lip]