PINISI.co.id- Keandalan nelayan-nelayan Bugis Makassar menangkap ikan tak disangkal lagi kehebatannya. Kalau nelayan Makassar sejak abad 16 mencari teripang hingga ke Australia Utara, sebaliknya nelayan Bugis piawai berburu ikan paus sebagaimana jejaknya di desa Lamalera, Nusa Tenggara Timur.
Kini tradisi menangkap ikan paus di Lamarela, menjadi daya tarik wisatawan dalam maupun luar negeri. Tradisi ini dilakukan berdasarkan perintah adat dan sudah menjadi tradisi turun-temurun. Sejak nenek moyang suku Lamalera menempati tanah Lomblen, perburuan ikan paus telah dimulai.
Berbagai sumber menyebutkan tradisi berburu ikan paus sudah ada sejak abad ke-16. Para nelayan tradisional hanya dilengkapi satu senjata andalan berupa tombak yang dinamakan tempuling berupa sebatang bambu panjang yang di salah satu ujungnya dipasang besi runcing. Dengan senjata itu mereka berusaha memburu dan membunuh paus, yang besar tubuhnya puluhan kali lebih besar dari tubuh mereka. Tempuling bukan sekadar dilempar, tapi dihujamkan dengan kekuatan penuh oleh Lamafa — sebutan bagi orang yang bertugas menikam paus. Lamafa berdiri di ujung perahu, buritan atau haluan, saat paus yang diburu mulai kelihatan di permukaan laut.
Menurut Dr. Blajan Konradus, pengajar Universitas Cendana Kupang, masyarakat Lamalera, diperkirakan berasal dari Bugis Luwu, Sulawesi Selatan. Salah satu jejaknya bisa dilihat dari bentuk puledang, —- perahu tradisional yang digunakan masyarakat Lamalera, sama persis dengan perahu yang dipakai nelayan di Luwu.
Lamalera terletak di pantai selatan Pulau Lembata Provinsi Nusa Tenggara Timur. Saat ini Pulau Lembata sudah menjadi kabupaten yang sebelumnya bergabung dengan Kabupaten Flores Timur. Di hadapannya terbentang laut Sawu yang cukup ganas. Sudah sejak dulu masyarakat Lamalera terkenal sebagai masyarakat nelayan, dan penangkap ikan paus secara tradisional. Desa ini berpenduduk kurang lebih 2.000 jiwa.
Betapa dulu, nenek moyang mereka dari Bugis datang ke sini, ke Lamalera yang merupakan dusun terpencil, terisolasi dan jauh dari keramaian. Saat ini sudah mulai ada listrik dan pembuatan jalan aspal untuk memudahkan alat tranportasi.
Kampung-kampung Lamalera pun dibangun di atas batu cadas dan karang tepat di kaki atau di lereng bukit atau gunung. Desa Lamalera dengan panorama alam pegunungan yang sedikit gersang serta deru ombak pantai selatan, topografinnya yang bergunung-gunung dan bebatuan dan disertai dengan kemiringan yang cukup terjal yang menantang hidup dan kehidupan orang Lamalera.
Sepertinya sangat tidak wajar nelayan bila masyarakat desa Lamalera lebih memilih berburu ikan-ikan besar yang sebenarnya adalah termasuk ke dalam jenis-jenis ‘mamalia laut’ yang besar dan sangat berisiko tinggi bila dibandingkan menangkap ikan lainnya, tapi itulah kenyataan yang terjadi dengan kondisi alam, topografi, serta bekal kemampuan yang digariskan secara turun menurun oleh nenek moyang mereka. Sehingga membuat mereka terbisa dan pasrah akan bahaya yang selalu dihadapi untuk menyambung hidup dengan berburu ikan paus.
Sebelum musim berburu, desa Lamalera memiliki tradisi atau budaya penangkapan paus yang setiap tahunnya diadakan upacara adat sekaligus misa untuk memohon berkah dari sang leluhur serta mengenang para arwah nenek moyang mereka yang gugur di medan bahari bergelut dengan sang paus.
Resminya penangkapan ikan paus terjadi pada bulan Mei-November, namun tak jarang, pada Desember-April nelayan Lamalera tetap melakukan penangkapan paus ketika paus tersebut melewati perairan laut Sawu. Bukan berarti melanggar adat yang sudah ditetapkan, di mana pada bulan-bulan tersebut orang Lamalera menamakan bulan perburuan atau yang disebut dengan baleo.
Musim Lefa ini merupakan waktu khusus untuk melaut, serta berburu ikan paus dan ikan-ikan besar kainnya seperti lumba-lumba, hiu, pari. Di saat musim inilah orang Lamalera beramai-ramai pergi melaut. Menurut mereka di musim-musim ini ikan-ikan besar sering muncul dan bermain menampakkan dirinya di permukaan Laut Sawu.
Masyarakat Lamalera pada prinsipnya berburu menggunakan cara tradisional, untuk menangkap ikan paus atau biasa disebut kotoklema menggunakan perahu layar yang menurut bahasa daerah Lamalera disebut peledang. Perahu layar tersebut dilengkapi dengan alat tikam/harpun tangan yang disebut tempuling, tali panjang yang diiikatkan pada mata tombak, dan ditambah bambu sepanjang 4 meter sebagai alat bantu tikam.
Peran Lamafa
Dalam satu peledang biasanya dimuati oleh tujuh awak perahu dan orang yang khusus memegang peranan dalam menikam paus adalah juru tikam yang disebut balafaing (lamafa).
Peledang didisain tanpa ada penutup agar para awak kapal dapat memantau ikan yang muncul kepermukaan. Setelah sudah terlihat maka peledadang akan mendekati ikan tersebut dan juru tikam angkat tempuling dan siap untuk menancapkan tempuling tersebut tepat kebagian jantung paus tersebut, biasanya tiakaman sampai 4 kali atau bahkan lebih. Ketika tikaman pertama ini merupakan saat-saat yang paling berbahaya bagi para awak peledang karena paus akan berontak dan mengamuk. Kerap perahu peledang akan dibawa oleh paus ke dalam laut atau terbalik balik bahkan dihancurkan oleh oleh kepala atau ekor paus.
Setelah paus sudah mulai lemah dan tidak berdaya lagi untuk lebih mempercepat kematian maka ada bagian yang dirobek oleh pisau tajam agar darah cepat keluar dan paus tersebut cepat mati. Setelah terlihat mati maka paus tersebut ditarik oleh perahu-perahu tersebut sampai ke pantai Lamalera, dan siap untuk dipotong dan dibagi-bagi. Pembagian daging paus sudah ditentukan sejak jaman nenek moyang mereka.
Semua bagian paus adalah penting dan terpakai semua antara lain adalah daging, kulit, lemak, darah, dan tulang. Ketika ada satu ekor paus ditikam maka semua masyarakat Lamalera akan mendapatkan jatah, walaupun tidak ikut ke laut, karena bisa dibarter dengan ikan lain atau hasil bumi.
(Alif, dari berbagai sumber)