Kolom Shamsi Ali
Ungkapan ini tiba-tiba menjadi popular dan trading/viral di media sosial sejak diucapkannya oleh Capres dari Partai Demokrat, Joe Biden, di saat acara debat kandidat beberapa malam lalu.
Ketika itu moderator debat, Chris Wallace, bertanya kepada Kandidat Republican Trump tentang bayaran pajaknya yang diberitakan hanya $750 selama tahun 2016 dan 2017 oleh New York Times. Trump justeru mengatakan bahwa di membayar pajak berjuta-juta US$. Saat itulah Joe Biden tiba-tiba mengatakan: “when? In-shaa Allah?”.
Ungkapan itu ditangkap dengan jelas oleh media, dan akhirnya menjadi viral/trending dan menjadi pembicaraan luas bahkan di kalangan non Muslim di Amerika.
Pertanyaan pertama yang timbul di kepala adalah kenapa tiba-tiba Mr. Biden mengucapkan “in-shaa Allah?”. Apakah itu memang sering diucapkan dan memang faham maknanya?
Apakah memang Biden ingin mengatakan bahwa semoga jawaban Trump itu serius dan benar jika Allah berkehendak?
Atau jangan-jangan ungkapan itu dimaksudkan sebagai pernyataan tentang sesuatu yang tidak serius. Bahkan jangan-jangan pernyataan itu ditujukan sebagai negasi (peniadaan). Artinya Trump memang tidak membayar pajak sebagaimana mestinya.
Apapun itu, hanya Allah dan Joe Biden sendiri yang tahu apa yang beliau maksud. Tapi pastinya ungkapan “in-shaa Allah” bukanlah ungkapan biasa. Tapi ungkapan yang Allah sendiri yang menetapkannya.
In-shaa Allah adalah sebuah penegasan bahwa sesuatu itu hanya akan terjadi dengan “iradah atau kehendak Allah SWT”. Ungkapan ini adalah ungkapan iman, khususnya dalam konteks keimanan kita kepada Qadar atau Takdir Allah SWT.
Sayang bahwa ungkapan ini, karena Umat yang tidak serius dengan ajaran agamanya, sering mengalami perubahan makna. Terkadang in-shaa Allah dimaknai lebih kepada “belum tentu akan terjadi/dilakukan”. Bahkan terbiasa diungkapkan sebagai “negasi” atau mengatakan “tidak”.
Seolah ketika seseorang mengatakan in-shaa Allah dia mengungkapkan
niat sebaliknya. Atau sebuah ungkapan lain untuk mengatakan “tidak” pada sesuatu. Sebuah pemahaman yang jelas kontra dengan makna in-shaa Allah yang sesungguhnya.
Bahkan lebih disayangkan lagi seringkali ungkapan itu dijadikan bahan “pengolokan” atau “penipuan”. Dengan in-shaa Allah seseorang dapat membohongi orang lain di sekitarnya.
Kekhawatiran saya adalah jangan-jangan kata itu keluar dari mulut Biden karena ingin mengatakan bahwa apa yang Trump katakan itu adalah “joke” (candaan). Bahkan “a lie” (sebuah kebohongan) semata.
Makna in-shaa Allah
Seperti disebutkan di atas, arti Sesungguhnya dari “in-shaa Allah” adalah “if Allah wills” atau jika Allah menghendaki atau menginginkan. Atau sebenarnya makna yang lebih tegas: jika Allah takdirkan.
Seorang Muslim dikehendaki bahkan diperintahkan untuk mengatakannya in-shaa Allah jika ingin melakukan sesuatu. Apalagi jika hal itu berkaitan dan disampaikan kepada orang lain.
Sebagaimana Allah firmankan dalam Al-Quran: “Dan jangan sekali-kali kamu katakan: saya akan lakukan ini di esok hari. Kecuali jika Allah kehendaki”. (Al-Kahf:23).
Ungkapan itu adalah ungkapan dahsyat dan mendasar sebagai bagian dari keimanan bahwa Allah terlibat dalam segala hal yang kita lakukan dan terjadi dalam hidup kita. Bahwa tak ada apapun yang terjadi dalam Hidup ini kecuali dengan kehendakNya.
Bahkan dengan ungkapan in-shaa Allah kita juga sesungguhnya menyadari keterbatasan dan memohon intervensi Allah dalam segala hal yang kita lakukan dan inginkan. Bahkan sesulit dan seberat apapun itu.
Rasulullah SAW menyampaikan bahwa segala keinginan dan ambisi Nabi Sulaeman AS tidak terwujud ketika melupakan kata “in-shaa Allah”. Akan tetapi setelah dia ungkapan “in-shaa Allah” nabi Sulaeman mencapai semua keinginannya saat itu. (Hadits Bukhari-Muslim).
Rasulullah SAW juga menyebutkan bahwa Ya’juj dan Ma’juj tidak akan pernah berhasil meruntuhkan dinding pemisah di antara mereka, bahkan dengan segala upaya mereka. Hingga mereka sadar dan mengucapkan “in-shaa Allah”.
Demikian pula kita dapatkan dalam Al-Quran bahwa ketika Nabi Musa AS memerintahkan Bani Israel untuk memotong sapi (baqarah), mereka gagal melakukan itu berkali-kali hingga mereka mengucaokan: wa innaa “in- shaa Allah” la muhtaduun. (Al-Baqarah: 70).
Semoga kita tidak lagi fahami bahwa ungkapan in-shaa Allah dimaksudkan sebagai “keraguan”. Apalagi menjadikannya sebagai ungkapan kebohongan. Mengatakan in-shaa Allah dengan maksud sebaliknya.
Jangan lagi bermain-main dengan ungkapan ini. Berjanji kepada Saudara dengan in-shaa Allah. Tapi dalam hatinya berkata sebaliknya.
Wajar ada candaan: in-syaa Allah anda yang mana? Yang Allah inginkan? Atau in-syaa Allah versi anda?
In-insya Allah yang “in-shaa Allah”!
New York, 2 Oktober 2020 Imam/Direktur Jamaica Muslim Center, Presiden Nusantara Foundation