Catatan Fiam Mustamin
Tahun 1950 hingga 1960-an adalah masa penuh gejolak di kampung. Saat itu berlangsung pergolakan pemberontakan DI/TII pimpinan Abdul Qahar Mudzakkar, juga gerakan kudeta PKI. Kehidupan ekonomi dan pendidikan serba sulit. Rakyat hidup dalam bayang-bayang ketakutan akan pemberontakan, penculikan, dan pembunuhan. Pilihannya hanya dua: bertahan di kampung dengan rasa was-was, atau masuk hutan bersekutu dengan gerombolan.
Di masa itulah saya bersekolah, dengan segala keterbatasan, baik fasilitas maupun tenaga pengajar. Sekolah kami disatukan dari beberapa kampung (wanua) dalam satu kecamatan, di era Orde Lama masa Presiden Soekarno. Saya menempuh pendidikan di tiga kampung: dari pegunungan, ke perkampungan di wanua berikutnya, lalu berlanjut ke SMP Negeri di Kota Watansoppeng.
Di tiga wilayah sekolah itu, saya mengenal hampir semua kampung. Kami sering memungut buah-buahan, menangkap ikan, dan bermain musik gendang serta seruling. Bersama kawan-kawan, saya berkeliling kampung untuk memenuhi undangan hajatan atau memeriahkan pertandingan sepak bola antar kampung.
Setelah tamat SMP pada tahun 1965/1966, saya bercita-cita melanjutkan sekolah di Kota Makassar. Namun, sejak kelas dua SR (Sekolah Rakyat), ayahanda telah wafat. Saya menjadi yatim, anak sulung dari dua bersaudara, satu ayah.
Dari sinilah saya merasakan rahasia kehidupan; Pammase, karunia dengan misteri kehendak Sang Maha Kuasa, Allah SWT. Meski penuh keterbatasan, saya akhirnya dapat melanjutkan hidup di kota besar Makassar, kota yang penuh dinamika dan telah melahirkan banyak tokoh besar bangsa.
Sampai di sini, saya hanya ingin menoleh sejenak — flashback — pada kenangan masa sekolah di tiga kampung, di Kota Watansoppeng, dan sekitarnya.